Irak: 36 Tewas Akibat Serangan Bom Bunuh Diri ISIS
BAGHDAD, SATUHARAPAN.COM-Irak berkabung pada hari Selasa untuk sedikitnya 36 orang tewas ketika sebuah bom meledak di pasar Baghdad yang ramai yang diklaim dilakukan oleh kelompok jihadis Negara Islam (IS atau ISIS) sebagai serangan bunuh diri.
Pembantaian berdarah pada hari Senin (19/7) malam, salah satu serangan paling mematikan dalam beberapa tahun di negara yang dilanda perang, menewaskan sebagian besar perempuan dan anak-anak pada malam Idul Adha, salah satu hari raya Muslim.
Ini memicu rasa jijik dan ketakutan baru tentang jangkauan kelompok ISIS, yang kehilangan wilayah terakhirnya di Irak setelah kampanye melelahkan yang berakhir pada akhir 2017, tetapi mempertahankan sel-sel tidur di daerah gurun dan pegunungan yang terpencil.
Kelompok militan Negara Islam mengklaim melalui layanan pesan Telegram bahwa seorang pembom bunuh diri ISIS telah meledakkan sabuk bahan peledak di pasar Woheilat yang ramai di distrik mayoritas p-enduduk Syiah di Kota Sadr, Baghdad.
Misi PBB di Irak mengatakan serangan itu menunjukkan bahwa "momok terorisme tidak mengenal batas", sementara kedutaan Jerman menyatakan "kesedihannya setelah serangan yang tidak masuk akal dan brutal ini".
Belum ada korban tewas resmi yang dirilis oleh pihak berwenang Irak, tetapi sumber medis mengatakan kepada AFP bahwa sedikitnya 36 orang tewas dan sekitar 60 lainnya terluka.
Serangan Pengecut
Perdana Menteri Irak, Mustafa Al-Kadhemi, mengatakan "serangan pengecut menggambarkan kegagalan teroris untuk mendapatkan kembali pijakan setelah dikalahkan oleh pasukan keamanan heroik kita" dan bersumpah bahwa "terorisme tidak akan dibiarkan begitu saja".
Serangan itu terjadi beberapa hari sebelum Kadhemi bertemu dengan Presiden Amerika Serikat, Joe Biden, di Washington, dan menjelang pemilihan parlemen yang dijadwalkan pada bulan Oktober. "Ini adalah pesan yang jelas bahwa kelompok IS masih ada dan mampu menyerang sasaran di Baghdad," kata Osama Al-Saidi, kepala Asosiasi Ilmu Politik Irak.
"Setiap kali pemilu mendekat, serangan teror terjadi dengan tujuan mengirim pesan politik bahwa mereka yang memerintah lemah."
Serangan mematikan biasa terjadi di Baghdad selama pertumpahan darah sektarian yang mengikuti invasi pimpinan AS tahun 2003, dan kemudian ketika kelompok ISIS menguasai sebagian besar wilayah Irak.
Irak menyatakan kelompok ISIS dikalahkan pada akhir 2017 setelah kampanye sengit selama tiga tahun dan serangan menjadi relatif jarang terjadi di ibu kota, hingga Januari tahun ini ketika dua serangan bom bunuh diri yang diklaim oleh ISIS menewaskan 32 orang di pasar Baghdad.
Koalisi pimpinan AS yang mendukung kampanye Irak melawan kelompok ISIS telah secara signifikan menurunkan jumlah pasukannya selama setahun terakhir, dengan alasan peningkatan kemampuan pasukan Irak.
Amerika Serikat, yang menyediakan sebagian besar kekuatan, memiliki 2.500 tentara yang tersisa di Irak, turun dari 5.200 tahun lalu. Mereka melakukan serangan udara, pengawasan pesawat tak berawak dan pelatihan pasukan Irak.
Pasukan AS mendapat serangan berulang dari kelompok paramiliter Syiah, yang terintegrasi ke dalam aparat keamanan Irak, yang mendukung negara tetangga Iran, musuh bebuyutan Amerika Serikat.
Pernyataan Mufti Mesir
Sementara itu, Mufti Shawqi Allam dari Mesir mengecam pemboman teroris yang menargetkan pasar di Kota Sadr di Irak, menewaskan 36 orang dan melukai 60 lainnya.
Dalam siaran pers pada hari Selasa (20/7), Allam mengatakan serangan teroris semacam itu mencerminkan pemikiran gelap yang diadopsi oleh kelompok-kelompok ekstremis, yang berusaha menyebarkan pertumpahan darah.
Dia menyampaikan belasungkawa kepada rakyat Irak atas para korban serangan teroris ini dan berharap yang terluka cepat sembuh.
‘Muak dengan Semuanya'
Serangan terbaru memicu bela sungkawa dari luar negeri, dan saling tuduh di antara para pemimpin politik Irak.
Presiden Rusia, Vladimir Putin, mengatakan "pembunuhan puluhan warga sipil... mengejutkan dalam kekejaman dan sinismenya" dan mendesak agar para pelaku "menerima hukuman yang pantas mereka terima".
Kementerian luar negeri Iran juga mengutuk "tindakan barbar".
Di dalam negeri, ketua parlemen, Mohamed Halbousi, menyerukan "perubahan kepemimpinan di antara pejabat keamanan senior yang telah membuktikan kelalaian tugas mereka".
Anggota parlemen, Adnan Al-Zurfi, menuduh komandan unit kontra terorisme, Falcon Cell, telah beralih dari "pengumpulan intelijen ke politik".
Analis Irak, Jassem Al-Moussaoui, mengatakan serangan itu menyoroti "kelemahan pasukan keamanan yang belum dibentuk secara profesional bertindak tetapi menurut kesetiaan politik mereka".
Sementara itu, banyak warga Irak biasa berbagi kesedihan, kelelahan, dan rasa ketidakberdayaan mereka di negara yang telah mengalami puluhan tahun perang dan pemberontakan, serta krisis ekonomi dan politik yang mendalam yang sedang berlangsung.
Dalam posting media sosial yang dibagikan secara luas, komedian Ahmed Al-Basheer mengingat bahwa hanya beberapa hari yang lalu setidaknya 60 orang meninggal ketika api melahap unit rumah sakit COVID di selatan kota Nasiriyah. "Setiap hari ada bencana baru," tulisnya. "Kami lelah dengan semuanya." (AFP)
Editor : Sabar Subekti
AS Laporkan Kasus Flu Burung Parah Pertama pada Manusia
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Seorang pria di Louisiana, Amerika Serikat, menderita penyakit parah perta...