HUT ke-71 Kemerdekaan: Demi Negara AA Maramis Jual Apa Saja
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Sejarah mencatat tokoh-tokoh kemerdekaan harus mengambil berbagai langkah-langkah tak biasa demi melanjutkan keberadaan Indonesia, negara yang kala itu masih seumur jagung. Menteri Keuangan kala itu, Alexander Andries Maramis (AA Maramis) tak terkecuali.
Pada tahun 1948, Indonesia sebagai negara yang baru berdiri, mengalami kesulitan untuk membiayai kelangsungan hidupnya. Gaji pegawai harus dibayar, termasuk yang bertugas di luar negeri. Angkatan Perang melawan Belanda juga masih perlu dana.
Maka pada masa Kabinet Hatta I tahun 1948, AA Maramis yang kala itu menjabat menteri keuangan, melaksanakan perdagangan candu (opium trade) dan emas ke luar negeri atas perintah Wapres M. Hatta. Tujuan perdagangan candu dan emas itu ialah membentuk dana devisa dari luar negeri untuk membiayai pegawai pemerintah RI (perwakilan-perwakilan) Indonesia di Singapura, Bangkok, Rangoon, New Delhi, Kairo, London, dan New York. Dalam menjalankan tugas tersebut, Maramis dibantu oleh Mukarto Notowidigdo (Ambtenaar Opium en Zoutregie di zaman Belanda).
Itu hanya sekelumit saja dari kiprah AA Maramis yang sangat panjang dalam ikut membawa Indonesia menjadi sebuah negara berdaulat. Maramis, kelahiran Manado, 20 Juni 1897, tak hanya dikenal sebagai menteri keuangan ke-2 dalam sejarah RI. Museum MURI juga mencatat ia merupakan menteri keuangan yang terbanyak menanda tangani uang Republik Indonesia, yaitu sebanyak 15 mata uang, terbitan 1945-1947.
Berkat berbagai pengabdiannya, nama AA Maramis diabadikan sebagai nama Gedung Induk Kementerian Keuangan yang dulunya dikenal sebagai Gedung Daendels. Tidak perlu dipertanyakan, sebab ia merupakan salah satu tokoh peletak dasar organisasi kementerian itu.
Maramis juga dikenal sebagai diplomat dan menteri luar negeri yang turut dalam perundingan-perundingan di Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) memperbincangkan nasib Indonesia. Ia juga diandalkan oleh Soekarno-Hatta ketika dwitunggal itu berada di pengasingan.
Dalam 71 tahun usia kemerdekaan Indonesia saat ini, ketika nasionalisme dalam diri warga negara diperhadapkan pada tantangan globalisasi termasuk isu dwikewarganegaraan pejabat negara, sosok AA Maramis menjadi relevan kembali sebagai cermin. Kiprahnya tak mengenal waktu dan tempat. Pergaulannya juga melintas batas etnis, agama dan juga negara.
Mengusahakan Pencetakan Uang
AA Maramis diangkat pertama kalinya menjadi menteri keuangan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 26 September 1945. Pada saat itu Maramis adalah menteri negara tanpa portofolio dan diangkat menjadi menteri keuangan menggantikan Samsi Sastrawidagda, yang hanya menjabat selama dua pekan. Boleh dikatakan, organisasi Kementerian Keuangan kala itu belum terbentuk, dan AA Maramis merupakan salah satu peletak dasar paling awal.
Pada tanggal 24 Oktober 1945, sebagai menteri keuangan AAMaramis menginstruksikan tim serikat buruh G. Kolff selaku tim pencari data untuk menemukan tempat percetakan uang dengan teknologi yang relatif modern. Maramis pun melakukan penetapan pembentukan Panitia Penyelenggaraan Percetakan Uang Kertas Republik Indonesia (ORI) yang diketuai oleh TBR Sabarudin. Kebijakan ini tertuang dalam Surat Keputusan No 3/RD tanggal 7 November 1945.
