Impian Masa Depan Ekologi Indonesia
SATUHARAPAN.COM - Di Media Sosial gambar hakim ketua Parlas Nababan di pengadilan negeri Palembang yang memutuskan kemenangan bagi perusahaan pembakar hutan PT Bumi Mekar Hijau (PT.BMH) beberapa waktu lalu beredar luas. Berbagai komentar sinis dan marah dialamatkan kepada hakim atas Keputusan Pengadilan Negeri Palembang Nomor 24/Pdt.6/2015/PN.Plg yang memenangkan tergugat PT BMH. Reaksi keras itu muncul karena alasan hakim memenangkan PT. BMH karena hutan yang terbakar masih dapat ditanami, mengabaikan kerugian akibat pembakaran hutan karena penghitungan kerugian ekologis yang tidak berdasar dan pula tidak menerima dampak pembakaran karena lepasnya Karbon ke udara. Komentar masyarakat luas begitu beragam dan umumnya mengecam keras.
Sikap penolakan atas dampak pembakaran hutan di areal PT BMH juga diberikan pihak PT BMH. Dari pembelaanya atas gugatan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) kelihatan sekali bahwa PT BMH tidak ada rasa prihatin atas pembakaran lahan itu. Semua gugatan dijawab dengan mudah tanpa menerima gugatan yang sudah sangat jelas dampaknya berakibat fatal terhadap manusia dan kerusakan bumi. PT BMH merasa telah memberikan yang terbaik, padahal faktanya pembakaran itu tidak terkendali.
Pertimbangan reaksi keras masyarakat terhadap keputusan hakim karena asap itu telah mengakibatkan masyarakat ada yang meninggal, sakit dan berbagai penderitaan yang dialami masayarakat akibat kebakaran hutan. Asap akibat pembakaran hutan telah meluas hingga ke negeri tetangga. Pembakaran hutan ini telah menjadi perhatian dunia internasional. Sedikit sekali masyarakat yang mempertimbangkan bahwa fungsi utama hutan sebagai sumber kehidupan makhluk hidup. Hutan merupakan sumber kehidupan bagi makhluk hidup. Hutan yang terbakar tidak mungkin kembali fungsinya karena kehilangan tumbuhan dan hewan endemik. Mikro organisme sebagai bagian dari siklus ekosistem juga punah akibat kebakaran hutan.
Alasan hakim yang mengatakan bahwa hutan masih bisa ditanami menunjukkan pemahaman hakim akan fungsi eksosistem tidak ada sama sekali. Ibarat anak yang lahir di kota yang karena sibuk dengan dirinya sendiri tidak paham berapa jumlah saudara ayah dan saudara ibu kandungnya di kampung halaman. Alasan keputusan hakim membuat publik terkejut. Sebetulnya, kita tidak perlu terkejut jika kita mengikuti perkembangan hukum dan persoalan lingkungan selama ini. Hukum yang lemah ditambah aparat hukum yang menerjemahkan persoalan lingkungan tanpa nurani ikut andil dalam meyempurnakan lolosnya penjahat lingkungan selama ini.
Sejak puluhan tahun lalu, berbagai seminar dan berbagai usaha telah dilakukan Kementerian Lingkungan Hidup untuk menyiasati agar penjahat lingkungan dapat dipenjarakan. Dimulai dari pelatihan terhadap hakim khusus dalam kasus lingkungan hingga hakim bersertifikat lingkungan, sesuai Surat Keputusan Mahkamah Agung No 134/KMA/SK/IX/2011. Hakim yang mengadili perkara lingkungan harus memiliki sertifikat lingkungan karena menyangkut paradigma melihat persoalan. Hakim harus mampu memahami bahwa kerusakan ekosistem tidak dapat dinilai dengan uang. Sebab kebakaran hutan mengakibatkan putusnya rantai makanan (food chain) jaring-jaring makanan (food web). Kerugian akibat kebakaran hutan tidak terbatas nilainya (unlimited value).
Karena nilainya tak terbatas maka segala daya upaya dilakukan agar hutan tidak terbakar. Risiko tinggi dan ancaman masa depan bumi akibat kebakaran mengharuskan penghuni kolong langit ini serius menjaga hutan sebagi sumber kehidupan bagi mahkluk hidup. Namun soalnya terbentur pada orientasi pembangunan yang selalu hanya diukur dengan pertumbuhan ekonomi. Apakah masa Jokowi dapat menyediakan peluang baru?
