Institusi Keagamaan di Australia Bisa Sponsori Pekerja Asing Termasuk dari Indonesia
AUSTRALIA, SATUHARAPAN.COM – Australia memberikan kesempatan bagi warga asing untuk bekerja dan tinggal di Australia, asalkan memenuhi persyaratan untuk bekerja di institusi keagamaan dalam periode waktu tertentu.
Visa Religious Work berlaku selama dua tahun, yang bisa digunakan institusi keagamaan, seperti masjid atau gereja, untuk mensponsori mereka yang memiliki kemampuan menjadi pemimpin umat datang ke Australia, juga bersama keluarganya jika ada.
Indonesian Muslim Community of Victoria (IMCV), organisasi Islam nirlaba di kota Melbourne, dalam laporan Natasya Salim dan Erwin Renaldi untuk ABC News Indonesia, secara rutin memberikan sponsor kepada imam-imam dari Indonesia setiap tahunnya.
Menurut Teguh Iskanto, Presiden IMCV, kebutuhan untuk mendatangkan ustaz dari Indonesia sangat tinggi. Salah satu penyebabnya, komunitas Muslim Indonesia “belum matang” seperti komunitas Turki, Albania, atau Lebanon yang sudah lama tinggal di Australia.
“Pada saat ini komunitas kita masih masuk dalam kategori ‘emerging community’, yang lebih didominasi oleh generasi pertama yang datang ke Australia dan masih terikat kuat dengan Indonesia,” ia menjelaskan.
Teguh mengatakan sejumlah organisasi kepemudaan Muslim Indonesia di bawah naungan IMCV, seperti Young Indonesian Muslim Students’ Association (YIMSA) dan Monash Indonesian Islamic Society (MIIS), sebenarnya menjadi bagian dari upaya mencetak ustaz-ustaza bagi komunitas Muslim Indonesia di Australia.
“Saat ini beberapa anak muda sudah menjadi imam pada salat tarawih karena beberapa dari mereka sudah memiliki hapalan Quran hingga 30 juz,” ia menambahkan.
Tetapi, Teguh mengatakan, karena kebanyakan dari mereka masih kuliah, pihak masjid tidak mau membebani mereka dengan menjadi imam penuh.
“Karena itu memanggil imam-imam dari Indonesia adalah salah satu solusinya,” katanya.
Tapi, untuk mendatangkan ustaz ke Australia, Teguh menegaskan jika IMCV benar-benar selektif sebelum memberikan sponsor.
Tantangan Budaya Tak Jadi Masalah
Pastor Redempt Jawa adalah salah satu pemuka agama yang masuk ke Australia lewat visa kerja sejenis, dengan kategori visa 482.
Ia baru saja tiba di Melbourne beberapa bulan lalu, setelah mendapatkan penempatan untuk menjadi pelayan umat Katolik di Melbourne.
Kepada ABC Indonesia, Pastor Redempt yang tergabung dalam Kongregasi Redemptoris Propinsi Indonesia yang berpusat di Sumba, mengatakan ia mendapatkan kesempatan menjadi misionaris di luar negeri karena kebutuhan misi yang diemban kongregasinya.
“Biara kami itu internasional, sehingga kami diutus bergantung di mana ada kebutuhan,” ujarnya.
Berasal dari Solor, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, Pastor Redempt mendapatkan penempatan pertama di Auckland, Selandia Baru, selama kurang lebih 7 tahun sejak tahun 2011, sebelum ke Melbourne.
Menurutnya gereja di Australia dan Selandia Baru sangat peduli dengan keberagaman umat, yang memiliki latar belakang budaya dan bahasa yang berbeda.
“Karenanya, gereja di Australia sangat memberikan kesempatan kepada orang-orang dari bangsa lain, sehingga umatnya bisa lebih bebas dan mudah untuk mengungkapkan keimanan mereka.”
Tetapi, baginya bertugas di mana pun pasti akan punya tantangan tersendiri.
Pastor Redempt mengalaminya selama bertugas di Selandia Baru di paroki dan komunitas warga Katolik Indonesia, dan sekarang dialami juga dalam tugasnya sebagai “formator” bagi calon imam Redemptorist di Australia.
“Yang penting saya punya hubungan yang erat dengan Dia yang saya wartakan, yakni Tuhan Yesus Kristus,” kata Pastor Redempt.
“Kalau relasi saya dengan Tuhan terjaga dengan baik, saya bahagia di mana pun diutus, tantangan dan budaya tidak jadi masalah.”
Demi meneruskan misi yang dipercayakan kepada Kongregasi Redemptoris Propinsi Oceania, yang mencakup Australia, Selandia Baru, dan Samoa, mereka kini membuka diri untuk misi bersama dengan para Redemptoris dari Indonesia, Vietnam dan India.
Tak Semua Mau Memberikan Sponsor
Sementara itu Pastor Harry Sibuea dari Gereja Shekinah di Melbourne lebih memilih menggunakan sumber daya manusia yang ada di Melbourne untuk membangun gerejanya yang beranggotakan 120 jemaat, yang termasuk gereja berskala menengah.
“Mungkin tergantung kebutuhan gereja kalau memang mereka butuh orang-orang yang memenuhi syarat,” katanya kepada ABC.
Pastor Harry merasa gerejanya tidak perlu mendatangkan pekerja kegamaan dari Indonesia karena mereka memiliki “sistem memuridkan”.
Tak hanya itu, hal lain yang menjadi pertimbangannya adalah biaya aplikasi visa dan biaya sponsor, “Kalau gereja medium mensponsori keluarga tidak mudah, karena takutnya bisa kena masalah keuangan.”
“Kecuali kalau misalnya orang tersebut apply sendiri, lalu kita kasih bantuan waktu dia sudah di sini.”
Saat ini Harry sedang memberikan sponsor kepada seseorang di gerejanya, yang berlokasi di Chadstone.
“Kebetulan yang kami sponsori ini memenuhi syarat, karena kami sedang mencari managing music director. Selain itu kami juga melihat hatinya buat Tuhan.”
Prasasti Batu Tertua Bertuliskan Sepuluh Perintah Tuhan Terj...
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Prasasti batu tertua yang diketahui yang bertuliskan Sepuluh Perintah Tuha...