Ibrahim Peyon: Akar Persoalan Papua Ada di PBB
JAKARTA-MUNICH, SATUHARAPAN.COM – Terlahir sebagai seorang Papua dari etnis Yali pada pertengahan tahun 1970-an, Ibrahim Peyon mengalami sendiri bagaimana orang Papua diperlakukan secara diskriminatif. Hal ini tampaknya turut mempengaruhi pandangan-pandangan antropolog Universitas Cenderawasih ini dalam melihat masa depan Papua.
Dalam bagian ketiga ini -- dari empat bagian wawancara dengannya – Ibrahim Peyon menjawab pertanyaan tentang dukungan rakyat Papua terhadap kelompok yang selama ini oleh pemerintah RI dipandang sebagai separatis, yaitu United Liberation Movement for West Papua (ULMWP). Kendati Ibrahim Peyon mengatakan dirinya bukan pejuang politik Papua dan tidak melibatkan diri pada organisasi tertentu, sikapnya tegas dalam memandang kehadiran ULMWP.
“ULMWP ada dan menjelma dalam seluruh kehidupan bangsa dan rakyat Papua untuk melawan penindasan pemerintah Indonesia,” kata dia, dalam wawancara tertulis dengan satuharapan.com.
Ibrahim Peyon dikenal sebagai seorang antropolog Papua yang produktif. Buku-buku karya antara lain, Antropologi Kontemporer: Suatu Kajian Kritis Mengenai Papua (Penerbit Kelompok Studi Nirentohon, 2012), Manusia Papua Negroid: Ras dan Ilmu dalam Teori Antropologi, (Penerbit Kelompok Studi Nirentohon, 2012), Struktur Sosial dan Kekerabatan Orang Yali (Penerbit Kelompok Studi Nirentohon, 2012), Terang Bersinar di Balik Gunung: Kisah Pelayanan para Penginjil GKI-TP di Pegunungan Papua Barat, (Penerbit Kelompok Studi Nirentohon, 2015 dan Kolonialisme dan Cahaya Dekolonisasi di Papua Barat (Penerbit Nentiens Focus, 2010).
Ibrahim Peyon saat ini sedang melanjutkan studi Ph.D-nya di Universitas Ludwig Maximilian, Munich, Jerman. Ada pun subjek risetnya adalah tentang struktur dan makna mite dan lagu dalam perspektif indigeneus salah satu etnik di pedalaman Papua.
Berikut ini wawancara bagian ketiga dengan Ibrahim Peyon.
Satuharapan.com: sebetulnya, dukungan rakyat Papua terhadap ULMWP, yang oleh pemerintah RI dianggap kelompok separatis, seperti apa?
A. Ibrahim Peyon: Kalau bicara dukungan rakyat Papua terhadap ULMWP, bangsa Papua melihat ULMWP itu sebagai roh dan tubuh mereka sendiri. ULMWP itu lahir dari dalam diri rakyat dan bangsa Papua, dari dunia penindasan dan perbudakan selama ini. ULMWP itu lahir dan tumbuh dari hutan-hutan, kota-kota, dari jalanan, dari rumah adat bangsa Papua, dari dunia peradaban, dari pusat-pusat pemerintah Indonesia di tanah Papua. Jadi, ULMWP ada dan menjelma dalam seluruh kehidupan bangsa dan rakyat Papua untuk melawan penindasan pemerintah . Untuk mengendalikan kekuasaan atas tanah dan mengatur diri sendiri sebagai manusia yang bermartabat, dengan bangsa-bangsa lain termasuk Indonesia.
Salah satu buku karya A. Ibrahim Peyon (Foto: Ist)
Karena itu, dukungan terhadap ULMWP dalam masyarakat asli Papua sudah dan sangat kuat dari berbagai lapisan masyarakat Papua. Kalau kita jalan dari kampung-kampung yang jauh di balik gunung-gunung, lembah-lembah dan pulau-pulau KNPB dan ULMWP sangat terkenal, merakyat dan memiliki pengaruh sangat besar. Salah satu bukti adalah Petisi Referendum tahun 2017 lalu, di mana 1,8 juta tanda tangan dan jumlah itu sudah 75.88 Persen. Bila tidak ada larangan, penangkapan, pembunuhan oleh polisi dan tentara Indonesia, saya percaya 100% tanda tangan petisi itu.
