IOM: Penegak Hukum Belum Maksimal Tangani TPPO
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – International Organization for Migration (IOM) menyatakan bahwa penegak hukum di Indonesia masih belum maksimal menangani tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Menurut IOM, ada tiga faktor yang membuat penanganan tersebut belum maksimal.
“Undang-undang di Indonesia tentang human trafficking sudah bagus. Tapi dalam implementasinya kita belum kuat. Saya tidak ingin menyalahkan penegak hukum bahwa mereka tidak serius. Saya paham betul di lapangan seringkali penyidik tidak mengerti secara betul apa itu trafficking. Mungkin (penyidik) belum pernah mendapatkan pelatihan apa itu trafficking,” kata National Project Coordinator for Counter Trafficking and Labor Unit IOM Nurul Khoiriyah di Menara Kadin Jalan H.R Rasuna Said Jakarta Selatan, Kamis (11/6).
Persoalan yang kedua adalah kemauan pemerintah menyediakan anggaran khusus untuk TPPO belum ada.
“Bagaimana seorang penyidik melakukan penyidikan human trafficking padahal pelakunya ada di Batam sedangkan korbannya ada di Jawa Barat ketika tidak didukung dengan anggaran yang cukup,” kata dia.
Kemudian persoalan yang ketiga adalah terkait dengan sumber daya manusia (SDM) penyidik di kepolisian yang sangat minim. Nurul menilai bahwa penyidik memiliki pekerjaan yang campur aduk selain harus mengurus persoalan TPPO, dia juga harus mengurusi masalah pencurian motor atau kejahatan kriminal lainnya. Akibatnya, persoalan TPPO menjadi terbengkalai.
Persoalan jaksa dan hakim juga menjadi hal yang serius dalam penindakan TPPO ini karena merekalah penentu nasib korban TPPO. Keselarasan pemahaman tentang pengertian traficking ini menjadi sangat penting. Karena, kata dia, fakta di lapangan pemahaman trafficking di kalangan penegak hukum sering kali berbeda.
“Kalau kita bicara penegak hukum tentu tidak hanya polisi saja tapi juga jaksa dan hakim. Karena seringkali kita melihat di tingkat lapangan polisi sering kali menyatakan ini trafficking tapi jaksa menolak itu trafficking. Atau kemudian teman-teman LSM mengatakan ini trafficking dan harus dituntut dengan undang-undang 21 polisi menggunakan dasar tuntutannya undang-undang TKI no 39 menurut saya undang-undang ini content nothing. Hukumannya cenderung ringan, administratif, orang hanya dipenjara setahun. Sehingga banyak sekali pelaku yang dalam hal ini adalah pengusaha tidak diapa-apakan,” kata Nurul menegaskan.
TPPO Menurut UU 21 Tahun 2007
Kepada satuharapan.com, Nurul menjelaskan bahwa landasan hukum TPPO adalah menurut undang-undang 21 Tahun 2007. UU inilah di mana penegak hukum harus bisa menyamakan persepsi untuk mengkategorikan kasus TPPO. Nurul mengatakan bahwa UU ini diadopsi dari Protokol Palermo.
Ada tiga komponen yang harus diperhatikan oleh penegak hukum dalam kasus TPPO. Yang pertama adalah mobilisasinya dengan cara direkrut, ditampung, dipindahkan, ditransportasikan atau diterima. “Salah satu saja tidak harus semuanya,” kata dia.
Yang kedua unsurnya adalah cara merekrut dengan ditipu daya, dibujuk rayu, penyalahgunaan kekuasaan, diculik, kekerasan, diancam, penjeratan hutang atau denda dari tempat penampungan.
Kemudian komponen yang ketiga adalah ekspolitasi.
“ Apakah korban direkrut kemudian dibujuk rayu dan mengalami eksploitasi. Misalnya Saya jadi TKI atau Pekerja Rumah Tangga. Saya diberangkatkan ternyata paspor saya tidak memakai nama saya, umur saya bukan umur saya yang sebenarnya. Kemudian sesampainya di Hong Kong atau Malaysia saya tidak digaji. Ini sudah eksploitasi. Eksploitasi tenaga, seksual atau transplantasi organ tubuh. Kalau ini (tiga komponen) dipenuhi itu sudah termasuk trafficking.
Editor : Eben Ezer Siadari
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...