IMF: Indonesia Capai Pertumbuhan 6 Persen Tahun 2018
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Berbeda dengan pemerintah yang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) memasang target pertumbuhan ekonomi 7 persen pada 2017, 7,5 persen pada 2018 dan 8 persen pada 2019, Lembaga Dana Moneter Internasional (IMF) lebih konservatif.
Lembaga yang dipimpin Christina Lagarde ini memperkirakan Indonesia pada tahun 2018 baru akan mencapai pertumbuhan 6 persen –bukan 7,5 persen seperti pada rancangan RPJM yang disusun oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Itu pun dengan catatan Indonesia harus melakukan reformasi yang terfokus dan investasi infrastruktur yang lebih besar.
Hal ini terungkap dalam tinjauan dan survei ekonomi terbaru IMF atas ekonomi Indonesia setebal 76 halaman yang diterima oleh satuharapan.com kemarin Kamis (19/3).
Sesuai dengan Article IV dari Article of Agreement IMF, lembaga ini diamanatkan paling tidak setiap tahun harus menyelenggarakan diskusi bilateral dengan masing-masing negara anggotanya. Sebuah tim dari IMF akan mengunjungi negara anggota, mengumpulkan informasi ekonomi dan keuangan, serta mendiskusikannya dengan pengambil kebijakan di bidang ekonomi di masing-masing negara. Sekembalinya ke kantor pusat, para staf IMF menyusun laporan yang didasarkan pada hasil diskusi tersebut.
Untuk laporan ini, tim IMF mengunjungi Indonesia pada 3-17 Desember 2014, sedangkan laporannya rampung pada 9 Maret.
IMF memperkirakan, Indonesia akan tumbuh 5,25 persen tahun ini, sedikit meningkat dibandingkan tahun 2014 yang tumbuh 5,1 persen. Meskipun demikian, IMF memperkirakan Indonesia pada tahun 2018 baru akan tumbuh 6 persen dengan syarat menyelesaikan berbagai pekerjaan rumah yang masih tersisa. IMF juga mengingatkan adanya risiko dari guncangan ekonomi eksternal yang berpotensi menggoyahkan sektor perbankan dan korporasi.
“Dengan reformasi terfokus, investasi infrastruktur yang lebih dan pengaturan ekonomi makro yang stabil, pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan meningkat menjadi 6 persen pada tahun 2018,” demikian IMF dalam laporannya, yang dikerjakan oleh sebuah tim beranggotakan 10 orang yang dipimpin oleh David Cowen.
Tim ekonomi pemerintah Presiden Joko Widodo baru-baru ini mendapat kritikan oleh penetapan target pertumbuhan yang dinilai terlalu ambisius. Target pertumbuhan 7,5 persen pada 2018 dan 8 persen pada tahun 2019 dinilai sulit dicapai, mengingat tren pertumbuhan ekonomi kawasan yang sedang melambat, ditambah dengan penilaian minimnya koordinasi di jajaran kabinet.
IMF sendiri mencatat adanya keinginan pemerintah untuk memacu pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dalam jangka menengah. Namun IMF juga mencatat bahwa keinginan tersebut harus mempertimbangkan stabilitas moneter makro dan keseimbangan eksternal perekonomian.
Dalam laporan tersebut, IMF mengapresiasi adanya upaya pemerintah untuk menciptakan model baru pertumbuhan ekonomi. Model baru itu diperlukan karena anjloknya harga komoditas di pasar global. Oleh karena itu, pemerintah berusaha menggiring penghela pertumbuhan ekonomi dari ekspor komoditas ke ekspor produk manufaktur yang lebih berdaya saing.
Diakui bahwa dalam 15 tahun terakhir, kontribusi sektor komoditas terhadap Produk Domestik Bruto telah berkurang sekitar 5 persen sehubungan dengan menurunnya permintaan dari pasar utama, terutama Tiongkok. Di lain pihak, terdapat tanda-tanda bahwa produk manufaktur mulai bangkit sebagai andalan ekspor, ditunjang oleh investasi asing langsung dan melemahnya rupiah.
“Dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi global, masih banyak hal yang perlu dikerjakan untuk mengembangkan sebuah penghela pertumbuhan baru,” demikian laporan IMF tersebut.
IMF mendorong pemerintah untuk mengurai dan melonggarkan kemacetan dalam rantai pasok dan produksi, yang sudah menjadi keluhan bertahun-tahun. Kemacetan itu diharapkan dapat dipecahkan melalui reformasi yang bertujuan meningkatkan potensi pertumbuhan ekonomi.
Salah satu reformasi yang oleh IMF dinilai penting dan sudah berhasil adalah tindakan tegas yang diambil oleh pemerintah menghapus sebagian subsidi BBM. Ini memberikan ruang yang lebih luas dalam anggaran pemerintah untuk belanja sosial dan infrastruktur.
Ditekankan pula bahwa reformasi ekonomi yang diperlukan saat ini, ialah reformasi yang bertujuan untuk meningkatkan iklim investasi yang akan memperluas basis ekspor. IMF menilai dijalankannya reformasi ini akan mengirimkan sinyal positif kepada calon investor apabila diiringi juga dengan dijalankannya rezim perdagangan dan investasi yang stabil, pengembangan sumber daya manusia dan fleksibilitas di pasar tenaga kerja serta pendalaman pasar keuangan.
Editor : Eben Ezer Siadari
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...