ICW: Mahkamah Agung Lemahkan KPK
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Peneliti Indonesia Corruption Watch Lalola Easter mengatakan jika Mahkamah Agung (MA) tidak segera mengeluarkan peraturan terkait standardisasi hukum acara praperadilan maka kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan melemah.
“Gugatan praperadilan yang terus timbul akan kontraproduktif terhadap kinerja KPK, karena dengan keterbatasan sumber daya manusia di KPK dikhawatirkan nanti fokusnya sebagai lembaga penindakan korupsi akan terbagi hanya untuk mengurus gugatan praperadilan,” katanya dalam diskusi berjudul “Polemik Praperadilan dan Masa Depan Pemberantasan Korupsi” di Jakarta, Rabu (17/6).
Menurut dia, MA sebagai lembaga tertinggi praperadilan seperti resisten atau tidak berkutik terhadap gejolak praperadilan yang timbul di masyarakat, karena perbedaan hukum acara yang dipahami hakim dalam memutus perkara praperadilan.
“MA rasanya agak absen karena setelah putusan Sarpin belum ada kebijakan dari MA terkait peraturan praperadilan terutama tentang penetapan tersangka, padahal metode atau cara penemuan hukum yang diterapkan hakim Sarpin sebenarnya tidak sesuai atau melompat dari metode penafsiran hukum yang seharusnya,” tuturnya.
Seperti diketahui, hakim Sarpin Rizaldi merupakan hakim tunggal yang memenangkan permohonan praperadilan Komjen Pol Budi Gunawan dalam dugaan tindak pidana korupsi terkait transaksi-transaksi mencurigakan dengan mendasarkan putusannya pada keabsahan alat bukti yang diserahkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Lalola juga mengkritik putusan hakim Haswandi yang menurutnya telah melampaui kewenangan praperadilan dengan mempersoalkan keabsahan penyelidik dan penyidik KPK dalam memutus perkara praperadilan yang diajukan oleh mantan Dirjen Pajak Hadi Poernomo dalam kasus dugaan korupsi terkait penerimaan seluruh permohonan keberatan Wajib Pajak atas Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN) Pajak Penghasilan Badan PT BCA, Tbk tahun pajak 1999.
“Dalam kasus Hadi Poernomo, rasanya hakim (dalam) memutus telah masuk ke dalam pokok perkara karena hakim mempermasalahkan keabsahan penyelidik penyidik KPK,” ujarnya.
Untuk itu, Lalola mendesak MA segera mengeluarkan peraturan untuk meredam gejolak praperadilan atas berbagai perbedaan putusan yang menunjukkan inkonsistensi para hakim dalam menangani perkara praperadilan.
Sependapat dengan Lalola, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice (ICJR) Supriyadi Widodo Eddyono menilai kewenangan lembaga praperadilan yang diatur dalam KUHAP sangat sedikit, pasif, dan lemah sehingga perlu diperkuat dengan peraturan MA.
“Sejumlah ahli dan praktisi mengatakan peraturan mengenai hukum acara praperadilan dalam KUHAP memang kurang memadai dan tidak jelas, sehingga dalam praktiknya hakim banyak menggunakan pendekatan asas-asas hukum acara perdata,” ujarnya.
Akibatnya, sering muncul kontradiksi di antara dua hukum acara yaitu pidana dan perdata, yang tentunya melahirkan situasi ketidakpastian hukum.
Masalah lain yang melingkupi praktik praperadilan, kata dia, adalah kurangnya sumber daya dalam penanganan perkara praperadilan.
“Pengadilan tidak memiliki hakim yang ditunjuk secara khusus untuk menangani perkara praperadilan sehingga perkaranya menumpuk dengan perkara lainnya,” katanya. (Ant)
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...