Pengaruh ULMWP ini diikuti di negara-negara Pasifik dan sudah mendapat dukungan positif dan mempunyai pengaruh sangat besar tiga tahun terakhir ini. Mengapa ULMWP menjadi sangat berpengaruh, karena selain ketiga faksi dalam ULMWP (WPNCL, NRFPB, PNWP), bangsa Papua melihat bahwa, para pemimpin yang sedang memimpin ULMWP itu adalah tokoh-tokoh Papua yang disegani rakyat Papua. Pemerintah Indonesia menempatkan mereka sebagai musuh, tetapi bangsa Papua melihat mereka sebagai pemimpin yang dihormati dan disegani. Sama dengan Indonesia melihat Sukarno dalam sejarah Indonesia dulu, atau rakyat Timor- Timor melihat Xanana Gusmao dan Ramos Horta selama perjuangan mereka.
Jadi, selama ini pemerintah Indonesia selalu mengatakan ULMWP tidak ada pengaruh dan tidak mewakili rakyat Papua adalah tidak mendasar. Indonesia tidak akan menang dengan diplomasi model itu, bangsa-bangsa lain akan melihat Indonesia sebagai negara yang berkata tidak benar, tidak bermoral dan bermartabat rendah. Sekarang bangsa-bangsa Melanesia dan Pasifik sudah mulai tahu itu. Jadi, petisi 1,8 juta itu adalah salah satu bentuk legitimasi dan dukungan bangsa Papua terhadap ULMWP.
Bagaimana tentang kemungkinan dialog RI dengan ULMWP?
Saya tidak melihat sebuah harapan atau kemungkinan dialog Indonesia dengan ULMWP. Karena dalam kapasitas saya sebagai akademisi, saya melihat dialog tidak membawa suata perubahan yang signifikan di tanah Papua. Bagi saya dialog itu adalah sama dengan proses Pepera tahun 1969, yang telah membawa penderitaan terhadap bangsa Papua. Saya juga sudah melihat dari banyak kasus lain di dunia, di mana dialog tidak membawa hasil yang maksimal. Karena dialog itu hanya melibatkan beberapa orang saja sebagai tim perunding, tidak representatif dan tidak demokratis, itu sama dengan Pepera hanya melabatkan 1.025 orang itu. Indonesia sendiri sudah punya pengalaman dialog Helsinki, Firlandia dengan GAM di Aceh, dan hasilnya kita bisa lihat sendiri. Tidak membawa perubahan yang signifikan bagi rakyat Aceh, kecuali kelompok kecil mantan GAM yang menikmati perjanjian itu. Pemerintah Indonesia juga tidak merealisasikan banyak peraturan perjanjian itu. Karena itu, jalan satu-satunya yang paling demokratis adalah dilakukan referendum di bawah pengawasan PBB. Karena hanya referendum sebagai jalan yang paling demokratis, karena indonesia sendiri adalah negara demokrasi.
Bila hasil referendum itu membuktikan bahwa rakyat Papua ingin tinggal dengan Indonesia, maka harus terima itu. Sebaliknya rakyat Papua menginginkan keluar dari Indonesia maka harus terima itu juga, dan membangun dua negara tetangga yang baik. Seperti Indonesia dengan Timor-Leste sekarang ini. Hubungan diplomatik kedua negara sangat baik dalam banyak hal. Kisah masa lalu sudah mereka melakukan rekonsiliasi, dan kedua negara itu saling menerima dan menghargai sebagai negara sahabat saat ini.
Pada sisi lain dialog akan dilaksanakan atas keinginan rakyat Papua tetapi fakta selama ini mayoritas rakyat Papua sudah menolak dialog dengan Jakarta. Kecuali kelompok-kelompok kecil yang mendorong isu dialog itu. Tetapi petisi 1,8 juta itu adalah untuk referendum dan melawan isu dialog dengan Jakarta. Dengan itu saya lihat tidak ada kemungkinan ULMWP dialog dengan Jakarta.
