Ini Alasan Pengungsi Pilih Eropa Ketimbang Negara Teluk
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) meminta negara-negara Uni Eropa harus bisa menampung hingga 200.000 pengungsi untuk mengatasi krisis migran. Sekitar 137.000 orang melakukan perjalanan berbahaya melintasi Laut Mediterania ke Eropa pada paruh pertama tahun 2015.
Dosen Departemen Hubungan Internasional, Universitas Indonesia, Broto Wardoyo menilai negara-negara Eropa menjadi pilihan pengungsi dari Suriah karena kemakmuran yang dimiliki Uni Eropa.
“Eropa menjadi pilihan karena kemakmuran yang dimiliki. Hal yang sebenarnya lumrah,” kata Broto Wardoyo kepada satuharapan.com di Jakarta, hari Senin (7/9).
Sebenarnya, lanjut Broto, mengingat karakter konflik di Suriah itu sendiri, konflik ini akan bisa berlangsung lama. Dengan tingkat kerusakan dan kekerasan yang meningkat karena perang berkepanjangan, sepertinya warga Suriah akan terpaksa mengungsi.
“Jadi pengungsi ya akan terus ada selama konfliknya ada. Selama ini kan pengungsi tersebut ditampung di beberapa negara tetangga Suriah, terutama Turki. Lama tinggal di pengungsian tanpa kejelasan tentu akan mendorong para pengungsi mencari tempat yang lebih baik untuk hidup,” kata pengamat kawasan Timur Tengah itu.
“Itu sebabnya, Eropa membuat area penyangga. Turki itu sebetulnya salah satu area penyangga Eropa untuk pengungsi atau migran. Kalau dalam situasi perang sebenarnya aspek kemanusiaan harus dikedepankan,” kata dia menambahkan.
Diskriminasi
Menurut Broto, satu faktor pengungsi tidak memilih ke Negara Teluk (Arab Saudi, Uni Emirate, Kuwait, Oman, Bahrain) tentunya karena resistensi dan diskriminasi yang juga ada di negara-negara tersebut. “Meski kaya, mereka menganggap orang Arab lain sebagai ancaman,” katanya.
“Pengalaman sejarah misalnya mengajarkan pada mereka bagaimana para pengungsi Palestina menjadi beban ketika Irak menyerang Kuwait. Waktu itu kan Saddam Husein menggunakan dukungan terhadap Palestina sebagai alat kampanye politik,” kata Broto mencontohkan.
Negara-negara Teluk pun kelimpungan, kata Broto, karena di satu sisi takut terhadap serangan Irak ke negara mereka (sudah terjadi dalam kasus Kuwait) dan di sisi lain kalau mereka anti-Irak akan mencederai orang-orang Palestina yang tinggal di negara mereka.
“Apalagi, meski sama-sama Arab tapi kan mereka berbeda keluarga. Pertarungan intra-Arab kan hal yang lumrah kalau di Timur Tengah,” katanya.
Broto mengatakan, selain alasan politik tersebut, ada juga alasan ekonomi. Kehadiran mereka di negara-negara Teluk kan harus diimbangi dengan pemberian kesejahteraan. “Artinya harus ada lapangan kerja dan lain-lain,” kata dosen UI itu.
Sementara itu, untuk Indonesia sendiri, kata Broto, seharusnya tetap mengedepankan prinsip humanitarianisme dalam kasus ini. Menurut dia, pengungsi seyoganya ditampung.
“Jika ada yang bersedia memberikan hak kewarganegaraan dan pengungsinya bersedia ya diberikan. Yang lebih penting sebenarnya adalah menangani dari sumbernya. Konflik di Suriah harus diselesaikan dan dilakukan rekonstruksi pasca perang agar pengungsi tersebut dapat kembali hidup di negara asalnya,” kata Pakar Hubungan Internasional itu.
Editor : Eben E. Siadari
Jerman Berduka, Lima Tewas dan 200 Terluka dalam Serangan di...
MAGDEBURG-JERMAN, SATUHARAPAN.COM-Warga Jerman pada hari Sabtu (21/12) berduka atas para korban sera...