INDEF: Ekspektasi Perekonomian Indonesia 2015 Terlalu Tinggi
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Direktur Institute for Development of Economics and Finance Enny Sri Hartati mengungkapkan ekspektasi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2015 terlalu tinggi karena masukya masa pemerintahan baru Joko Widodo-Jusuf Kalla. Namun, ternyata harapan itu tak terwujud karena perekonomian global pada tahun 2015 justru bergerak melambat.
“Ekspektasi masyarakat sangat tinggi terhadap pemerintahan Jokowi-JK yang berkomitmen untuk mewujudkan jalan perubahan untuk Indonesia yang berdaulat, mandiri dan berkepribadian. Masyarakat memiliki harapan besar akan adanya peningkatan kesejahteraan di era pemerintahan Jokowi-JK,” kata Enny dalam Seminar Proyeksi Ekonomi Indonesia 2016 di Kampus IPMI Kalibata Jakarta Selatan, hari Kamis (26/11).
Sayangnya, lanjut dia, lebih dari satu tahun pemerintahan ini berjalan, harapan masyarakat tersebut belum kunjung terealisasi. Pada tiga triwulan terakhir, ekonomi Indonesia hanya tumbuh di kisaran 4,6 hingga 4,7 persen, yang merupakan titik terendah sejak krisis keuangan global tahun 2009.
Dari hasil evaluasi INDEF, Enny menilai ada faktor eksternal dan internal mengapa pertumbuhan ekonomi Indonesia berjalan melambat. Faktor eksternal adalah ketidakpastian The Fed yang akan menaikkan suku bunganya, penurunan ekonomi Tiongkok dan anjloknya harga komoditas.
Kemudian, faktor internal yang menghambat pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah melambatnya konsumsi rumah tangga, minimnya serapan anggaran pemerintah, anjloknya kinerja perdagangan dan penurunan realisasi investasi.
“Melambatnya konsumsi rumah tangga adalah konsekuensi logis dari melambatnya pertumbuhan ekonomi. Perlambatan ekonomi menyebabkan banyak karyawan yang dirumahkan, yang berarti terjadi penurunan terhadap pendapatan masyarakat secara agregat yang berujung pada melambatnya konsumsi masyarakat.”
Selain itu, perlambatan konsumsi rumah tangga juga disebabkan oleh harga bahan pangan yang naik drastis pada kuartal II tahun 2015. Stabilitas bahan pangan menjadi hal yang penting mengingat 40 persen konsumsi masyarakat bertumpu pada konsumsi pangan.
Penyerapan anggaran pemerintah selama 2015 juga sangat rendah. Per 30 September 2015 pendapatan negara baru mencapai Rp 989,8 triliun atau mencapai 56,2 persen dari total target APBN-P 2015 sebesar Rp 1.761,6 triliun. Di sisi lain, realisasi belanja pemerintah per 30 September 2015 baru mencapai Rp 1.248,9 triliun atau 62,9 persen dari target Rp 1.984,1 triliun pada APBN-P 2015.
Kinerja Perdagangan Tidak Terlalu Baik
Selain itu, kinerja perdagangan Indonesia juga dinilai tidak terlalu baik. Jika dilihat pada neraca perdagangan memang sepanjang 2015 ini Indonesia terus mengalami surplus bila dibandingkan pada tiga tahun terakhir yang terus mencatatkan defisit.
Namun, surplus perdagangan itu bersifat semu karena lebih banyak disebabkan kepada nilai impor yang turun drastis bukan kepada peningkatan nilai ekspor.
Kemudian dari sisi nilai tukar, rupiah juga mengalami fase pelemahan hingga hampir mencapai Rp 15.000 per dolar. Sebagai respon untuk memperbaiki kondisi rupiah yang makin terpuruk, pemerintah bahkan telah mengeluarkan enam paket kebijakan ekonomi.
“Sayangnya, progress, report dan follow up dari berbagai paket kebijakan ini tidak jelas sehingga diragukan efektivitasnya untuk medongkrak perekonomian nasional,” kata Enny.
Memasuki tahun 2016, INDEF melihat bahwa tahun depan tidak akan berbeda jauh dengan apa yang terjadi pada tahun 2015, meskipun ada sedikit perbaikan.
“INDEF dengan pesimis memprediksi bahwa pertumbuhan hanya akan tumbuh sebesar 5 persen atau lebih rendah 0,3 persen dibanding target pemerintah.”
Oleh karena itu, lanjut dia, pemerintah harus memperhatikan sisi penawaran investasi, menggenjot produktivitas dan menjaga daya beli masyarakat.
Editor : Bayu Probo
Otoritas Suriah Tunjuk Seorang Komandan HTS sebagai Menteri ...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Penguasa baru Suriah telah menunjuk Murhaf Abu Qasra, seorang tokoh terkem...