Selain diketuai oleh TBR Sabarudin (Direktur Bank Rakyat Indonesia) dalam tim juga ikut R.P. Soerachman sebagai pengawas sedangkan anggota panitia terdiri dari H.A Pandelaki (Kementerian Keuangan), M. Tabrani (Kementerian Penerangan), S. Suhiono (Bank Rakyat Indonesia), E. Kusnadi (Kas Negara), R. Aboebakar Winangoen (Kementerian Keuangan) serta Oesman dan Agoes (Keduanya mewakili Serikat Buruh Percetakan).
Lebih jauh, AA Marimis juga membentuk panitia untuk mempertimbangkan cara-cara menerima menyimpan dan mengedarkan uang baru yang dipimpin oleh Endang Koesnadi dari Kas Negeri Jakarta.
Pembuatan uang pertama saat itu memiliki kendala di bahan seperti kertas, tinta, bahan kimia untuk fotografi dan sinkografi tetapi akibat bantuan karyawan beberapa perusahaan asing di Jakarta masalah tersebut tidak menjadi halangan.
Produksi uang pertama saat itu akhirnya dputuskan dilakukan oleh Percetakan RI Salemba, Jakarta yang ditangani oleh R.A.S Winarno dan Joenoet Ramli pada awal bulan Januari tahun 1946. Cetakan pertama Uang Indonesia saat itu pecahan Rp 100.
Pemeritah saat itu juga menetapkan perbandingan nilai mata uang baru terhadap mata uang yang berlaku, perlakuan terhadap uang lama serta kedudukan utang-piutang. Lalu dilakukan pula langkah-langkah pengamanan moneter antara lain mulai menarik mata uang Hindia Belanda dan Jepang dari peredaraan.
Untuk memperkuat langkah pengamanan moneter, pemerintah RI menerbitkan UU No 10 Tahun 1946 yang menyatakan setiap orang tidak boleh membawa uang lebih dari f 1.000 (Uang Jepang) dari daerah keresidenan tertentu yaitu daerah-daerah yang ibu kota diduduki Belanda seperti di Jakarta, Semarang, Surabaya, Bogor dan Priangan.
Hasil Pendidikan Belanda
Semasa remaja AA Maramis mengawali pendidikannya di ELS (European Elementary School) pada tahun 1911. Kemudian pada tahun 1918, ia melanjutkan pendidikannya ke HBS dan kuliah di Fakultas Hukum Universitas Leiden, Belanda. Maramis lulus dengan gelar "Meester in de Rechten" (Mr) pada tahun 1924. Karier pengacaranya dirintis dengan membuka kantor pengacara di Semarang, Palembang, Teluk Betung, dan Jakarta.
Di masa remajanya, kakak kandung dari Maria Walanda (Maria Walanda Maramis adalah Pahlawan Nasional Indonesia karena usahanya untuk mengembangkan keadaan wanita di Indonesia pada permulaan abad ke-20) ini menjalani pendidikan dasar di bawah pengawasan para guru Belanda. Uniknya, sebagian besar usia remajanya itu diabdikan pada gerakan kemerdekaan bangsanya menentang Belanda.
Di masa mahasiswa, ia giat di perkumpulan para mahasiswa Indonesia di Belanda. Sedangkan di dalam negeri, karier politiknya dimulai dengan duduk dalam Madjelis Pertimbangan Poetera (Poesat Tenaga Rakjat).
Pada masa proklamasi, AA Maramis duduk sebagai salah satu anggota PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Ia juga anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dan anggota penyusun Undang-undang Dasar 1945. AA Maramis termasuk salah seorang personel Panitia Lima yang beranggotakan Dr. Mohammad Hatta, Mr. Sunarjo, Mr. Achmad Subardjo, dan Abdoel Gafur Pringgodigdo. Mereka bertugas untuk merumuskan Pancasila.
Rupanya pendidikannya di negeri Belanda justru semakin membukakan pandangannya tentang keterjajahan negerinya. Pandangan-pandangannya yang menekankan pentingnya kemerdekaan sering ia curahkan dalam bentuk tulisan. Salah satunya adalah yang berjudul Nederland Geen Recht Meer Over Indonesia (Belanda tidak mempunyai hak lagi atas Indonesia).
