ICJR Menagih Janji Pemerintah Merevisi UU ITE dan Menjamin HAM
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menagih janji pemerintah untuk merevisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) melalui siaran pers di Jakarta pada Rabu (5/2). Terutama ketentuan – ketentuan yang menduplikasi ketentuan – ketentuan pidana yang sudah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
ICJR menyampaikan bahwa UU ITE telah memakan korban, salah satunya Benny Handoko. Benny Handoko merupakan terdakwa kasus penghinaan yang divonis enam bulan penjara dengan masa percobaan satu tahun. Vonis majelis hakim itu lebih ringan dari tuntutan jaksa yaitu melakukan tindak pidana penghinaan dan pencemaran nama baik seperti yang diatur dalam pasal 27 ayat 3 Jo pasal 45 ayat 1 UU ITE dengan pidana penjara selama satu tahun dengan masa percobaan selama dua tahun.
Kasus Benny Handoko atau yang lebih dikenal dengan nama Benhan, merupakan peringatan atas ancaman kebebasan berekspresi dan berpendapat di Indonesia. Benny Handoko merupakan pemilik akun @benhan di jejaring sosial Twitter, menjadi tahanan kejaksaan pada September 2013 lalu. Dia dituduh melakukan pencemaran nama baik ke mantan politisi PKS Mukhamad Misbakhun melalui akun twitter-nya ketika berkicau tentang Misbakhun. Benny Handoko dalam kicauannya menulis sebagai berikut,”Kok bikin lawakan ga bisa lebih lucu lagi... Misbakhun kan termasuk yang ikut “ngerampok” Bank Century... Aya-aya wae..."
Ketua Badan Pengurus ICJR Anggara menyesalkan diprosesnya laporan pidana atas Benny Handoko yang diduga melanggar Pasal 45 ayat (1) jo Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Karena untuk kasus – kasus penghinaan pada dasarnya dapat digunakan mekanisme perdata ketimbang mekanisme pidana. Mekanisme pidana mestinya menjadi ultimum remidium yang digunakan untuk memproses sebuah kasus penghinaan.
Anggara menyatakan bahwa penggunaan jalur pidana yang nantinya akan bermuara pada penjatuhan pidana hanya akan menimbulkan iklim ketakutan dalam masyarakat, dan secara masif berpotensi membatasi hak asasi manusia khususnya kebebasan berekspresi yang telah dijamin dalam konstitusi negara.
Anggara lebih lanjut menegaskan bahwa sebagai salah satu negara pihak dalam Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik, Indonesia seyogianya mengikuti Komentar Umum No 34 dari Pasal 19 Kovenan Hak Sipil dan Politik. Komentar Umum ini menegaskan bahwa penjatuhan pidana penjara dalam perkara penghinaan adalah bentuk sanksi yang tidak sesuai dengan ketentuan HAM Internasional, maka secara relevan penggunaan jalur pidana juga menunjukkan inkonsistensi Indonesia dalam memenuhi komitmen-komitmen Internasionalnya.
Selain itu ICJR menyerukan kepada Mahkamah Agung (MA) untuk segera mengeluarkan edaran untuk menghentikan penggunaan pidana penjara oleh Pengadilan dalam kasus – kasus penghinaan. ICJR juga mendesak kepada Pemerintah dan DPR agar ketentuan – ketentuan penghinaan dalam Rancangan KUHP ditiadakan.
Editor : Bayu Probo
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...