Ilhan Omar, Wanita Muslim dalam Parlemen Minnesota
SATUHARAPAN.COM - Ilhan Omar adalah mantan pengungsi, seorang aktivis keturunan Somalia-Amerika, dan seorang anggota Partai Demokrat.
Pada 8 November nanti, perempuan berusia 33 tahun ini menjadi salah satu dari sedikit wanita Muslim yang akan dilantik menjadi anggota legislatif di Negara Bagian Minnesota.
Omar mendapatkan jatah kursi di parlemen Minnesota setelah mengalahkan pesaing politiknya yang berusia 44 tahun pada pemilihan anggota legislatif lalu. Omar lahir di Mogadishu, dan ia harus meninggalkan rumahnya pada usia 8 tahun akibat perang yang berkecamuk di Somalia.
Keluarganya tinggal sebagai pengungsi di Kenya selama beberapa tahun. Omar tiba di Amerika Serikat ketika berumur 12 tahun, sebagai bagian gelombang pengungsi Somalia yang mendapatkan kesempatan untuk tinggal menetap di Minnesota pada tahun 1990. Minatnya terhadap dunia politik muncul setelah ia mengikuti pertemuan kaukus Demokrat pada usia 14 tahun. Ketika itu ia menemani kakeknya dan ia menjadi penerjemah kakeknya.
Omar bekerja pada komunitas peduli kesehatan, kemudian menjadi staf di DPRD Minnesota. Dari posisi itu, ia mencalonkan diri menjadi anggota dewan.
“Ketika saya sampai di Amerika untuk pertama kali, hanya dua kata yang saya tahu, ‘hello’ dan ‘shut up’. Saya harus menghadapi banyak tantangan ketika memulai sekolah. Dan, ayah saya bercerita bahwa saya selalu pulang sekolah dalam keadaan menangis karena banyak kesulitan yang saya hadapi untuk bersosialisasi di sekolah,” ia mengenang.
“Ayah selalu mengajak saya belajar keras supaya dapat berbicara dalam bahasa setempat dengan baik. ‘Bila kamu dapat menguasai bahasa mereka, maka kamu akan dapat berkomunikasi dengan baik. Kamu akan dapat membangun persahabatan. Keterasingan sebagai imigran, sebagai Muslim, keturunan Afrika Timur, kulit hitan, akan hilang karena kamu dapat berbicara dengan mereka, dan mereka akan melihat siapa dirimu sebenarnya’,” ujar Omar, menirukan pesan ayahnya.
Pada masa itu memang masih terjadi ketegangan antara warga Amerika berkulit hitam, para imigran baru, orang-orang Amerika Latin, warga asli Amerika, Muslim Arab, dan Muslim asal Afrika Timur. Penggolongan pergaulan sesuai kelompok justru meningkatkan rasialisme dan benturan budaya.
“Saya harus berjuang untuk membangun komunitas yang kompak sehingga kami dapat bertahan sampai SMU. Perjuangannya adalah bagaimana menemukan teman yang menyadari keberadaannya sebagai penghubung dan bekerja bersama pemimpin di sekolah. Kami harus menciptakan suasana kami dapat makan bersama, berkumpul bersama, dan diskusi bersama, supaya kami dapat berbicara semua isu sebelum terjadi kekerasan. Setelah itu saya merasa bahwa keinginan saya adalah menjadi penghubung, berkolaborasi, dan usaha bersama untuk mengatasi semua tantangan,” tambah Omar.
Iman sebagai Muslim
Omar mengakui, imannya sebagai Muslim sangat berpengaruh dalam perjalanan hidupnya. Salah satu nilai yang ia lakukan adalah selalu membangun konsensus. Apabila ia menemukan hal-hal yang tidak sesuai dengan nilai Islam, ia akan mengajak beberapa orang untuk berdiskusi sebelum ia mengambil keputusan. Ide konsensus itu telah dibangun dalam dirinya, melalui imannya sebagai Muslim, dan dalam budaya dimana ia dilahirkan.
“Saya bekerja untuk kesamaan, dan saya bekerja untuk memastikan bahwa sistem kita adil untuk kita semua,” ujar Oman.
Bagi Oman tantangan terbesar adalah bekerja dalam wilayah yang heterogen, dan memastikan bahwa konsep konsensus dapat berjalan secara berkelanjutan. Sebagai wanita Muslim keturunan Afrika Timur pertama pada parlemen Minnesota, ia mengakui tugasnya adalah mewakili semua orang walau ia berasal dari kelompok tertentu.
“Ini hal pertama dalam hidup saya, dan mungkin juga dalam sejarah Amerika Serikat, seorang anggota legislatif terpilih dalam situasi dimana ketakutan terhadap Islam itu merebak. Saya berharap bahwa dengan terpilihnya saya, membuktikan bahwa perbedaan itu tidak menghalangi seseorang untuk melakukan sesuatu yang berdampak bagi lingkungannya,” katanya.
“Ini bukan wilayah mayoritas Muslim, apalagi saya adalah perempuan. Saya berharap banyak orang akan mendapat keberanian untuk berkarya di wilayah di mana mereka menjadi minoritas, dan mereka meyakini pesan-pesan yang ingin mereka sampaikan. Dan, percayalah, orang akan memilih karena visi, bukan karena identitas kita,” ia menambahkan.(huffingtonpost.com/spw)
Editor : Sotyati
Kremlin: AS Izinkan Ukraina Gunakan Senjata Serang Rusia Mem...
MOSKOW, SATUHARAPAN.COM-Kremlin mengatakan pada hari Senin ( 18/11) bahwa pemerintahan Presiden Amer...