Tulisan ini membukakan mata dunia atas penjajaahan Belanda di Indonesia kepada dunia dan kepada rakyat Belanda sendiri. Dalam tulisan tersebut ia menunjukkan penyerbuan Jerman atas Belanda yang menyebabkan kekalahan negeri itu berimplikasi pada hilangnya kekuasaan Belanda atas negara-negara jajahannya, termasuk Indonesia.
Oleh karena itu, menurut Maramis, putus pula hubungan antara Pemerintahan Kerajaan Belanda dengan Hindia Belanda. Yang tinggal hanyalah orang-orang Belanda yang memerintah Hindia Belanda tanpa dasar hukum lagi. Lebih-lebih setelah Hindia Belanda menyerah kepada tentara Jepang tanggal 9 maret 1942, secara formal dan material kekuasaan Belanda atas Hindia Belanda sudah lenyap.
Dipercaya Soekarno-Hatta
Hubungan Maramis dengan Soekarno dan Hatta tampaknya juga tergolong dekat. Ia bahkan termasuk salah satu yang dipercayai sebagai pemegang tongkat estafet pemerintahan. Hal ini tampak ketika Indonesia menghadapi keadaan darurat dan AA Maramis dipandang sebagai salah satu tokoh penerus pemerintahan Soekarno-Hatta, apabila dwitunggal itu berhalangan.
Pada 19 Desember 1948 Belanda menyerbu wilayah Republik Indonesia. Serbuan itu dikenal sebagai Agresi Kedua. Pemerintahan Belanda di wilayah bekas Hindia Belanda bersikeras menyebut peristiwa penyerbuan tersebut sebagai “Aksi Polisionil”. Dengan istilah “Aksi Polisionil”, pihak Belanda ingin menegaskan bahwa peristiwa tersebut bukan merupakan peristiwa militer.
Agresi ini sesungguhnya dimaksudkan untuk memusnahkan kekuatan TNI, yang dianggap sebagai ekstremis atau bahkan kriminal. Jenderal Spoor yang telah berbulan-bulan mempersiapkan rencana pemusnahan TNI memberikan instruksi kepada seluruh tentara Belanda di Jawa dan Sumatera untuk memulai penyerangan terhadap kubu Republik. Operasi tersebut dinamakan "Operasi Kraai".
Maka hari itu juga presiden mengadakan sidang darurat kabinet di ibu kota negara sementara, Yogyakarta. Setelah mempertimbangkan segala kemungkinan yang dapat terjadi, akhirnya diputuskan untuk tetap berada di Ibukota. Berhubung Soedirman masih sakit, Presiden berusaha membujuk supaya tinggal dalam kota, tetapi Soedirman menolak. Secara taktis militer adalah sangat merugikan RI sebab sangat teramat mudah menguasai RI dan menawan para pembesar RI, dan secara strategis politis sudah dapat diperhitungkan Belanda, bahwa apabila para pemimpin RI ditawan dan ibu kota RI dan kota lainya telah diduduki, maka akan mudah menundukan TNI dan para pembesar lainya yang akhirnya akan meratakan jalan kearah terbentuknya negara federal ciptaan Belanda.
Sesuai dengan rencana yang telah dipersiapkan oleh Dewan Siasat, yaitu basis pemerintahan sipil akan dibentuk di Sumatera, maka Presiden dan Wakil Presiden membuat surat kuasa yang ditujukan kepada Mr. Syafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran yang sedang berada di Bukittinggi. Presiden dan Wakil Presiden mengirim kawat kepada Syafruddin Prawiranegara di Bukittinggi, bahwa ia diangkat sementara membentuk satu kabinet dan mengambil alih Pemerintah Pusat. Pemerintahan Syafruddin ini kemudian dikenal dengan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia.
Selain itu, untuk menjaga kemungkinan bahwa Syafruddin tidak berhasil membentuk pemerintahan di Sumatera, juga dibuat surat untuk Duta Besar RI untuk India, dr. Sudarsono, serta staf Kedutaan RI, L. N. Palar dan Menteri Keuangan Mr. AA Maramis yang sedang berada di New Delhi. Surat itu berisi amanat yang sama.