Akar masalah Papua itu ada di UN (PBB, red), dalam resolusi 2504 tahun 1969 itu. Jadi, masalah perlu dibawa ke UN untuk melihat resolusi itu, apakah benar, sesuai hukum internasional, atau tidak. Dengan itu perlu dilakukan referendum sebagai jalan damai dan demokratis.
Referendum itu untuk membuktikan demokrasi Indonesia kepada dunia bahwa Indonesia adalah benar-benar negara demokrasi. Sekaligus Referendum juga adalah untuk melaksanakan amanat UUD 1945 alinea pertama, bahwa kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa…. Referendum itu juga untuk membuktikan dukungan rakyat dan Pemerintah Indonesia atas kemerdekaan Palestina, bahwa Indonesia adalah bukan negara penjajah seperti Israel.
Bila Indonesia tidak melaksanakan itu, maka pemerintah Indonesia sedang melanggar dan menginjak UUD 45 alinea pertama, Demokrasi Indonesia hanya melayani mulut, dan dukungan terhadap Palestina adalah membohongi diri sendiri, bahwa Indonesia sendiri sebagai penjajah terhadap bangsa Papua. Ingat bahwa referendum bukan akhir dari sebuah kemerdekaan Papua, tetapi sebagai proses demokrasi yang harus dilaksanakan".
,
Sejauh mana solidaritas bangsa-bangsa Melanesia menghadapi diplomasi RI di Pasifik?
Saya pikir solidaritas bangsa-bangsa Melanesia di akar rumput sangat kuat, dan solidaritas mereka dibangun atas dasar Wantok. Wantok itu adalah sebuah istilah solidaritas yang memiliki makna psikologi, sosial dan budaya yang luas. Wantok adalah keluarga, saudara, kerabat, kenalan, sekampung, setanah air, satu jiwa dan satu roh. Wantok dibangun berdasarkan darah, karakter fisik dan tanah dan jiwa. Melanesia adalah melanesia, Melanesia bukan Indonesia, Melanesia bukan Asia dan Melanesia bukan Eropa. Karena Wantok itu, solidaritas Melanesia pada akar rumput sangat kuat, mereka anggap masalah Papua adalah masalah mereka sendiri, masalah yang ada dalam rumah keluarga Melanesia.
Lihat saja sikap pemerintah PNG dan Fiji dalam KTT MSG di Port Moresby bulan lalu. Mereka memperlakukan delegasi dan para pemimpin ULMWP sama dengan delegasi negara lain termasuk delegasi Indonesia. ULMWP sebagai observer tetapi mendapat posisi yang sama dan menyampaikan pidato dalam setiap tingkat pertemuan, tingkat pertemuan senior diwakili Dr. Rumaikek, tingkat menteri luar negari disampaikan wakil ketua ULMWP, tuan Octo Mote dan ditingkat pemimpin disampaikan ketua ULMWP, tuan Benny Wenda. Demikian juga delegasi Indonesia mendapat kesempatan yang sama. Hal itu menunjukkan makna Wantok itu sebagai sesama bangsa Melanesia dan melihat itu hubungan ekonomi pemerintah Indonesia belum mampu meredam masalah Papua dalam solidaritas Wantok itu di Melanesia.
Saya pikir bangsa-bangsa Melanesia dan Pasifik juga sedang mempelajari perilaku pemerintah Indonesia selama ini terhadap Papua, terkait masalah sejarah Papua, pelanggaran HAM sangat luar biasa, sikap penolakan Indonesia atas keinginan dialog oleh MSG, delegasi pencari fakta dari forum kepulauan Pasifik, larangan dan deportasi jurnalis asing di Papua, penolakan beberapa komisi PBB, termasuk reaksi Indonesia di sidang umum PBB yang penuh dengan emosional dan pembohongan itu. Hal-hal ini akan menjadi catatan penting mereka di Pasifik dan saya pikir itu akan melemahkan pendekatan Indonesia di Melanesia dan Pasifik itu.
Lanjut ke wawancara bagian keempat (terakhir): Ibrahim Peyon: Isu Referendum Papua Jangan Dianggap Tabu
Editor : Eben E. Siadari
Puluhan Anak Muda Musisi Bali Kolaborasi Drum Kolosal
DENPASAR, SATUHARAPAN.COM - Puluhan anak muda mulai dari usia 12 tahun bersama musisi senior Bali be...