Ini Alasan Vanuatu Mati-matian Dukung Referendum Papua
PORT VILA, SATUHARAPAN.COM - Banyak orang bertanya mengapa Vanuatu, sebuah negara kecil di Pasifik, mati-matian memperjuangkan penentuan nasib sendiri atau referendum di Papua.
Vanuatu merupakan negara pertama yang menyuarakan dukungan bagi referendum di Papua dan menyerukan perlunya penyelidikan terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua. Beberapa tahun kemudian sikap itu baru diikuti oleh tujuh negara Pasifik lainnya.
Vanuatu Daily Post menurunkan laporan yang cukup panjang pada 16 September lalu. Laporan itu berisi hasil wawancara dengan Johnny Koanapo, Sekretaris untuk Parlemen di Kantor Perdana Menteri Vanuatu. Ia secara blak-blakan menjelaskan upaya apa saja yang sudah dilakukan oleh negara itu dan strategi di masa mendatang dalam mengangkat isu Papua di forum internasional.
Menurut Koanapo, isu penentuan nasib sendiri dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua telah berkembang melampaui wilayah kepulauan Pasifik Selatan. Isu yang awalnya diperjuangkan sendirian oleh Vanuatu yang kemudian diikuti oleh Solomon Islands, menurut dia, pada dua tahun terakhir sudah mendapat dukungan dari enam negara lain.
Koanapo mengatakan dirinya perlu menjelaskan hal ini karena tampaknya di dalam negeri Vanuatu sendiri muncul desakan agar pemerintah berbuat lebih banyak lagi. Koanapo bahkan menyiratkan adanya tekanan dari partai oposisi yang seolah-olah menganggap pemerintah Vanuatu kurang serius dalam isu ini.
Menyuarakan Isu Papua ketika yang Lain Masih Takut
Dalam penjelasannya kepada para wartawan, Koanapo memberikan gambaran tentang telah betapa banyaknya yang sudah dikerjakan oleh Vanuatu.
"Saya ingin mengatakan bahwa pemerintah telah melakukan banyak hal untuk masalah Papua sejak pemerintahan Charlot Salwai memerintah pada tahun 2016 dan isu tersebut tetap berada pada prioritas yang tinggi dalam agenda politik internasional pemerintah," kata dia.
"Ada banyak argumen bahwa pemerintah belum berbuat cukup banyak dalam masalah Papua. Namun ketika kita melihat berbagai peristiwa bahwa pemerintah melalui Perdana Menteri dan Dewan Menteri telah memberikan dukungan Vanuatu, jumlahnya banyak," kata dia.
Ia menambahkan bahwa Maret lalu, Dewan Menteri di bawah pimpinan Perdana Menteri Salwai, menunjuk Ronald Warsal (Menteri Kehakiman dan Pengabdian kepada Masyarakat) untuk menghadiri pertemuan Dewan Hak Asasi Manusia di Jenewa. Koanapo juga turut pergi bersama Ronald Warsal yang menyampaikan sebuah pernyataan atas nama Koalisi Kepulauan Pasifik untuk Papua.
"Mungkin, banyak orang yang telah terlibat dengan isu Papua, terutama mantan pemimpin kita seperti Barak Sope, Donald Kalpokas, almarhum Edward Natapei, mantan perdana menteri Joe Natuman dan saat ini Wakil Perdana Menteri, telah berjuang bersama rakyat Papua untuk waktu yang sangat lama.
"Dan ketika kita melihat dukungan politik yang diberikan oleh rakyat Vanuatu kepada orang-orang Papua, hanya ada satu negara di dunia yang berdiri di belakang orang-orang Papua. Negara itu adalah Vanuatu. Vanuatu adalah satu-satunya negara di Pasifik yang berdiri di belakang rakyat Papua," lanjut dia.
Lebih jauh, dia katakan bahwa pada KTT Pemimpin Melanesia Spearhead Group (MSG) yang diadakan pada tahun 2015 di Honiara, pemerintah Kepulauan Solomon melalui Perdana Menteri Manasseh Sogovare bergabung dengan Vanuatu.
"PM Sogovare mengatakan kepada saya ketika saya mewakili pemerintah pada saat itu sebagai Direktur Jenderal Luar Negeri dan juga mewakili negara pada tingkat menteri, bahwa posisi atau pendirian pemerintah Kepulauan Solomon terinspirasi oleh posisi dan pendirian pemerintah Vanuatu yang telah mengambil sikap sejak hari pertama sampai hari ini," kata Koanapo.
Kemudian, lanjut dia, pemerintah Kepulauan Solomon dengan dukungan Vanuatu di sela-sela pertemuan Juni-Juli tahun lalu saat PM Charlot Salwai hadir dalam pembentukan apa yang disebut sebagai Pacific Islands of West Papua (PIWP), mengajak negara-negara lain di Mikronesia dan Polinesia ikut bergabung. Secara keseluruhan ada delapan negara - Vanuatu, Kepulauan Solomon, Nauru, Kepulauan Marshall, Palau, Tuvalu, Kiribati dan Tonga.
"Jadi, Vanuatu, sebagai pejuang tunggal, sekarang memiliki tujuh negara di belakangnya untuk mendukung masalah Papua," kata dia.
Advokasi Melampaui Wilayah Pasifik
Koanapo bercerita bahwa Maret lalu, pemerintah Vanuatu melalui Dewan Menteri menyetujui partisipasi Vanuatu dalam pertemuan Dewan Hak Asasi Manusia PBB di Jenewa.
"Jadi, Warsal dan saya pergi ke pertemuan tersebut dan Warsal menyampaikan sebuah pernyataan yang sangat kuat. Itu adalah pernyataan politik atas nama anggota BIGWIP di Pasifik," kata dia.