Bunyinya demikian:
PRO. Dr. SUDARSONO- PALLAR- Mr. MARAMIS NEW DELDI :
“KAMI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMBERITAHUKAN BAHWA, PADA HARI MINGGU TANGGAL 19-12-1948 JAM 6 PAGI BELANDA TELAH MEMULAI SERANGANNYA ATAS IBUKOTA JOKYAKARTA, JIKA ICHTIAR Mr. SYAFRUDDIN PRAWIRA NEGARA UNTUK MEMBENTUK PEMERINTAHAN DARURAT DI SUMATERA TIDAK BERHASIL, KEPADA SAUDARA-SAUDARA DIKUASAKAN UNTUK MEMBENTUK EXILE GOVERNMENT (PEMERINTAHAN PELARIAN) REPUBLIK INDONESIA DI INDIA. HARAP DALAM HAL INI BERHUBUNGAN DENGAN SYAFRUDDIN PRAWIRANEGARA DI SUMATERA, JIKA HUBUNGA TIDAK MUNGKIN HARAP DIAMBIL TINDAKAN SEPERLUNYA”.
Jokyakarta, 19 Desember 1948
WAKIL PRESIDEN, MOH. HATTA, MENTERI LUAR NEGERI, AGUS SALIM
Diplomat yang Tegas
Selain dikenang sebagai menteri keuangan, AA. Maramis adalah seorang diplomat yang memperjuangkan Indonesia di kancah perundingan internasional. Bersama L.N. Palar, AA Maramis menghadiri sidang Dewan Keamanan PBB di Paris yang memperdebatkan agresi militer Belanda terhadap RI.
Pada tahun 1949, AA Maramis hadir di Konferensi Pan Asia mengenai Indonesia di New Delhi. AA Maramis juga berangkat ke New York membicarakan dengan Palar dan Dr Soemitro Djojohadikusumo untuk membicarakan kontrak kerja sama ekonomi RI dengan Matthew Fox Concern.
Konon oleh ketegasannya di medan diplomasi, Belanda menaruh hormat kepada AA Maramis yang menyebutnya sebagai een daakdrachtige Minister van Buitenlandse Zaken en Financien. Maksudnya, seorang Menlu dan Menkeu yang bertindak tegas, tidak ragu-ragu.
Sepanjang hidupnya, jabatan-jabatan AA Maramis secara resmi di kabinet adalah Menteri Negara dalam kabinet Presidensial masa kerja 19 Agustus 1945 - 26 September 1945; Menteri Keuangan dalam kabinet Amir Sjarifuddin II masa kerja 11 November 1947 - 29 Januari 1948; Menteri Keuangan dalam kabinet Amir Sjarifuddin I masa kerja 3 Juli 1947 - 11 November 1947; Menteri Luar Negeri dalam kabinet Darurat masa kerja 19 Desember 1948 - 13 Juli 1949 dan Menteri Keuangan dalam kabinet Hatta I masa kerja 29 Januari 1948 - 4 Agustus 1949.
Selain itu,AA Maramis juga pernah menjabat Dubes di Bonn, Jerman Barat (1954), dan di Moskow serta Finlandia (1958).
Di masa tua, ia bersama istrinya, Beth, sempat tinggal di Lausanne, Swiss. Namun kemudian sebuah panitia yang dibentuk oleh Presiden Soeharto menjemputnya untuk pulang ke tanah air, mengingat kondisi kesehatannya yang mulai lemah.
Dia kemudian tinggal di Wisma Pertamina, Jakarta, atas biaya negara dan meninggal dunia di sana pada 31 Juli 1977, dalam usia 80 tahun. Jenazahnya disemayamkan di Ruang Pancasila Kementerian Luar Negeri sebelum dimakamkan dengan upacara militer di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.
Berkat perjuangannya, AA Maramis menerima Bintang Mahaputera dan Bintang Gerilya dari pemerintah Republik Indonesia. (dari berbagai sumber)
Editor : Eben E. Siadari
Kesamaan Persepsi Guru dan Orangtua dapat Cegah Kekerasan
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Co-founder Sehat Jiwa Nur Ihsanti Amalia mengatakan, kesamaan persepsi an...