HUT ke-71 Kemerdekaan: Konghucu Contohkan Relasi Antariman
Menyambut peringatan ulang tahun ke-71 Republik Indonesia, Redaksi satuharapan.com menurunkan serangkaian tulisan hasil wawancara dengan beberapa tokoh mengenai kebebasan berkeyakinan di negeri ini. Berikut wawancara dengan Sekretaris Dewan Kerohanian Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (Matakin), Budi Santoso Tanuwibowo (bagian II dari dua tulisan- selesai).
SATUHARAPAN.COM – Kebebasan beragama di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 di Pasal 28 E Ayat 1, yang menegaskan setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya.
Hak kebebasan beragama juga dijamin dalam Pasal 29 Ayat 2 UUD 1945 yang menyatakan, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”
Selain itu kebebasan beragama juga diatur dan diakui secara global oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) seperti tertuang dalam Deklarasi PBB tentang Hak Asasi Manusia (HAM) yang diterbitkan 10 Desember 1948. Pasal 18 dalam deklarasi tersebut menyebutkan hak atas kebebasan beragama, sesuai dengan hati nurani dan berpikir.
“Setiap orang berhak atas kemerdekaan berpikir, berkeyakinan dan beragama; hak ini mencakup kebebasan untuk berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan pengajaran, peribadatan, pemujaan dan ketaatan, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, di muka umum maupun secara pribadi.”
Pada kenyataannya, di Indonesia, saat ini, kondisi hubungan antaragama setiap tahun, bahkan setiap bulan, berada dalam kondisi dengan grafik naik turun. Merujuk pada catatan terakhir Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), seperti diberitakan satuharapan.com pada akhir bulan lalu, pelanggaran hak kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia meningkat setiap tahunnya.
Mengamati perkembangan kehidupan beragama di Indonesia, Sekretaris Dewan Kerohanian Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (Matakin), Budi Santoso Tanuwibowo, menyatakan semua umat beragama di Indonesia mempunyai pendapat yang sama penting. Ia juga melihat perlunya media memberikan porsi yang sama dalam kaitan relasi antariman di Indonesia.
Budi Tanuwibowo mengungkapkan, walau jumlah penganut Konghucu sedikit di Indonesia, pemeluknya dapat menjalin relasi dengan baik. Dalam perbincangan santai di kantornya, di kawasan Mampang, Jakarta Selatan, belum lama ini, laki-laki asal Tegal itu memberikan contoh konkret jalinan relasinya yang baik dengan tetua adat dari penghayat kepercayaan Sunda Wiwitan, Pangeran Jatikusuma.
Sampai saat ini, menurut pengakuannya, apabila menempuh perjalanan pulang ke kampung halamannya di Tegal, dia menyempatkan diri menengok padepokan Sunda Wiwitan di Cigugur, Kuningan, Jawa Barat. Selain itu, ia juga mengenal beberapa tokoh Sunda Wiwitan lainnya, seperti Dewi Kanti.
Budi mengambil kesimpulan, keakraban yang dia jalin dengan Pangeran Jatikusuma itu merupakan representasi keakraban umat Konghucu yang terbuka terhadap pemeluk agama atau penghayat kepercayaan lain, seperti Sunda Wiwitan.
Budi juga memperluas pergaulannya, dan dalam kehidupan berorganisasi, ia menduduki posisi pembina di organisasi antarumat beragama, Indonesian Conference of Religion and Peace (ICRP).
Dalam organisasi tersebut, Budi dan Ketua Umum Matakin, Uung Sendana Linggaraja, aktif memberi saran apabila terjadi kasus-kasus pengekangan kebebasan beribadah atau berkeyakinan di Indonesia.
“Kami banyak terlibat dalam kegiatan antaragama atau antariman. Bahkan sebelum ada ICRP, kami terlibat di Dian Interfidei dan dalam kelompok dialog antaragama yang ada di Indonesia,” kata Budi.
Budi mengatakan wadah atau lembaga forum antarumat beragama di Indonesia seperti ICRP berperan penting, karena konflik antaragama membutuhkan banyak pandangan dari umat beragama lain.
“Karena di dalam ICRP itu ada banyak representasi dari masing-masing agama, selain aliran kepercayaan seperti Konghucu, Buddha, Hindu, Islam, Kristen, Katolik, juga ada wakil dari Sikh, Bahai, Sunda Wiwitan, Ahmadiyah, dan masih banyak lagi,” Budi menjelaskan.
ICRP adalah sebuah organisasi berbadan hukum yayasan yang bersifat nonsektarian, nonprofit, nonpemerintah yang bergerak untuk pelayanan, dialog, dan resolusi konflik antaragama. Dibidani kelahirannya oleh para tokoh antaragama, ICRP berusaha menyebarkan tradisi dialog dalam pengembangan kehidupan keberagamaan yang humanis dan pluralis di Tanah Air.
Namun, jauh sebelum ICRP diresmikan pada 12 Juli 2000 oleh Presiden keempat Indonesia, Abdurrahman Wahid, upaya-upaya dialog lintas agama sudah tumbuh dan berkembang di Indonesia. Sejak berdiri, upaya mentradisikan dialog yang terbangun sebelumnya senantiasa dipertahankan oleh ICRP. Selain itu, ICRP turut aktif pula berkontribusi dalam pengembangan studi perdamaian dan resolusi konflik.
Budi, lagi-lagi berbagi nostalgia keakrabannya dengan presiden keempat RI, Abdurrahman Wahid, yang lebih dikenal dengan Gus Dur. Bagi Budi, peran Gus Dur sudah terasa sejak ia menjabat Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Peran Gus Dur semakin terasa saat mengizinkan hari libur untuk warga Indonesia yang merayakan Tahun Baru Konghucu.
Gus Dur, menurut penilaian Budi, memperjuangkan perayaan Imlek sebagai hari libur nasional karena Gus Dur sejak lama bergaul secara terbuka dengan etnis Tionghoa di Indonesia.
Pada masa pemerintahan Orde Baru, pelarangan Imlek diatur dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina (Tionghoa). Saat menjabat, Gus Dur mencabut Inpres itu pada tahun 2001, lewat Keputusan Presiden (Keppres) No 19 Tahun 2001.
Editor : Sotyati
Jerman Berduka, Lima Tewas dan 200 Terluka dalam Serangan di...
MAGDEBURG-JERMAN, SATUHARAPAN.COM-Warga Jerman pada hari Sabtu (21/12) berduka atas para korban sera...