Human Rights Watch: Lindungi Perempuan Disabilitas
WASHINGTON DC, SATUHARAPAN.COM – Tanggal 8 Maret diperingati sebagai Hari Perempuan Internasional, dan tema yang diangkat Human Rights Watch (HRW) tahun ini ialah “Making It Happen” atau “Buatlah Terjadi”. Tema itu mengakui kontribusi perempuan bagi masyarakat. Namun, kelompok pembela hak asasi manusia ini juga menaruh perhatian kepada perempuan penyandang cacat, dengan mengatakan mereka lebih berisiko mengalami kekerasan.
Human Rights Watch berpendapat, pemerintah negara mana pun harus memastikan bahwa perempuan disabilitas atau penyandang cacat masuk dalam program pencegahan kekerasan berbasis gender. Organisasi ini juga telah merancang program khusus untuk para penyandang cacat.
Direktur Hak Penyandang Cacat HRW, Shanta Rau Barriga, mengatakan, informasi ini harus sampai kepada orang-orang yang paling membutuhkan.
Penyandang cacat, khususnya perempuan, sangat rentan terhadap kekerasan. Mereka bisa mengalami tiga sampai empat kali lebih kekerasan dalam hidupnya. "Namun, kami belum bisa mendapatkan informasi tentang jenis kekerasan yang mereka alami dan tindakan bantuan apa yang sudah dilakukan. Bahkan bagi sebagaian orang, sulit untuk mengetahui perilaku yang yang tidak pantas," kata Shanta Rau Barriga.
“Kami meluncurkan dokumen yang disebut 'Accessible Formats'. Dokumen ini dirancang khusus untuk penyandang cacat intelektual atau keterlambatan belajar, dan tidak pernah mendapat informasi tentang perilaku, misalnya tentang sentuhan yang pantas dan tidak pantas," dia menjelaskan.
Barriga mengatakan, perempuan penyandang cacat juga sering menghadapi hambatan akses pelayanan kesehatan seksual dan reproduksi serta layanan hukum kriminal dan psikologis.
“Ketika menemui perempuan penyandang cacat, mereka bersembunyi. Kami sudah melaporkan masalah ini ke sejumlah negara. Dalam beberapa kasus, mereka tidak pernah menceritakan kesaksian tentang pemerkosaan dan kekerasan seksual lainnya kepada orang lain, sebelum kepada kami. Kita harus ingat, ada satu miliar orang penyandang cacat, yang merupakan 15 persen dari populasi dunia.” katanya.
HRW mengungkapkan sejumlah alasan penyandang cacat tidak termasuk dalam program pencegahan dan penanganan kekerasan gender.
“Ada keyakinan di sebagian negara, para penyandang cacat tidak membutuhkan informasi tentang seksualitas. Ada juga yang menyebutkan mengenai hambatan fisik dan komunikasi. Apakah informasi diberikan dalam bahasa isyarat atau huruf Braille? Atau hal tersebut diberikan ke sekolah-sekolah yang dapat diakses anak-anak?” ujar Barriga. HRW juga mengetahui kasus anak-anak cacat yang diberitahu untuk tidak perlu datang ke kelas pencegahan HIV karena dianggap tidak membutuhkan informasi tersebut.
Ada pula pelanggaran yang dilakukan oleh anggota keluarga atau para pengasuhnya. “Ini yang paling sulit dideteksi,” ujar Barriga. HRW mencontohkan, ada seorang gadis Zambia, berusia 16 tahun, dengan cacat intelektual, telah melahirkan tiga anak. Diduga ia diperkosa oleh ayahnya.
“Orang-orang dengan cacat intelektual sering bergantung pada anggota keluarga ataupun pengasuhnya, baik dukungan keuangan maupun kehidupan sehari-hari, sehingga jika terjadi kekerasan, mereka sulit melawan dan melaporkan kekerasan itu,” kata Barriga.
Pemerintah harus melakukan percakapan dengan orang-orang penyandang cacat serta berkonsultasi dengan lembaga hak asasi manusia untuk membela mereka secara hukum.
Melalui dokumen ini, para penyandang cacat dapat mengakses informasi dengan lebih mudah, misalnya dengan menggunakan bahasa yang lebih sederhana, sehingga penyandang cacat intelektual atau orang-orang yang kurang berpendidikan mudah menerima informasi. Barriga mengatakan, masalah tersebut harus menjadi bagian dari program pembagunanan berkelanjutan yang sedang digarap tahun ini. (voanews.com)
Editor : Sotyati
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...