Inflasi Pasca Lebaran Diperkirakan 0,75 Persen
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Ahli ekonomi Standard Chartered Bank, Eric Sugandi, memperkirakan inflasi Juli 2015, yang bertepatan dengan Lebaran Idul Fitri 1436 Hijriah, sebesar 0,75 persen secara bulan-ke-bulan (month-to-month) dan 7,1 persen secara tahun-ke-tahun (year-on-year).
Dihubungi di Jakarta, Selasa (21/7), Sugandi mengatakan, tekanan inflasi yang tidak terlalu tinggi selama Ramadhan dan Lebaran, karena permintaan dan daya beli masyarakat masih rendah.
Di sisi lain, intervensi pemerintah menjaga stabilitas harga-harga kebutuhan pokok turut andil dalam meredam inflasi, yang biasanya selalu naik pada saat Ramadhan dan Lebaran.
"Tekanan inflasi masih ada, musiman. Namun, tidak terlalu tinggi karena pelemahan permintaan masyarakat," ujarnya. Di kalangan pelaku usaha atau pebisnis, kepastian dan fokus kinerja tim ekonomi pemerintah di sektor perekonomian ditunggu-tunggu.
Perkiraaan inflasi Juli 0,75 persen (mtm) ini menunjukkan peningkatan indeks harga konsumen yang tidak terlalu signifikan dibanding inflasi Juni yang tercatat 0,54 persen.
Sedangkan, jika dibandingkan Ramadhan dan Lebaran 2014, yang juga jatuh pada Juli, inflasi saat itu tercatat 0,93 persen (mtm).
Perbedaannya adalah Lebaran 2015 jatuh di pertengahan Juli, sedangkan Lebaran 2014 dirayakan di akhir Juli, dimana akan sangat mempengaruhi periode kenaikan harga-harga kebutuhan pokok dalam perhitungan inflasi.
Lebih lanjut, dia menjelaskan, tendensi masih lemah permintaan masyarakat pada Lebaran 2015 ini harus dicermati pemerintah. Tendensi ini, kata dia, alias pelemahan permintaan masyarakat mencerminkan kelesuan konsumsi masyarakat telah terjadi berkepanjangan.
Oleh karena itu, lanjut Sugandi, pemerintah harus serius untuk "ngebut" merealisasikan program dan proyek APBN Perubahan 2015. Belanja negara dalam APBN Perubahan 2015 ini mencapai Rp1.984 triliun, termasuk belanja pemerintah pusat sebesar Rp1.319 triliun.
Di dalam belanja pemerintah pusat, ada belanja modal untuk infrastruktur yang terbesar dalam lima tahun terakhir, yakni senilai Rp290,3 triliun.
"Jika eksekusi terus lambat, akan susah lagi. Karena proyek dan program harus direalisasikan untuk menciptakan lapangan kerja," ujarnya.
Selain itu, menurut dia, faktor kelesuan harga komoditas telah menggerogoti pendapatan masyarakat di daerah, terutama daerah yang penggerak ekonominya mengandalkan sektor komoditas. Maka dari itu, pemulihan harga komoditas di pasar global akan sangat berimbas positif bagi daya beli masyarakat. (Ant)
Editor : Eben E. Siadari
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...