Hukuman Mati: Bara Diplomasi Iran dan Saudi
SATUHARAPAN.COM - Pembakaran Kedubes Arab Saudi di Iran, merupakan berita terhangat di awal 2016. Betapa tidak, menyusul eksekusi mati pimpinan syah Nimr l Nimr di Saudi Sabtu lalu, puluhan orang meyerbu kedubes Iran pada malam harinya. (Kompas, 4 Januari 2016) Hal ini mengigatkan perisitiwa penyerbuan massa ke kedubes AS di Teheran pada 1979, masa-masa yang disebut sebagai Revolusi Iran yang menumbangkan monarki Shah. Menlu RI, Retno Marsudi bahkan menyerukan para pihak untuk mencari solusi damai dalam situasi memanas di Timur Tengah. (Kompas, 5 Januari 2016)
Aksi pembakaran kantor kedubes dan konsulat Saudi di Teheran awal tahun ini, tidak dapat dihentikan oleh penguasa Iran. Hal ini berindikasi pelanggaran serius terhadap hubungan diplomasi dengan Saudi, karena kantor kedubes adalah wilayah yang menjadi simbol negara berdaulat yang dilindungi hukum internasional. Namun, terlepas dari aksi penyerbuan di Teheran, kekhawatiaran berikutnya adalah reaksi balasan dari pemerintah Saudi. Betul saja, pemerintah Saudi akhirnya memutuskan hubungan diplomatik dengan Iran.
Apa yang dapat dipelajari dari perisitwia ini? Pertama, adanya tedensi hubungan diplomatik yang makin memanas di tingkatan negara Islam, terutama antara Iran yang mayoritas Syiah dan Saudi yang mayoritas Sunni. Walaupun Saudi menolak bahwa alasan hukuman mati adalah karena ada terpidana dari kalangan Syiah, namun sulit menghadang pendapat sebagaian kalangan di Iran yang terkena sentimen anti syiah di Saudi dan beberapa kejadian di berbagai negara lain di dunia. Pemerintah Saudi mendapat protes keras dari pihak Iran dan beberapa negara lainnya seperti Bahrain. Aksi perusakan kedubes disadari merupakan pelanggaran hukum internasional yang cukup serius karena merupakan penanda serangan terhadap kedaulatan negara.
Kedua, isu hukuman mati yang dilakukan di Saudi ternyata telah mendapat tantangan yang relatif lebih besar dibanding penolakan hukuman mati dari negara lain termasuk Indonesia. Sebelumnya Indonesia juga sudah mengalami warga negaranya yang dieksekusi hukuman mati. Bahkan menurut kemenlu RI sampai hari ini akan mengantri 36 lagi warga negara Indonesia yang akan dieksekusi mati.
Sebaliknya di Indonesia, tahun 2015 pemerintah Jokowi sudah mengeksekusi 12 warganegara Asing dari total 14 orang yang dieksekusi mati. Jumlah eksekusi ini lebih tinggi dibandingkan pada masa SBY pada tahun pertama pemerintahannya. Bila dibandingkan dengan kasus eksekusi pimpinan Syiah, eksekusi mati warganegara asing di era Jokowi tak sampai menimbulkan kerusuhan besar, seperti pembakaran kedubes RI di Brasil. Hanya saja sempat terjadi ketegangan diplomatis antara Brasil dan Indonesia.
Ketiga, belajar dari peristiwa pembakaran kedubes dan reaksi terusannya, sebaiknya semua pihak terutama pemerintah Iran dan Saudi menahan diri untuk tidak membiarkan aksi kekerasan terjadi. Secara diplomatik, boleh saja pemerintah Saudi memutuskan hugungan diplomatik. Sama seperti reaksi Brasil yang memprotes keras eksekusi mati warganya di Indonesia pada awal tahun 2015. Kala itu pemerintah Brasil menunda pelantikan dubesnya yang sempat membuat malu kubu Indonesia yang sudah siap untuk datang ke acara tersebut.
Berbeda dengan kejadian di Iran, tak ada reaksi yang relatif mengerikan seperti pembakaran gedung kedubes Indonesia dan pengusiran warga di Brasil. Dalam kasus diplomasi Brasil dan RI, ketegangan mencair setelah dilantiknya perwakilan Brasil oleh Presiden Jokowi akhir 2015. Walaupun seperti diungkapkan tentu kasusnya berbeda karena ada unsur sentiman Syiah di Iran.
Banyak lagi kasus ketegangan diplomatik yang memicu adanya reaksi kekerasan dan perusakan simbol-simbol negara. Termasuk di Iran pada saat revolusi Iran yang mengusir diplomat Amerika bahkan menyandera sebagian staf kedubesnya.
Apa yang bisa dilakukan melihat peristiwa ketegangan Iran dan Saudi di awal tahun Monyet 2016? Pertama, perlunya para pihak menahan diri, terutama untuk membantu menyelesaikan konflik di regional pasca krisis kekerasan di Suriah di satu sisi, namun juga dalam penyelesaian kasus terorisme yang menjadi perhatian internasional terutama pasca pengeboman di Paris akhir 2015 silam.
Kedua, tak pelak pemicu kemarahan sebagian warga di Iran adalah eksekkusi mati piminan Syiah. Karena itu tampakanya perlunya meninjau kembali praktik hukuman mati karena dalam kasus ini terbukti eksekusi mati sangat mudah menaikkan tensi emosi warga karena sifatnya yang mutlak dan tak kenal pembelaan lagi.
Indonesia beruntung karena sudah memiliki konsituti yang melindungi hak hidup. Pasal 28A UUD 1945 menyatakan bahwa “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”. Namun Pemerintahan RI tampaknya masih mengabaikan dan menganggap bahwa putusan mati sudah benar secara hukum dan adil. Jokowi, misalnya, berulangkali menyatakan bahwa hukuman mati adalah putusan pengadilan yang harus dihormati karena prosesnya sudah melalui jalan yang panjang. Namun yang menjadi masalah apakah betul proses hukum sudah diwujudkan secara benar karena masih banyaknya korupsi yang dilakukan hakim, jaksa, maupun polisi bahkan pengacara sebagai penegak hukum. Wacana moratorium hukuman mati sudah sempat muncul pada November silam. Namun wacana itu kembali dikoreksi sehingga antrean terpidana mati pada 2016 tampaknya akan terjadi apabila tak ada koreksi dari pemerintah Jokowi.
Semoga Indonesia juga melakukan refleksi terhadap eksekusi mati, melihat pengalaman Iran ini. Indonesia harus mengamati implikasi hukuman mati yang semakin berkurang negara pendukungnya dunia. Bahkan pada masa akhir pemerintah SBY, Menlu Marty menyatakan bahwa Indonesia telah membuat moratorium hukuman mati walaupun tidak serta merta menghapus hukuman mati.
Mendukung solusi damai di Timur Tengah adalah sangat penting, namun tak kalah penting untuk melihat faktor eksekusi mati yang nyatanya masih berlaku pula di Indonesia. Meledaknya sentimen di Iran, tak lepas dari problema eksekusi mati walaupun faktor-faktor lain seperti ketegangan Iran dan Saudi terkait perbedaan Syiah dan Sunni. Semoga perluasan ketegangan yang menjurus pada kekerasan tidak terjadi.
Penulis adalah Anggota Pendiri Imparsial, Advokat di Lembaga Bantuan Hukum Pers Jakarta.
Editor : Trisno S Sutanto
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...