I –Doser Bukan Narkotika
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Belum lama ini masyarakat dikejutkan dengan munculnya sebuah aplikasi berbasis teknologi audio, yang dapat diunduh secara bebas melalui internet, bernama I-Doser, yang juga disebut sebagai narkoba dalam bentuk digital.
Dari pemberitaan yang beredar di media sosial, banyak anak remaja yang merasakan sensasi memakai narkoba, setelah mendengarkan konten berupa binaural (dua suara) berdurasi 30 – 40 menit melalui aplikasi tersebut.
Binaural merupakan sebuah teknologi yang diklaim dapat menstimulasi otak, dan mengubah keadaan psikis dan mental. Namun, para peneliti dari berbagai universitas tidak menemukan perubahan pola otak pada pengguna I-Doser.
Tak dapat dimungkiri, suara, nyanyian, atau gelombang suara dalam ritmik tertentu, mampu mempengaruhi emosional manusia.
Seseorang, yang mendengarkan sebuah lagu dapat merasakan ketenangan dalam dirinya, atau bahkan menjadi gundah dan gelisah, bergantung pada jenis musik apa yang didengarkan.
Hal ini, dikarenakan gelombang suara merangsang sel-sel saraf, dan menghantarkannya ke otak.
Pakar telematika, Roy Suryo, menyatakan, i-Doser tidak termasuk salah satu golongan narkoba. Suryo dalam pernyataan yang diterima di Jakarta, Rabu (14/10), mengemukakan, aplikasi ini pertama kali dikenal pada 2007, dan disebut-sebut sementara kalangan sebagai "narkoba jenis baru".
"Sekarang sedang diramaikan kembali aplikasi i-Doser melalui media maya. Apakah memang benar demikian? Tidak!," katanya.
Dia mengatakan, karena pengaruh dari aplikasi musik digital binaural ini hanya bersifat selaku stimulan yang menimbulkan persepsi kognitif dan sangat subjektif bergantung pada imajinasi yang melakukannya.
"I-Doser bisa dibahas secara ilmiah, berdasar TI dan ilmu kesehatan masyarakat. Kemarin sudah dipaparkan juga di BNN saat Acara Sarasehan Pencegahan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba," kata mantan anggota DPR dan menteri pemuda dan olahraga ini.
Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk sementara memblokir empat domain terkait i-Doser, yang kini menjadi kontroversi karena dianggap sebagai narkotika digital.
Menurut Kepala Hubungan Masyarakat dan Pusat Informasi Kementerian Kominfo, Ismail Cawidu, di Jakarta, Rabu (14/10), mereka tetap memblokir domain i-Doser itu sementara waktu ini, meski dalam koordinasi dengan Badan Narkotika Nasional diperoleh kesimpulan i-Doser bukan narkotika. Pemblokiran dilakukan karena informasi i-Doser telah meresahkan masyarakat.
Kementerian Kominfo telah meminta kepada internet service provider (ISP) agar memfilter empat nama domain i-Doser, agar tidak dapat diakses, yaitu i-doser.com, idoseraudio.com, idosersofware.com, dan istoner.com.
"Pemblokiran ini masih bersifat sementara, menunggu rapat anggota Panel Kementerian Kominfo untuk mengambil keputusan terkait hal itu yang akan dilaksanakan pada Jumat (16/10), akan mengambil keputusan apakah akan diblokir permanen atau dibuka kembali," kata Cawidu.
I-Doser menjadi pergunjingan masyarakat karena dinilai memberikan efek seperti narkotika. I-Doser merupakan aplikasi gelombang suara yang dapat mengakibatkan halusinasi. Hal ini dianggap dapat menyebabkan kecanduan yang membahayakan.
Sejumlah negara sebelumnya juga telah memberitakan fenomena i-Doser itu. Sejumlah pihak menyerukan melarang mengunduh aplikasi i-Doser itu.
Menanggapi isu tersebut, Badan Narkotika Nasional (BNN) menegaskan I-Doser tidak termasuk dalam golongan narkotika.
Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 disebutkan, narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman, atau bukan tanaman baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.
Oleh karena itu, meskipun gelombang suara yang dihasilkan oleh I-Doser diklaim dapat memberikan sensasi seperti memakai narkoba oleh pendengarnya, I-Doser tidak termasuk dalam golongan narkotika. (Ant/bnn.go.id)
Risiko 4F dan Gejala Batu Kantung Empedu
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Dokter spesialis bedah subspesialis bedah digestif konsultan RSCM dr. Arn...