Indonesian Netaudio Festival 3.0 Digelar di Jogja National Museum
YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Indonesia Netaudio Forum, sebuah platform pengarsipan dan pendokumentasian seni suara secara digital di Indonesia mengelar Indonesian Netaudio Festival (INF) 3.0 di Jogja National Museum. Festival dibuka pada Sabtu (18/8) siang.
Bekerjasama dengan program jangka panjang Japan Foundation Asia Center: “ref:now—toward a new media culture in asia”, INF 3.0 mengangkat tema “Sharing Over Netizen Explosion” mengundang musisi, seniman, penggerak budaya alternatif, kurator, peneliti dan praktisi media dari Indonesia dan Jepang untuk bersama-sama mengkaji budaya berbagi dan intervensi artistik di tengah gegap gempita ledakan informasi para pengguna internet saat ini. Sebuah kondisi dimana jaringan internet kini menciptakan ruang yang ambigu: meretas batasan yang mainstream dan underground, mengaburkan yang nyata dan maya (fisik dan non-fisik), hingga pertarungan kontrol privasi antara warga dan penguasa jagad maya.
"Semangatnya adalah berbagi serta mengembalikan moda terhubung melalui jaringan (daring/online) secara sehat, bertanggung jawab, dan menghindari penyebaran berita-berita hoax. Berbagi (share) adalah fenomena keseharian dalam dunia nyata yang sudah ada jauh sebelum munculnya internet," jelas narahubung media partner INF 3.0, Amelberga Astri Prasetyaningtyas kepada satuharapan.com Sabtu (18/8) siang.
INF 3.0 merupakan penyelenggaraan ketiga kali setelah pada tahun 2012 INF 1.0 digelar di beberapa tempat di Yogyakarta, dan INF 2.0 di IFI Bandung. Melalui forum tersebut data koleksi berupa rekaman musik, sampling instrumen musik dan bebunyian yang ada di sekitar kita dibagikan secara terbuka baik daring (online) maupun luring (offline) untuk memperkaya khasanah seni dan budaya di Indonesia. Sebagai sebuah forum yang cair dan terbuka, pengembangan arsip tersebut dilakukan secara partisipatif dan kolaboratif dalam program kreatif seperti festival, diskusi, lokakarya, dan penerbitan.
Dalam perhelatan INF 3.0 disajikan beberapa program yaitu konser musik menampilkan grup musik indie diantaraya Hifana (Jepang) feat Senyawa dan Antirender, Silampukau, Amok, Sabarbar, Hyper Allergic, Temaram, Barakatak, Bottlesmoker yang diselenggarakan bersamaan dengan Pasar Barter, Live cooking, dan diskusi performative di halaman belakang dan Pendapa Ajiyasa JNM pada 18-19 Agustus.
Di ruang pamer JNM digelar pameran seni media mengusung tajuk “Internet of (No)Things: Ubiquitous Networking and Artistic Intervention” melibatkan empat seniman asal Jepang EXONEMO, Ai Hasegawa, Ayano Sudo, Soichiro Mihara/Kazuki Saita, serta lima seniman asal Indonesia yakni Tromarama, Igor Tamerlan, Arief Budiman, Mira Rizki, Abi Rama. Pameran berlangsung dari tanggal 18-28 Agustus 2018.
Mira Rizki Kurnia memamerkan karya instalasi dengan memanfaatkan media bunyi dan sifat interaktifnya dalam karya berjudul "Jejak Bunyi". Belasan kaleng yang dihubungkan satu sama lain dengan menggunakan kawat sebagai penghantar bunyi dalam keterhubungan satu sama lain yang memungkinkan untuk saling terkoneksi dan berkomunikasi. Sepintas karya instalasi Mira mengingatkan pada mainan telepon anak-anak yang memanfaatkan kaleng bekas dihubungkan benang untuk bisa berbicara dalam bisikan pelan sejarak dengan panjang bentang terbentang. Dengan membuat antar kaleng saling terhubung, "Jejak Bunyi" menjadi gambaran internet yang primitif.
Mengambil informasi dari berbagai sumber bunyi yang ada dalam dunia berjejaring dalam koneksi internet saat ini ibarat mengambil informasi dari bermilyar sumber informasi yang tersedia di belantara internet dari berbagai belahan dunia. Kepentingan informasi untuk keperluan apapun bisa diambil dari realitas internet hari ini.
Memanfaatkan karya foto, seniman foto perempuan asal Jepang Ayano Sudo membuat project dengan potret dirinya sebagai subyek yang bermetamorfosis dalam rentang waktu 2010-2014 dengan titik berat pada perubahan struktur wajah baik dari sudut pandang gender maupun morfologi. Dalam olah digital pada karya fotonya Ayano seolah membuat refleksi situasi dimana realitas hari ini antara budaya, gender, dan identitas sudah menjadi lentur dan kabur melalui akselerasi internet.
Ai Hasegawa memotret hubungan manusia dan perkembangan teknologi dalam project karya berjudul "(im)possible Baby, Case #1: Asako & Moriga". Perkembangan terbaru dari ilmu genetika terhadap sel induk sebagaimana keberhasilan yang telah diraih oleh para ilmuwan di Cambridge University (Inggris) dan Weizmann Institute (Israel) telah membawa impian pada semakin dekatnya kenyataan yang pernah disampaikan oleh ilmuwan Israel Jacob Hanna yang menyatakan bahwa dengan teknologi dimungkinkan menciptakan bayi dengan unsur genetik yang sama persis dengan orang tuanya yang berjenis kelamin sama.
Dalam project tersebut Ai Hasegawa membuat simulasi pesilangan (hybridization) dari DNA dan gen pasangan lesbian serta visualisasi hasil dari simulasi tersebut. Melengkapi karya project-nya dengan film dokumenter berdurasi 30 menit, dalam karya project "(im)possible Baby, Case #1: Asako & Moriga" Ai Hasegawa mencoba membuka ruang dialog-perdebatan: apakah penciptaan bayi dari orang tua yang berjenis kelamin sama adalah hal yang etis untuk dilakukan?
Menjalani kehidupan akhir-akhir ini yang hampir-hampir tidak bisa terlepas dari dunia daring (online) dan tanpa batas menjadi tidak terhindarkan saling memengaruhi adalah sebuah keniscayaan.
Pameran seni media INF 3.0 bertajuk “Internet of (No)Things: Ubiquitous Networking and Artistic Intervention” berlangsung hingga 28 Agustus 2018 di ruang pamer JNM Jalan Ki Amri Yahya No. 1, Gampingan-Yogyakarta.
AS Laporkan Kasus Flu Burung Parah Pertama pada Manusia
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Seorang pria di Louisiana, Amerika Serikat, menderita penyakit parah perta...