Inilah Detik-detik Resolusi Jihad Nahdlatul Ulama
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) H Slamet Effendy Yusuf mengatakan bahwa resolusi jihad Nahdlatul Ulama merupakan rangkaian panjang dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia.
“Sebelum resolusi jihad, telah muncul fatwa jihad. Setelahnya, muncul pertempuran 10 November yang kemudian ditetapkan menjadi hari Pahlawan,” kata H Slamet Effendy Yusuf dalam konferensi pers di Gedung PBNU, hari Senin (19/10).
Dengan demikian, kata Slamet, rangkaian sejarah perjuangan kaum santri dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan itu, yang kemudian menjadi dasar lahirnya Hari Santri Nasional 22 Oktober.
17 Agustus 1945:
Siaran berita Proklamasi Kemerdekaan sampai ke Surabaya dan kota-kota lain di Jawa, membawa situasi revolusioner. Tanpa komando, rakyat berinisiatif mengambil-alih berbagai kantor dan instalasi dari penguasaan Jepang.
31 Agustus 1945:
Belanda mengajukan permintaan kepada pemimpin Surabaya untuk mengibarkan bendera Tri-Warna untuk merayakan hari kelahiran Ratu Belanda, Wilhelmina Armgard.
17 September 1945:
Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari mengeluarkan sebuah fatwa jihad berisikan ijtihad bahwa perjuangan membela Tanah Air sebagai suatu jihad fi sabilillah. Fatwa ini merupakan bentuk penjelasan atas pertanyaan Presiden Soekarno yang memohon fatwa hukum mempertahankan kemerdekaan bagi umat Islam.
19 September 1945:
Terjadi insiden tembak-menembak di Hotel Oranje antara pasukan Belanda dan para pejuang Hizbullah Surabaya. Seorang kader Pemuda Ansor bernama Cak Asy’ari menaiki tiang bendera dan merobek warna biru, sehingga hanya tertinggal Merah Putih.
23-24 September 1945:
Terjadi perebutan dan pengambilalihan senjata dari markas dan gudang-gudang senjata Jepang oleh laskar-laskar rakyat, termasuk Hizbullah.
25 September 1945:
Bersamaan dengan situasi Surabaya yang makin mencekam, Laskar Hizbullah Surabaya dipimpin KH Abdunnafik melakukan konsolidasi dan menyusun struktur organisasi. Dibentuk cabang-cabang Hizbullah Surabaya dengan anggota antara lain dari unsur Pemuda Ansor dan Hizbul Wathan. Diputuskan pimpinan Hizbullah Surabaya Tengah (Hussaini Tiway dan Moh Muhajir), Surabaya Barat (Damiri Ichsan dan A. Hamid Has), Surabaya Selatan (Mas Ahmad, Syafi’i, dan Abid Shaleh), Surabaya Timur (Mustakim Zain, Abdul Manan, dan Achyat).
5 Oktober 1945:
Pemerintah pusat membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Para pejuang eks PETA, eks KNIL, Heiho, Kaigun, Hizbullah, Barisan Pelopor, dan para pemuda lainnya diminta mendaftar sebagai anggota TKR melalui kantor-kantor BKR setempat.
15-20 Oktober 1945:
Meletus pertempuran lima hari di Semarang antara sisa pasukan Jepang yang belum menyerah dengan para pejuang.
21-22 Oktober 1945:
PBNU menggelar rapat konsul NU se-Jawa dan Madura. Rapat digelar di Kantor Hofdsbestuur Nahdlatul Ulama di Jalan Bubutan VI No 2 Surabaya. Di tempat inilah setelah membahas situasi perjuangan dan membicarakan upaya mempertahankan kemerdekaan Indonesia, di akhir pertemuan pada tanggal 22 Oktober 1945 PBNU akhirnya mengeluarkan sebuah resolusi jihad sekaligus menguatkan fatwa jihad Rais Akbar NU Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari.
25 Oktober 1945:
Sekitar 6.000 pasukan Inggris yang tergabung dalam Brigade ke-49 Divisi ke-26 India mendarat di Surabaya. Pasukan ini dipimpin Brigjend AWS Mallaby. Pasukan ini diboncengi NICA (Netherlands-Indies Civil Administration).
26 Oktober 1945:
Terjadi perundingan lanjutan mengenai genjatan senjata antara pihak Surabaya dan pasukan Sekutu. Hadir dalam perundingan itu dari pihak Sekutu Brigjend Mallaby dan jajarannya, dari pihak Surabaya diwakili Sudirman, Dul Arnowo, Radjamin Nasution (Wali Kota Surabaya), dan Muhammad.
