IDI: Undang-Undang Kesehatan Harus Direvisi
SAMPIT, SATUHARAPAN.COM - Ikatan Dokter Indonesia Kabupaten Kotawaringin Timur Kalimantan Tengah menilai, undang-undang tentang kesehatan harus direvisi karena belum sepenuhnya memberi perlindungan terhadap dokter.
"Kami tidak bisa menyalahkan MA, hakim, kepolisian dan sebagainya karena karena undang-undang kita belum direvisi. Oleh sebab itu Ikatan Dokter Indonesia menghendaki judicial review supaya tidak ada salah tafsir dalam aspek hukum dan aspek etika di dunia kedokteran dalam kasus yang sama nantinya," kata Ketua IDI Kotim, dr Ikhwan Bahtari di Sampit, Rabu (27/11).
Pernyataan itu diungkapkan Ikhwan menanggapi kasus hukum yang menjerat tiga dokter di Manado yaitu Ayu, Hendry dan Hendy yang divonis sepuluh bulan karena kasus malpraktik sehingga menyebabkan meninggalnya seorang pasien usai melahirkan.
Seperti diketahui, Undang-Undang Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dapat dijadikan acuan dalam kasus malpraktik medis, selain undang-undang pidana dan kode etik kedokteran, dengan sanksi pidana, perdata ataupun administrasi.
Menurut Ikhwan, kasus hukum yang menjerat dr Ayu dan dua rekannya, menjadi momen bagi semua pihak untuk melihat kelemahan undang-undang yang diharapkan memberi perlindungan hukum bagi dokter dan tenaga medis lain.
Pihaknya secara profesional dan objektif memandang bahwa kasus hukum adalah tetap kasus hukum. Namun, dugaan kasus malpraktik tidak bisa semata-mata dibuka dari aspek hukum, tetapi juga dari aspek medis lainnya, di antaranya aspek etik.
"Toh sudah ada majelis etik yang memeriksa, melakukan otopsi tentang penyebab kematian. Tidak ada alasan hukum kedokteran dipisahkan dari hukum negara ini karena kedudukan etika lebih tinggi dibanding kedudukan hukum. Makanya salah satu poin yang kita usulkan adalah diadakan judicial review terhadap Undang-undang tentang Praktik Kedokteran," tegas Ikhwan.
Menurutnya, isu kesehatan selalu menarik. Tidak hanya menyangkut keselamatan pasien, tetapi juga keselamatan dokter. Begitu juga isu-isu penting yang terkadang tidak sejalan dengan pemerintah, itupun disuarakan.
Kasus yang menimpa dr Ayu dan dua rekannya menjadi pelajaran juga bagi masyarakat agar tidak buru-buru menyebut malpraktik. Pemerintah juga perlu memberi informasi yang benar terkait malpraktik, serta bagaimana aspek hukum dan etiknya.
Kasus-kasus kedokteran, kata dia, tidak semuanya bisa dimengerti dengan mudah. Tidak hanya masyarakat luas, terkadang dokter pun ada yang tidak mengerti.
Dia menyayangkan lemahnya perlindungan hukum terhadap dokter, perawat dan lainnya. Hukum kedokteran belum direvisi sehingga banyak hal-hal yang tidak menjamin keselamatan tenaga medis.
Dalam kasus-kasus seperti ini, terjadi kematian, kesalahan penanganan, akan menjadi pekerjaan rumah bagi Ikatan Dokter Indonesia. Dinamika kehidupan dokter dan medis memang sangat luas sehingga harus lebih berhati-hati.
Ikhwan juga menyoroti sikap pemerintah dan penegak hukum yang terlihat tidak tegas terhadap pengobatan-pengobatan alternatif yang justru sangat rawan membahayakan keselamatan pasien.
"Pemerintah harus adil, pengobatan alternatif itu tidak tersentuh. Mana yang lebih berbahaya, dokter atau pengobatan alternatif? Misalnya orang beli obat, lalu meninggal, kepada siapa menuntutnya? Tetapi dokter, kalau dia berbuat, dia bisa dituntut, dicari, dilacak. Ada ketidakadilan profesi, ketidakadilan hukum dan tidak ada perlindungan," kata dia. (Ant)
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...