ICJR: Revisi UU Anti-Terorisme Tak Perhatikan Hak Korban
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus A.T Napitupulu menilai draf Revisi Undang-Undang Nomo 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme cenderung tidak memperhatikan hak korban.
“Setidaknya korban terdapat dua jenis. Pertama korban akibat tindak pidana. Kedua, korban penangkapan akibat kesalahan prosedur. Korban akibat tindak pidana teroris, ledakan bom misalnya, mesti cepat mendapatkan layanan medis dari rumah sakit,” kata Erasmus dalam rapat dengar pendapat umum bersama Pansus Revisi UU Nomor 15 Tahun 2003 di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat hari Selasa (31/5).
Ironisnya, kata Erasmus pelayanan rumah sakit kerap menunggu pihak yang menjaminkan biaya medis. Oleh sebab itulah dibutuhkan peran negara dalam menjadi penjamin medis terhadap korban setidaknya.
“Selain itu hak korban mesti dibuat sesingkat mungkin agar dapat segera mendapatkan pelayanan medis akibat menjadi korban akis terorisme,”kata dia.
Selain itu, anggota Pansus RUU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Arsul Sani membandingkan dengan negara Inggris.
Menurutnya UU Terorisme di Inggris memberikan kewenangan lebih kepada penegak hukum.
Namun dalam praktik menjalankan tugas fungsi pokoknya dilakukan pengawasan oleh lembaga pengawas.
“Selain itu adanya lembaga yang menampung komplain masyarakat, termasuk dari korban yang tidak mendapat perhatian dari pemerintah,” kata dia.
“Kalau UU RUU Intelijen saja membuat pengawas, ini harus menjadi pertimbangan. Kalau ada kematian tidak wajar harus jadi perhatian, ini hak korban harus dikedepankan,” dia menambahkan.
Editor : Bayu Probo
KPK Geledah Kantor OJK Terkait Kasus CSR BI
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah kantor Otoritas J...