HRW: 40 Persen Anak di India Putus Sekolah (2)
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM – Human Rights Watch (HRW) merilis laporan berjudul They Say We’re Dirty (mereka bilang kami kotor) yang mengungkapkan bahwa lebih dari 40 persen anak di India putus sekolah sebelum menyelesaikan kelas delapan.
Laporan yang dirilis pada Selasa (22/4) itu mengungkapkan bagaimana diskriminasi dipraktikkan di lingkungan sekolah dan menjadikan sekolah sebagai lingkungan yang tidak ramah anak. Diskriminasi tersebut dilakukan para guru dan petugas sekolah terhadap anak-anak dari komunitas paling miskin dan dipinggirkan, yaitu Dalit.
Perbincangan Amy Braunschweiger dari HRW dengan peneliti asal India, Jayshree Bajoria mengungkapkan sejumlah fakta terkait korelasi diskriminasi dengan angka anak putus sekolah.
Kelas dengan Diskriminasi
“Saya memiliki percakapan yang membuka mata di negara bagian Uttar Pradesh dengan kepala sebuah sekolah yang murid-muridnya berasal dari suku Ghasiya. Kepala sekolah itu mengatakan anak-anak Ghasiya adalah masalah besar, mereka tidak mengenakan seragam sekolah, dan orang tua mereka buta huruf,” Bajoria menceritakan pengalamannya.
Bajoria menceritakan bagaimana kepala sekolah tersebut mengeluh karena anak-anak tersebut tidak dapat melebur dengan baik dan justru mengacaukan kelas bagi anak-anak lainnya seakan tidak ada yang bisa dilakukan dengan mereka.
“Ketika saya duduk dengannya, kepala sekolah menunjuk anak-anak itu dan berkata, “Lihat bagaimana kotornya mereka?” Ia mengeluhkan kebiasaan makan anak-anak Ghasiya yang berbeda karena memakan daging, tidak seperti kebanyakan umat Hindu yang vegetarian. Kepala sekolah itu bahkan menyarankan agar anak-anak itu ditempatkan di sekolah yang berbeda. Sangat jelas, ia itu tidak menyukai anak-anak itu.” kata Bajoria.
Namun apa yang kemudian mengejutkan Bajoria ketika melihat catatan sekolah adalah, ia menemukan bahwa 59 anak Ghasiya yang masuk sekolah, 58 di antaranya – terlepas dari berapa usia mereka – duduk di kelas 2.
“Ini jelas menunjukkan terjadinya segregasi. Jadi saya berkunjung ke dusun tempat komunitas itu hidup untuk mendengarkan kisah mereka,” ungkap Bajoria.
Kisah dari Ghasiya
Bajoria selanjutnya menceritakan pengalamannya berjumpa dengan warga Ghasiya dan mengungkapkan apa yang dialami oleh komunitas tersebut.
“Saya menghabiskan banyak waktu dengan anak-anak dari komunitas tersebut dan setelah beberapa saat mereka mulai terbuka pada saya,” kata Bajoria.
Bajoria menambahkan, “mereka mengatakan bagaimana guru-guru meminta mereka duduk di pojok kelas. Jika salah satu anak Ghasiya menyentuk anak lainnya yang bukan Ghasiya, akan ada keributan, keluhan, dan cacian dari para guru.”
Berdasarkan penuturan anak-anak itu, Bajoria mengungkapkan bagaimana anak-anak Ghasiya ingin belajar, tapi jarang memiliki guru di kelas – bahkan tidak ada seorangn guru pun yang mengajar mereka dengan layak.
“Anak-anak itu selalu disebut kotor dan diminta untuk mandi. Tapi perkampungan mereka tidak memiliki air atau aliran listrik. Anak-anak itu harus berjalan sejauh satu kilometer untuk mendapatkan air, sehingga mereka akan terlambat datang ke sekolah jika mereka mandi sebelum ke kelas,” Bajoria melanjutkan.
Pelajaran dari Ghasiya
Sebuah percakapan dengan seorang anak perempuan Ghasiya bernama Meena telah memberi pelajaran berarti bagi Bajoria.
“Setahun setelah kunjungan pertama saya, saya kembali ke sekolah itu dan melihat tidak ada satu orang anak Ghasiya pun di sana. Jadi saya kembali ke dusun dan berbicara dengan Meena,” kata Bajoria.
