Intoleransi Jadi Beban Diplomasi
SATUHARAPAN.COM – Di antara isu tentang rencana Indonesia bergabung dengan Trans-Pacific Partnership (TPP) yang muncul dalam kunjungan Presiden Joko Widodo ke Amerika Serikat dan bertemu dengan Presiden Barack Obama, isu-isu berkaitan dengan hak asasi manusia menjadi sorotan media-media di AS.
Pentingnya Indonesia bagi AS, selama ini disebut karena penduduknya yang merupakan keempat terbesar di dunia dan dengan populasi Muslim terbanyak ketimbang semua negara mayoritas Muslim di Timur Tengah dan Afrika Utara. Namun pengakuan itu dianggap sebagai hal yang klise.
Demikian juga dengan pernyataan sebagai pemerintahan yang demokratis yang sering disebut sebagai ‘’model’’ bagi negara-negara mayoritas Muslim, dianilai sebagai pernyataan klise, seperti diungkapkan John Sifton dari Human Right Watch, dalam kolom di Huffington Post.
Sebaliknya, Indonesia menjadi pantas mendapatkan perhatian AS, justru terkait dengan masih banyak masalah tentang hak asasi manusia. Situs berita Time juga menyoroti masalah intoleransi dan hak asasi manusia, selain masalah lingkungan terkait kabut asap dari pembakaran lahan dan hutan di Sumatera dan Kalimantan.
Beban Diplomasi
Sorotan itu tak pelak mengangkat kasus pembakaran dan pembongkaran gereja di Aceh Singkil, diskriminasi terhadap warga penganut agama selain yang dianut kelompok mayoritas, diskriminasi pada perempuan. Dan yang paling disorot adalah tentang tidak adanya tindakan hukum terhadap para pelaku. Sebaliknya, para korban sering dikriminalisasi.
Sangat disayangkan bahwa kunjungan Joko Widodo ke AS tidak bisa mengangkat perhatian yang sepadan bagi kerja sama yang menguntungkan bagi kedua pihak. Apalagi, Joko Widodo juga harus pulang lebih cepat, yang kemudian menimbulkan spekulasi di dalam negeri.
Pandangan-pandangan publik yang seperti ini kurang produktif bagi diplomasi Indonesia, karena sorotan negatif yang terus-menerus membebani Indonesia dalam menegaskan relasi partnership dengan negara lain.
Sorotan Tajam pada Intoleransi
Masalah intoleransi, yang dikomentari secara sinis di banyak negara, memang menjadi beban diplomasi dan kerja sama internasional bagi Indonesia. Pengakuan yang disebutkan makin terasa klise itu disebabkan oleh tamparan terus-menerus oleh fakta-fakta di masyarakat, dan pemerintah terlihat makin kepayahan memperbaiki keadaan.
Tentang izin mendirikan rumah ibadah dan larangan beribadah di rumah juga menjadi cibiran karena mengerdilkan nilai ibadah hanya sebagai ritual keagamaan. Sementara praktik moral dan etika dalam kehidupan sosial di tengah bermasyarakat seperti dikeluarkan dari makna ibadah, hanya karena kepentingan yang sempit.
Keharusan mendapatkan izin dengan syarat yang melampaui aturan tentang tata ruang, lingkungan, dan keamanan bangunan, menjadikan banyak kasus ibadah sebagai tindakan yang harus berizin. Hal ini yang menjadi cibiran secara internasional. Sebab, apa yang secara universal diakui sebagai hak asasi, di Indonesia banyak warga harus mengalami situasi di mana hak mereka didapat hanya jika ada izin. Ketentuan seperti ini memang terasa naif.
Hal ini yang menjadi sorotan terus-menerus dalam pergaulan internasional, menjadikan Indonesia tidak mampu secara maksimal memanfaatkan kerja sama antar negara. Padahal dalam dunia moderen yang makin terkoneksi, pembangunan sulit diwujudkan tanpa kerja sama internasional.
Kesamaan Obama dan Jokowi
Pertemuan kedua kepala negara, Barack Obama dan Joko Widodo di Gedung Putih pada hari Senin (26/10) sebenarnya momentum penting bagi Indonesia, terutama jika kita bisa menanggalkan beban masalah asap yang memalukan dan intoleransi yang makin merebak.
Keduanya memiliki kesamaan sebagai pemimpin negara yang penting bagi pembangunan dan stabilitas regional. Keduanya sekarang dalam usia yang sama, 54 tahun. Keduanya melesat dalam panggung politik karena harapan rakyat yang besar untuk perubahan. Namun tampaknya keduanya terus dalam tekanan dan bisa memudar.
Presiden Joko Widodo mengungkapkan bahwa fokus utama kunjungan ke AS adalah kerja sama bilateral, terutama investasi dan perdagangan, tetapi masalah dalam negeri Indonesia menjadi tantangan yang membuat langkahnya makin berat.
Kunjungan ke AS yang dipersingkat itu harus menjadi pelajaran, karena Indonesia harus mengubah ‘’pujian klise’’ tentang ‘’model demokrasi’’ dan masyarakat toleransi multi agama ke dalam kenyataan yang bisa dirasakan. Hal ini membutuhkan kerja keras, cerdas dan tegas oleh pemerintah dalam memelihara kebhinekaan yang sejati.
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...