ICRP: Sekarang Waktu untuk Mengamalkan Pancasila
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) sebagai penyuara kebebasan beragama kembali melaksanakan kegiatan sekolah agama, Jumat (14/2). Kegiatan yang terselenggara berkat kerja sama dengan Megawati Institut ini mengahasilkan kesimpulan untuk berhenti membahas pertentangan antara agama dan Pancasila, karena ini saatnya mengamalkan nilai Pancasila.
Tema sekolah agama kali ini adalah “Agama & Pancasila: Menakar Ulang Tafsir dan Makna Pancasila Sebagai Ideologi Bangsa.” Bertempat di ruang diskusi Megawati Institut, Gedung Enerindo, Jl. Proklamasi No. 53, Menteng, Jakarta Pusat, diskusi kali ini menghadirkan Romo Alexis Andang Listya Binawan (pemuka Katolik), Pdt. Dr. AA. Yewangoe (pemuka Kristen), K. H. Masdar F. Mas’udi (pemuka Islam), Prof. Dr. Masdah Mulia (aktivis HAM), Dr. Yudi Latif (pemikir keagamaan dan kebangsaan), sebagai narasumber dan Mohammad Monib sebagai moderator diskusi.
Pancasila Sesuai dengan Kekristenan
Romo Andang menjadi narasumber yang tampil pertama, sebagai pemeluk agama Katolik, Romo Andang merasa bahwa Pancasila adalah ideologi yang tepat bagi bangsa Indonesia. Menurutnya, Pancasila mengandung nilai-nilai kekristenan, yakni konsep keselamatan, yang menjadi tujuan hidup umat Kristen/Katolik. Selanjutnya, Romo Andang mengkritisi kesalahan Pancasila pada masa lalu dan membaginya dalam tiga bagian. Pancasila digunakan untuk kepentingan, Pancasila menjadi ideologi tertutup dan Pancasila dipaksakan.
Seharusnya, kita memberikan perhatian lebih pada sila kelima, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dengan cara lebih memperhatikan masyarakat dan mengikutsertakan mereka dalam pembangunan bangsa agar mereka lebih tumbuh dan lebih hidup lagi,” Romo Andang mengkhiri pemaparannya.
“Pancasila terlalu berpijak pada kebhinekaan tunggal ika, dimana Pancasila berfokus pada kata eka yang berarti tunggal, sehingga melupakan keberagaman yang ada,” ucap Romo Andang.
Kesempatan selanjutnya diberikan kepada Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI), Pdt. Yewangoe. Ia mengawali lewat sebuah cerita sedihnya melihat berita pembuangan pasien yang terjadi di Lampung yang dilakukan oleh rumah sakit pemerintah. Menurutnya, hal ini sangat menunjukkan tidak adanya pengamalan Pancasila, terutama sila kelima.
“Kemana kemanusiaan yang adil dan beradab?” ucap Pdt. Yewangoe dalam kesempatan pemaparannya tersebut.
Pancasila telah mengalami degradasi pada orde baru, dimana terjadinya pembunuhan Pancasila oleh Pancasila itu sendiri. Dan Kristen menjadi salah satu agama yang menolak ketika saat itu Pancasila akan dijadikan sebagai asas tunggal. Karena, hal tersebut tidak sesuai bila diterapkan di gereja ataupun dirumah ibadah agama lainnya. Sebaiknya saat berada dalam komunitas agama kita sendiri kita menjunjung nilai agama kita, dan pancasila kita digunakan untuk konsep berbangsa dan bernegara.
Berhenti “Hanya” Membahas Pancasila
Kesempatan selanjutnya diberikan pada Kyai Masdar. Ia langsung membuka dengan mengatakan bahwa Indonesia adalah negara yang paling bersemangat dalam membahas ideologi, tidak ada negara seperti Indonesia yang telah merdeka sekian lama namun masih sibuk membahas ideologinya. Menurutnya, Indonesia merupakan negara yang memiliki etnisitas sangat tinggi, hal ini ia perkuat dengan mengatakan bahwa tidak ada negara di dunia ini yang memiliki kompleksitas keberagaman seperti Indonesia.
