Inggris Kirim Pesawat Evakuasi Warga Inggris dari Sudan Selatan
LONDON, SATUHARAPAN.COM - Pemerintah Inggris pada Kamis mengirimkan pesawat ke Sudan Selatan untuk mengevakuasi warga Inggris yang ingin melarikan diri dari pertikaian sengit yang menewaskan ratusan orang pekan ini, kata Departemen Luar Negeri.
“Sebuah pesawat Inggris sedang menuju Juba untuk mengevakuasi warga Inggris yang ingin meninggalkan bandara Juba pada Kamis,” kata seorang juru bicara kementerian.
“Hingga saat ini lebih dari 150 warga Inggris sudah menghubungi kami, banyak yang meminta bantuan untuk keluar dari sana.”
Inggris pada Rabu mengatakan bahwa negaranya menarik beberapa staf kedutaannya di ibu kota Juba untuk sementara waktu, namun juru bicara Departemen Luar Negeri mengatakan orang-orang yang berada dalam pesawat juga mencakup nondiplomat.
Inggris memperingatkan penduduknya untuk tidak bepergian ke Juba dan wilayah sekitarnya. Kedutaannya tetap buka pada Kamis namun Departemen Luar Negeri mengatakan mereka “mempertimbangkan statusnya secara konstan.”
Amerika Serikat
Amerika Serikat sudah menerbangkan 120 warganya dari Sudan Selatan pada Rabu menggunakan tiga pesawat di tengah bentrokan sengit yang terjadi di ibu kota, kata para pejabat AS.
Dua pesawat C-130 ditambah pesawat sewaan yang berangkat dari Juba “membawa kepala misi personel nondarurat, warga sipil AS, dan warga negara lainnya,” ujar juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Marie Harf, dalam sebuah pernyataan.
Tiga kelompok tersebut semuanya “berhasil dievakuasi dan selamat,” tambahnya.
“Situasi keamanan memburuk. Terjadi penembakan di bandara,” kata seorang pejabat pertahanan, yang namanya tidak ingin disebutkan, ketika ditanya kenapa evakuasi dilakukan begitu cepat.
Dua pesawat C-130 berangkat dari Djibouti dan mendarat di Nairobi sekitar pukul 1300 GMT, kata juru bicara Pentagon, Kolonel Steve Warren.
Penerbangan berikutnya bisa dilakukan tergantung pada kebutuhan, setelah Washington pada Selasa memerintahkan staf diplomatik nondarurat untuk meninggalkan negara tersebut di tengah situasi yang memanas, dan mendesak semua warga Amerika untuk pergi secepatnya.
Presiden Sudan Selatan Salva Kiir pada Rabu menawarkan untuk melakukan pembicaraan dengan musuh bebuyutannya yang dia tuduh memimpin upaya kudeta sehingga menyebabkan beberapa hari pertempuran sengit di negara termuda di dunia tersebut.
Ratusan orang tewas dan ribuan lebih warga sipil yang ketakutan sudah meninggalkan rumah mereka menuju markas PBB di daerah itu sejak pertempuran dimulai pada Minggu (15/12).
Bentrokan di Sudan Selatan
Dilaporkan sebanyak 400 sampai 500 jasad dibawa ke beberapa rumah sakit di ibu kota Sudan Selatan setelah bentrokan di antara fraksi pesaing angkatan darat, kata seorang pejabat PBB kepada Dewan Keamanan PBB, Selasa (17/12).
Kepala penjaga perdamaian PBB Herve Ladsous menambahkan bahwa 800 orang lainnya terluka dalam pertikaian antara pasukan pendukung Presiden Salva Kiir dan pendukung pemimpin oposisi, menurut para diplomat dalam konsultasi tertutup mengenai krisis baru di Afrika.
Ladsous mengatakan bahwa informasi tersebut berdasarkan pada laporan dari rumah sakit Juba, namun PBB belum mengonfirmasi jumlah korban tewas di tengan bentrokan baru pada Selasa.
Sekitar 15.000 orang mencari perlindungan di kompleks-kompleks PBB di sekitar Juba sejak pertikaian dimulai pada Minggu, katanya.
Juba tetap “terlihat tegang” dan tampaknya bentrokan itu terjadi di antara kelompok-kelompok etnik, kata Ladsous kepada dewan beranggotakan 15 negara tersebut.
Sebelumnya hari Minggu (15/12) pecah pertempuran sengit di ibu kota Sudan Selatan, Juba, kata para pejabat pada Senin (16/12), di tengah meningkatnya ketegangan politik di negara yang baru merdeka itu.
Para diplomat dan sumber-sumber keamanan mengatakan, pertempuran itu tampaknya terjadi di sebuah barak dekat dengan pusat kota jelang tengah malam dan melibatkan penggunaan senapan mesin dan mortir. Pertempuran sporadis berkobar sepanjang malam sebelum mereda Senin pagi.
Sudan Selatan merdeka pada 2011 setelah rakyatnya memberikan suara mayoritas dalam sebuah referendum untuk memisahkan diri dari wilayah utara dan membentuk sebuah negara baru.
Tapi ketegangan politik terus meningkat dalam beberapa pekan terakhir, dan awal bulan ini pemimpin berpengaruh dari partai yang berkuasa - Gerakan Pembebasan Rakyat Sudan (SPLM) - membuat tantangan publik kepada Presiden Salva Kiir dan menuduhnya berperilaku "diktator."
Juru bicara militer SPLA Phil Aguer mengatakan kepada radio lokal bahwa pasukan yang setia kepada presiden menjadi pihak yang memulai penembakan.
"Tentara mengendalikan situasi... tentara mengejar para penyerang," katanya.
Menteri Informasi Sudan Selatan Michael Makuei Lueth mengisyaratkan Presiden masih berkuasa.
"Presiden akan berbicara segera. Saya tidak bisa mengatakan apa-apa sampai dia berbicara," katanya.
Dalam sebuah pernyataan, PBB mengatakan "sangat prihatin" atas pertempuran tersebut dan pihaknya kini tengah menjalin komunikasi dengan kepemimpinan Sudan Selatan. (AFP)
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Kiat Menangani Anak Kejang
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Konsultan emergensi dan rawat intensif anak dari Fakultas Kedokteran Univ...