Urgensi UU Konservasi
Di masa Orde Baru dan era Reformasi orientasi pembangunan kita adalah pertumbuhan ekonomi. Indikator pembangunan kita fokus kepada angka pertumbuhan ekonomi. Bangsa ini lupa kalau setinggi apapun pertumbuhan ekonomi jika alam rusak semua pembangunan adalah kesiasiaan yang menimbulkan tragedi kemanusiaan.
Rakyat Indonesia patut bersyukur memiliki Presiden Jokowi yang beberapa waktu lalu menabur katak di Istana. Presiden Jokowi juga melepas burung, tupai, ikan di Istana Bogor dan Jakarta. Kelihatan sekali Presiden Jokowi sarjana kehutanan yang memahami dan peduli akan ekosistem.
Pelepasan hewan-hewan di Istana sebagai lambang pentingnya ekosistem. Tindakan Presiden Jokowi ini memiliki makna yang sangat luas dalam memaknai hubungan manusia dengan alam. Inilah kesempatan negeri ini untuk mewujudkan pembangunan yang selaras dengan alam.
Fakta bahwa Presiden kita memahami dan konsentrasi terhadap ekosistem maka rencana Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menargetkan UU keanekaragaman hayati tahun ini sangatlah tepat. UU keanekaragaman hayati dan sudah dipraktikkan Presiden Jokowi merupakan tindaklanjut dari pertemuan perubahan iklim di Paris akhir November 2015.
Era Presiden Jokowi yang merakyat, berintegritas, rendah hati, berpihak kepada keberlangsungan ekosistem menjadi momentum bagi rakyat Indonesia untuk membangun segala sesuatu yang selaras dengan alam. Kita melihat Malaysia yang pemahaman pemimpin dan masyarakatnya sangat baik akan peranan ekosistem membiarkan burung-burung merasa nyaman hidup bersama masyarakat. Burung-burung tanpa rasa takut datang ke gedung-gedung kampus, rumah ibadah dan di ruang-ruang publik.
Presiden Jokowi sudah memberikan pembelajaran tentang pentingnya ekosistem dengan menabur katak, tupai, burung-burung di Istana, kiranya masyarakat Indonesia dari Sabang sampai Merauke mengikuti pemahaman dan tindakan itu. Tidak mudah mengubah perilaku mengurung burung dan berbagai hewan liar menjadi melepaskan burung dan hewan-hewan liar itu menikmati kehidupannya untuk keseimbangan ekosistem. Mengubah perilaku “memiliki” ke perilaku menikmati melihat kebebasan hewan dan burung menikmati hidupnya tidaklah mudah. Kebebasan hewan dan satwa lain merupakan bagian dari keselarasan ekosistem.
Momentum ini merupakan titik balik pembangunan kita dari orientasi pertumbuhan ekonomi dengan pembangunan orientasi selaras dengan alam. Masyarakat kita tidak dapat hidup hanya karena uang, tetapi kita hidup sehat dengan lingkungan yang sehat. Kita harus menyadari bahwa keanekaragaman hayati (biodiversity) adalah masa depan, harus menjadi yang utama. Pemahaman ekosistem ini juga harus dimasukkan melalui kurikulum agar kelak generasi bangsa ini membangun Indonesia dengan keseimbangan ekosistem. Jika pemahaman ekosistem dimulai dari kurikulum sekolah maka tidak ada lagi keputusan hakim seperti di Pengadilan Negeri Palembang yang mengatakan bahwa kebakaran hutan tidak merusak karena dapat ditanami lagi. Hal yang kelihatan adalah pembangunan yang indah, eksosistem yang terjaga. Negeri kita nyaman dihuni anak negeri.
Penulis adalah alumnus pascasarjana IPB bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan, praktisi Lingkungan, aktif di Lembaga Kajian Kebijakan Lokal.
Editor : Trisno S Sutanto
Pemberontak Suriah: Kami Tak Mencari Konflik, Israel Tak Pun...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Pemimpin kelompok pemberontak Islamis Suriah, Hayat Tahrir al-Sham (HTS), ...