27 Oktober 1945:
Mayjen DC Hawtorn bertindak sebagai Panglima AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies) untuk Jawa, Madura, Bali dan Lombok menyebarkan pamflet melalui udara menegaskan kekuasaan Inggris di Surabaya, dan pelarangan memegang senjata selain bagi mereka yang menjadi pasukan Inggris. Jika ada yang memegangnya, dalam pamflet tersebut disebutkan bahwa Inggris memiliki alasan untuk menembaknya. Laskar Hizbullah dan para pejuang Surabaya marah dan langsung bersatu menyerang Inggris. Pasukan Inggris pun balik menyerang, dan terjadi pertempuran di Penjara Kalisosok yang ketika itu berada dalam penjagaaan pejuang Surabaya.
28 Oktober 1945:
Laskar Hizbullah dan Pejuang Surabaya lainnya berbekal senjata rampasan dari Jepang, bambu runcing, dan celurit, melakukan serangan frontal terhadap pos-pos dan markas Pasukan Inggris. Inggris kewalahan menghadapi gelombang kemarahan pasukan rakyat dan massa yang semakin menjadi-jadi.
29 Oktober 1945
Terjadi baku tembak terbuka dan peperangan massal di sudut-sudut Kota Surabaya. Pasukan Laskar Hizbullah Surabaya Selatan mengepung pasukan Inggris yang ada di gedung HBS, BPM, Stasiun Kereta Api SS, dan Kantor Kawedanan. Kesatuan Hizbullah dari Sepanjang bersama TKR dan Pemuda Rakyat Indonesia (PRI) menggempur pasukan Inggris yang ada di Stasiun Kereta Api Trem OJS Joyoboyo.
29 Oktober 1945:
Perwira Inggris Kolonel Cruickshank menyatakan pihaknya telah terkepung. Mayjen Hawtorn dari Brigade ke-49 menelepon dan meminta Presiden Soekarno agar menggunakan pengaruhnya untuk menghentikan pertempuran. Hari itu juga, dengan sebuah perjanjian, Presiden Soekarno didampingi Wapres Mohammad Hatta terbang ke Surabaya dan langsung turun ke jalan-jalan meredakan situasi perang.
30 Oktober 1945:
Genjatan senjata dicapai kedua pihak, Laskar arek-arek Surabaya dan pasukan Sekutu-Inggris. Disepakati diadakan pertukaran tawanan, pasukan Inggris mundur ke Pelabuhan Tanjung Perak dan Darmo (kamp Interniran), dan mengakui eksistensi Republik Indonesia.
30 Oktober 1945:
Sore hari usai kesepakatan genjatan senjata, rombongan Biro Kontak Inggris menuju ke Gedung Internatio yang terletak di samping Jembatan Merah. Namun sekelompok pemuda Surabaya menolak penempatan pasukan Inggris di gedung tersebut. Mereka meminta pasukan Inggris kembali ke Tanjung Perak sesuai kesepakatan genjatan senjata. Hingga akhirnya terjadi ketegangan yang menyulut baku tembak. Di tempat ini secara mengejutkan Brigjen Mallaby tertembak dan mobilnya terbakar.
31 Oktober 1945:
Panglima AFNEI Letjen Philip Christison mengeluarkan ancaman dan ultimatum jika para pelaku serangan yang menewaskan Brigjen Mallaby tidak menyerahkan diri maka pihaknya akan mengerahkan seluruh kekuatan militer darat, udara, dan laut untuk membumihanguskan Surabaya.
7-8 November 1945:
Kongres Umat Islam di Yogyakarta mengukuhkan Resolusi Jihad Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari sebagai kebulatan sikap merespons makin gentingnya keadaan pasca ultimatum AFNEI.
9 November 1945:
Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari sebagai komando tertinggi Laskar Hizbullah menginstruksikan Laskar Hizbullah dari berbagai penjuru memasuki Surabaya untuk bersiap menghadapi segala kemungkinan dengan satu sikap akhir, menolak menyerah. KH Abbas Buntet Cirebon diperintahkan memimpin langsung komando pertempuran. Para komandan resimen yang turut membantu Kiai Abbas antara lain Kiai Wahab (KH Abd Wahab Hasbullah), Bung Tomo (Sutomo), Cak Roeslan (Roeslan Abdulgani), Cak Mansur (KH Mas Mansur), dan Cak Arnowo (Doel Arnowo). Bung Tomo melalui pidatonya yang disiarkan radio membakar semangat para pejuang dengan pekik takbirnya untuk bersiap syahid di jalan Allah SWT.
10 November 1945:
Pertempuran kembali meluas menyambut berakhirnya ultimatum AFNEI. Inggris mengerahkan 24.000 pasukan dari Divisi ke-5 dengan persenjataan meliputi 21 tank Sherman dan 24 pesawat tempur dari Jakarta untuk mendukung pasukan mereka di Surabaya. Perang besar pun pecah. Ribuan pejuang syahid. Pasukan Kiai Abbas berhasil memaksa pasukan Inggris kocar-kacir dan berhasil menembak jatuh tiga pesawat tempur RAF Inggris. (nu.or.id)
Editor : Sotyati
Kepala Militer HTS Suriah Akan Membubarkan Sayap Bersenjata
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Kepala militer "Hayat Tahrir al-Sham" (HTS) Suriah yang menang m...