Indonesianis Tulis Buku Biografi Sri Sultan HB IX
YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM -- John Monfries, seorang Indonesianis asal Australia baru-baru ini memantik perhatian setelah berhasil merampungkan buku biografi Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Buku berjudul “A Prince in a Republic: The Life of Sultan Hamengku Buwono IX of Yogyakarta” ini merupakan disertasi John Monfries ketika menempuh jenjang Doktoral di Australia National University (ANU).
Sebelum buku karyanya ini terbit, satu-satunya buku biografi Sri Sultan HB IX yang menjadi rujukan oleh banyak orang adalah “Tahta untuk Rakyat” yang terbit pada 1982. Namun kini, buku setebal 378 halaman yang ditulis dengan mendasarkan pada prinsip akademis ini mampu pula menjadi rujukan bagi para peneliti. Inilah untuk kali pertama buku biografi Sri Sultan HB IX ditulis oleh seorang peneliti asing dalam bahasa Inggris.
“Buku karya John Monfries ini adalah kajian pertama dalam bahasa Inggris yang ditulis oleh seorang peneliti asing. Tulisan ini lebih mendasarkan pada prinsip akademis,” kata Prof. Djoko Suryo dalam bedah buku “A Prince in a Republic: The Life of Sultan Hamengku Buwono IX of Yogyakarta” pada Minggu (12/4) malam di Pagelaran Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Acara bedah buku yang diselenggarakan oleh Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (BPAD) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) ini menampilkan dua pembahas, yaitu Prof. Djoko Suryo dan Prof. Bambang Purwanto keduanya adalah Guru Besar di UGM.
Tak ketinggalan, acara yang dihelat bertepatan dengan 103 tahun usia almarhum Sri Sultan HB IX (lahir pada Jum’at Legi, 12 April 1912) ini juga menampilkan penulis buku, John Monfries.
Menurut John Monfries, sosok Sri Sultan HB IX sangat menarik untuk diteliti. Pasalnya, Sri Sultan HB IX adalah individu yang dididik dengan pendidikan Barat selama sembilan tahun, namun mampu tetap mempertahankan identitasnya sebagai orang Jawa. Selain itu, di mata Monfries, Sultan HB IX adalah sosok raja yang tidak feodal, sekaligus figur sultan yang tidak fanatik.
“Di mata saya, sosok Sri Sultan adalah seorang Pangeran Republik. Beliau mendapat pendidikan Barat, namun tetap mampu mempertahankan identitasnya sebagai orang Jawa. Beliau juga merupakan raja yang menjadi simbol feodalisme, namun tidak bersikap feodal. Seorang sultan yang menjadi simbol pemimpin umat Islam, namun tidak fanatik. Bahkan Sri Sultan bukan seorang ekonom, namun mampu membangun perekonomian ketika masa Orde Baru,” tutur John Monfries.
Hal yang menarik perhatian bagi John Monfries adalah sikap Sri Sultan HB IX yang pluralistis. Di sisi lain, pada tataran politik, sikap Sri Sultan HB IX dikenal karena memiliki kesopanan politik. Sesuatu yang bagi Monfries sudah sangat langka ditemukan pada pemimpin Indonesia saat ini.
“Sikap Sri Sultan ditandai dengan menghargai etnis dan agama minoritas. Meskipun orang Jawa, beliau mampu menjalin kerjasama dengan berbagai etnis. Di bidang politik, beliau dikenal dengan kesopanan politik,” tambah mantan diplomat yang lama bertugas di Indonesia ini.
Menyoal kesopanan politik, pembahas lain dalam bedah buku ini, Prof. Bambang Purwanto menilai bahwa buku ini ditujukan untuk menjelaskan motivasi dari tindakan-tindakan yang dilakukan Sri Sultan HB IX selama karir politiknya. Menurut, Prof. Bambang, buku ini lebih menjelaskan makna dari tindakan dan peranan Sri Sultan HB IX serta pengaruh yang ditimbulkannya terhadap peristiwa sejarah yang terjadi pada masa itu sebagai seorang royalis dalam konteks Republik Indonesia.
Prof. Bambang menambahkan, berdasarkan uraian di buku “A Prince in a Republic: The Life of Sultan Hamengku Buwono IX of Yogyakarta”, terdapat lima kenyataan sejarah yang terbentuk dari tindakan politik Sri Sultan HB IX dalam konteks Indonesia dan Yogyakarta. Tindakan-tindakan politik yang dimaksud oleh Prof. Bambang berkisar pada 1945 sampai Sri Sultan wafat pada 1988.
“Pertama, Sri Sultan HB IX merupakan ‘seorang pangeran di dalam republik’ dengan segala teka-teki konstitusional yang menyertainya. Beliau terus memainkan peran penting di tingkat lokal maupun regional di dalam sebuah negara yang menabukan regionalisme. Beliau adalah seorang raja pewaris kekuasaan Jawa Mataram lengkap dengan kekuasaannya, namun mampu mempertahankannya dalam konteks Republik Indonesia melalui status keistimewaan.
Kedua, Sri Sultan di satu sisi tidak ingin menonjolkan dirinya sebagai seorang sultan, namun di sisi lain ‘berperilaku sebagai penguasa feodal di dalam keraton’, mampu dengan mudah menyesuaikan diri hidup di antara dunia Jawa yang tradisional dan kemoderenan Barat, eksistensinya menunjukkan kekuatan status yang diwariskan di tengah berbagai kekacauan politik yang terjadi.
Ketiga, figur yang sangat menonjol dalam politik Indonesia, namun pada saat bersamaan jarang membuat pernyataan-pernyataan politik. Keikutsertaannya selama 40 tahun dalam kehidupan politik, tidak memunculkan kesan bahwa ia sangat tergantung pada politik, sehingga Sri Sultan secara pribadi sangat jarang menjadi sasaran politik kelompok radikal.
Keempat, Sri Sultan diposisikan sebagai seorang ‘demokrat’, namun pernah menjadi seorang wakil presiden yang dianggap sangat tidak demokratis.
Dan kelima, Sri Sultan seakan-akan berharap bahwa Dinasti Mataram yang diwarisinya akan tetap hidup dalam konteks Indonesia, namun ia tak jarang mengirim sinyal bahwa tanda warisan lama itu dapat berakhir kapan saja di tengah-tengah Indonesia yang berubah.”
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...