Menurut Kyai Masdar, Indonesia menjadi negara Pancasila dan bukan negara Islam merupakan hadiah dari umat Islam, tidak egoisnya umat Islam sebagai agama terbesar pada saat itu membuat Indonesia menjadi negara Pancasila.
Kyai Masdar juga tidak sepakat untuk menjadikan Indonesia sebagai negara agama, karena menurutnya, apabila agama masuk sebagai label negara pada umumnya akan menjadikan pemimpinnya merasa sebagai wakil Tuhan. Sehingga akan menghadirkan pemimpin yang otoriter.
Kyai Masdar menutup pemaparannya dengan mengajak agar Indonesia tidak hanya berkutat pada masalah ini dan mulai mengamalkan nilai Pancasila. “Penguasa harus membuktikan bahwa ideologi Pancasila sangat relevan dalam berbangsa dan bernegara,” ucap Kyai Masdar.
Dua Hal Dikandung Pancasila
Selanjutnya pemikir keagamaan dan kebangsaan, Yudi Latif membagi Pancasila kedalam dua hal, yakni Pancasila sebagai filsafat dan Pancasila sebagai pandangan .
Pancasila sebagai filsafat mengandung arti secara teori dan kerasionalan, sehingga Pancasila dapat menjadi displin dalam berpikir. Sedangkan Pancasila sebagai pandangan dunia diartikan bahwa pancasila mengandung nilai eksistensi dan sebuah kepribadian bagi bangsa Indonesia.
Yudi juga menganggap nilai Pancasila sudah mengalami penurunan, dimana dalam pengambilan keputusan atau pembuatan kebijakan pemerintah sering ragu. Seharusnya, bila hal tersebut sesuai dengan ideologi bangsa, yakni Pancasila, pemerintah dapat tegas dalam mengambil keputusan. Misalnya, “Polri ragu dalam mengambil kebijakan mengenai izin bagi Polisi Wanita mengenakan kerudung atau jilbab,” ucap Yudi Latif.
Sehingga menurut Yudi pekerjaan rumah terbesar bangsa ini adalah mengamalkan Pancasila, bagaimana Pancasila benar-benar menjadi dasar dalam setiap kehidupan masyarakat Indonesia.
Selanjutanya, Prof. Musdah Mulia menjadi narasumber terakhir dalam sekolah agama kali ini, “Pancasila dapat menjadi fit and proper test bagi pejabat, bila tidak mengamalkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, maka kelayakan mereka patut dipertanyakan,” ucap Musdah Mulia.
Pancasila bagi Musdah Mulia
Sila pertama, Ketuhanan Yang Mahas Esa, menurutnya tidak akan ada artinya bila orang mengamalkan nilai ketuhanan dengan rajin beribadah namun melakukan tindak korupsi dan justru malah masuk kedalam penjara.
Sila kedua, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, sila kemanusiaan ini menurut Prof. Musdah adalah bagaimana kita bisa tetap menghargai perbedaan, menurutnya Indonesia belum bisa menghargai makna dari sebuah perbedaan. Orang yang berbeda maka akan sulit untuk mengembangkan dirinya karena tidak menemukan komunitas secara mudah.
Sila ketiga, Persatuan Indonesia, tidak mengkotak-kotakan orang berdasarkan etnisnya.
Sila keempat, Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan, hilangnya lahan masyarakat yang diakibatkan oleh bisnis para petinggi negara.
Sila kelima, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, keserakahan masyarakat yang menyebabkan tidak hadirnya keadilan. Segala sesuatu yang ada hanya menguntungkan masyarakat kalangan atas saja, dan menyulitkan kalangan bawah.
Pertentangan mengenai agama dan Pancasila sudah seharusnya kita akhiri, kini saatnya bagaimana mengimplementasikan nilai-nilai yang terkandung dalam agama dan Pancasila. Marilah menginstropeksi diri dan mulai menghindari menyamakan seseorang berdasarkan latar belakangnya, tidak semua orang yang berasal dari kelompok yang sama memiliki karakter dan sifat yang sama.
Editor : Bayu Probo
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...