Bajoria menceritakan, “Meena saat ini berusia 9 tahun. Ketika saya pertama kali bertemu dengannya, ia bersikeras untuk belajar namun pada saat yang sama merasa sedih dan marah dengan perlakuan yang diterimanya di sekolah.”
“Setahun kemudian Meena mengatakan pada saya bahwa semua anak Ghasiya kini jarang ke sekolah yang dikelola pemerintah dan memilih datang ke sekolah sosial yang dekat dengan pemukiman mereka,” sambung Bajoria.
Bajoria menuturkan apa yang dikatakan Meena.
“Mengapa kami harus ke sekolah yang dikelola pemerintah jika kami tidak belajar apa pun di sana?” tanya Meena kepada Bajoria. “Kami akan ke sekolah di mana kami diperlakukan dengan kasih.”
Pemerintah Tahu tentang Angka Anak Putus Sekolah?
Menurut Bajoria, pemerintah India tidak melacak angka anak putus sekolah dengan akurat. Salah satu negara bagian di India mendefinisikan putus sekolah sebagai situasi di mana anak tidak hadir selama tiga bulan tanpa keterangan yang jelas. Namun negara bagian lainnya mendefinisikan dengan ketidakhadiran anak selama satu bulan atau bahkan tujuh hari.
Bajoria mempertanyakan, “bagaimana pemerintah membuat pedoman untuk menangani masalah putus sekolah jika mereka tidak membuat definisi umum mengenai putus sekolah?”
“Sebagai tambahan, tiga kepala sekolah mengaku pada kami bahwa mereka meninggikan catatan kehadiran anak karena tekanan yang mereka rasakan dari otoritas pendidikan.”
Guru Tahu Situasi di Kelas?
Bajoria mengatakan bahwa para guru sebenarnya mengetahui situasi yang terjadi di kelas, tetapi mereka tidak yakin bagaimana cara mengatasi masalah itu.
“Ketika saya bertanya kepada para kepala sekolah dan guru tentang hal apa yang mereka khawatirkan jika anak tidak datang ke sekolah, banyak yang menjawab tidak tahu dan balik bertanya pada saya bagaimana mereka seharusnya mengatasi masalah itu,” Bajoria menuturkan.
Ia juga menambahkan bagaimana para guru diminta untuk tidak menghapus nama siapa pun dari buku pencatatan.
“Langkah kunci untuk mengatasi masalah ini adalah para guru harus mencatat kehadiran anak secara akurat dan harus ada definisi umum tentang kapan seorang anak dikatakan putus sekolah. Ini akan menekan otoritas pendidikan untuk bertindak pada waktunya,” ungkap Bajoria.
Harapan Bajoria
Dari apa yang diungkapkan Bajoria atas pengalamannya menyaksikan diskriminasi pendidikan di sekolah India, ia mengungkapkan harapannya tentang perubahan apa yang ingin dilihatnya dari pendidikan di India.
“Berkat Hak Pendidikan Anak, hampir semua anak India kini terdaftar di sekolah. Kami ingin mereka dapat bertahan hingga lulus, dan untuk mencapainya, India harus menciptakan suasana kelas yang menginspirasi semua anak untuk belajar, terlepas dari apa latar belakang anak-anak itu,” kata Bajoria.
Ia juga mengungkapkan bagaimana para guru menjadi panutan bagi para murid dan sikap para guru dapat menjaga para murid di dalam kelas. Menurut Bajoria, para guru dan kepala sekolah juga perlu dilatih. Sedangkan otoritas pendidikan India tidak diminta mempertanggungjawabkan kegagalannya melaksanakan undang-undang dengan baik.
“Sedangkan penting bagi para guru yang melakukan diskriminasi untuk dikenakan tindakan pendisiplinan yang tepat,” ungkapnya.
Bajoria menyadari upaya memperbaiki masalah pendidikan yang berakar pada undang-undang diskriminasi tersebut membutuhkan banyak waktu.
“Upaya ini tentu akan memakan waktu. Tetapi penegakkan undang-undang pendidikan akan menjadi langkah penting di dalamnya, “ pungkas Bajoria. (hrw.org)
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...