Dijelaskan oleh Koanapo, ketika koalisi negara-negara Pasifik sudah terbentuk, strategi Vanuatu adalah mencoba mengadvokasi isu Papua ke luar wilayah Pasifik.
"Saya sebagai mantan direktur jenderal Kementerian Luar Negeri, yang telah berada di belakang sebagian besar pidato dan tulisan tentang isu Papua, belum pernah melihat pemerintah yang telah menangani masalah Papua dengan sangat kuat seperti yang dilakukan pemerintah Charlot Salwai dan Joe Natuman hari ini," ia menambahkan.
"Ada alasan untuk ini. Di masa lalu, pemerintah cenderung mengambil berbagai jenis pendekatan. Beberapa memilih agar kita mengambil pendekatan diplomatik yang lebih kuat di tingkat internasional untuk melobi. Beberapa lainnya lebih memilih kita melakukan dialog dengan Indonesia.
"Jadi, pemerintah Charlot Salwai juga menunjuk utusan khusus. Utusan khusus ini adalah Duta Besar kita di Uni Eropa, Duta Besar Roy Micky Joy, untuk membantu melobi yurisdiksi Uni Eropa dan dia juga membantu melobi di Uni Afrika. Dan dia juga membantu melobi di Karibia. Kita telah membagi tugas ini dan ini adalah pertama kalinya."
Ia menegaskan bahwa isu Papua kini telah berkembang melampaui wilayah Pasifik dari awalnya hanya isu bilateral Vanuatu.
"Masalahnya kini telah bergerak melampaui yurisdiksi MSG," katanya.
"Isu ini telah pindah ke tingkat forum dan telah menjadi isu regional. Dan jika Anda melihat bagaimana masalah ini tercantum dalam pertemuan Pacific Islands Forum minggu lalu, dari 14 isu salah satunya adalah isu Papua."
Dikatakannya pula bahwa ketika berada di PIF, PM Salwai mengadakan pertemuan bilateral dengan banyak negara dan dia membicarakan masalah Papua sebelum retret dengan para Pemimpin PIF. Dan saat retret, lanjut Koanapo, PM Salwai mengangkat isu Papua.
"Karena PM Kepulauan Solomon tidak hadir, maka PM Salwai harus melakukan lobi dan dia terus mengemukakan agar masalah ini tetap dibicarakan dan dia terus menganjurkan agar isu tersebut diajukan ke hadapan Perserikatan Bangsa-Bangsa," kata dia.
Diplomasi ke Afrika dan Eropa
Koanapo mengatakan bahwa PM Salwai juga menunjuk dirinya sebagai utusan khusus untuk melakukan diplomasi di wilayah Pasifik, mulai bulan lalu ketika pertemuan Menteri Luar Negeri Kepulauan Pasifik diadakan di Suva. Koanapo hadir di sana untuk mempresentasikan secara bilateral kepada negara-negara anggota dan menyampaikan bagaimana pentingnya bagi PM Salwai dan PM Sogovare melihat isu Papua.
"Saya juga ingin meminta masyarakat Vanuatu untuk memahami bahwa ketika pemerintah hari ini mengatakan bahwa kita mengalihkan isu Papua melampaui MSG dan di luar wilayah, ini berarti juga level kerja pemerintah di luar wilayah. Pada bulan Juni tahun ini, pada pertemuan Menteri ACP di Brussels, pemerintah menugaskan saya untuk menghadiri pertemuan tingkat menteri dengan Menteri Ralph Regenvanu, dan karena Menteri Regenvanu telah melakukan tugas lain, saya melakukan tugas ini atas nama Vanuatu dimana saya mengajukan isu Papua untuk pertama kalinya dalam sejarah sebagai agenda di ACP Ministerial di Brussels, Belgia."
"Saya juga ingin memberi catatan untuk diketahui masyarakat Vanuatu bahwa pemerintah juga menugaskan Duta Besar Roy Mickey Joy untuk melakukan pekerjaan ini dalam kapasitasnya di Komite Duta Besar saat proses ACP, untuk membahas isu Papua di komite tingkat duta besar yang terdiri dari para duta besar dan pejabat senior negara-negara yang berbasis di Brussels."
Ia mengatakan Mickey Joy diharapkan mendorong terus diskusi tentang Papua dan merumuskan resolusi untuk masuk ke tingkat menteri, sehingga di tingkat menteri mereka dapat menetapkan agenda ini sebelum mencapai level pemimpin negara.
"Ini adalah pertama kalinya saya melobi Sekretaris Jenderal ACP untuk terus mempertahankan agenda ini di ACP," kata dia.
"Saya sangat yakin bahwa pemerintah akan terus berpartisipasi dalam pertemuan tingkat menteri yang akan datang dan isu ini terus tampil menonjol dalam agenda ACP."
Bertahan dari Kepunahan
Dalam hemat Koanapo, Papua kini adalah sebuah titik nyala dan daerah konflik antara Melanesia dan Asia. Sayangnya, ia katakan, tidak ada negara yang mau mengangkat isu ini.
Ia mengatakan rakyat Papua terancam menjadi minoritas bahkan lenyap dari tanahnya sendiri. Dan alasan menghindari kepunahan lah yang menjadi pemicu rakyat Vanuatu di zaman New Hebrides (nama lama Vanuatu) memperjuangkan kemerdekaannya. Menurut Koanapo, kala itu rakyat Vanuatu takut akan kehilangan tanah dan identitas mereka.
"Ini adalah kesempatan yang dimiliki orang Papua saat ini," tutur dia. "Sangat menyedihkan tidak semua negara ingin mengangkat masalah ini."
Editor : Eben E. Siadari
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...