Irak Selenggarakan Pemilu, Partisipasi Pemilih Rendah
BAGHDAD, SATUHARAPAN.COM-Pemilihan parlemen Irak pada hari Minggu (10/10) diikuti jumlah pemilih terkecil selama bertahun-tahun, kata pejabat pemilihan. Partisipasi yang rendah menunjukkan berkurangnya kepercayaan pada para pemimpin politik dan sistem pemerintahan pasca invasi pimpinan Amerika Serikat tahun 2003.
Elite penguasa mapan yang didominasi Islam Syiah yang partai-partainya yang paling kuat memiliki sayap bersenjata diperkirakan akan menyapu sebagian besar suara, dengan gerakan yang dipimpin oleh ulama Syiah populis Moqtada al-Sadr. Dia menentang semua campur tangan asing dan yang saingan utamanya adalah Kelompok Syiah yang bersekutu dengan Iran, terlihat muncul sebagai faksi terbesar di parlemen.
Hasil seperti itu tidak akan secara dramatis mengubah keseimbangan kekuatan di Irak atau Timur Tengah yang lebih luas, kata para pejabat Irak, diplomat asing dan analis. Namun bagi orang Irak itu bisa berarti bahwa seorang mantan pemimpin pemberontakan dan Islam konservatif dapat meningkatkan kekuasaannya atas pemerintah.
Dua pejabat komisi pemilihan mengatakan kepada Reuters bahwa jumlah pemilih yang memenuhi syarat secara nasional adalah 19 persen pada tengah hari. Jumlah pemilih adalah 44,5 persen dalam pemilihan terakhir pada tahun 2018. Tempat pemungutan suara ditutup pada pukul 18:00 sore. (15:00 GMT)
Hasil awal diharapkan keluar pada hari Senin tetapi angka partisipasi akhir dapat diumumkan pada Minggu malam.
Hasil pemilihan umum Irak sering diikuti dengan pembicaraan berlarut-larut mengenai presiden, perdana menteri, dan kabinet.
Tampaknya ini adalah jumlah pemilih terendah dalam pemilihan mana pun sejak 2003, menurut penghitungan komisi pemilihan di tempat pemungutan suara yang dikunjungi Reuters di seluruh negeri.
Di Kota Sadr Bagdad, sebuah tempat pemungutan suara yang didirikan di sekolah khusus perempuan melihat sedikitnya jumlah pemilih.
Relawan pemilu, Hamid Majid, 24 tahun, mengatakan dia telah memilih guru sekolah lamanya, seorang kandidat Sadrist. “Dia mendidik banyak dari kita di daerah itu sehingga semua anak muda memilihnya. Saatnya Gerakan Sadrist. Orang-orang bersama mereka,” kata Majid.
Pemilihan diadakan beberapa bulan lebih awal di bawah undang-undang baru yang dirancang untuk membantu kandidat independen. Ini tanggapan terhadap protes anti pemerintah yang meluas dua tahun lalu.
“Perebutan dan formasi pemerintah akan terlihat sama, pihak yang sama akan datang untuk berbagi kekuasaan dan tidak menyediakan layanan dan pekerjaan dasar kepada penduduk dan di atas itu akan terus membungkam perbedaan pendapat. Ini sangat memprihatinkan,” kata Renad Mansour dari Inisiatif Irak di Chatham House.
Pengaruh Asing
Amerika Serikat, Teluk Arab dan Israel di satu sisi dan Iran di sisi lain bersaing untuk mempengaruhi Irak, yang memberikan Teheran pintu gerbang untuk mendukung sekutu bersenjata di Suriah dan Lebanon.
Invasi tahun 2003 menggulingkan Saddam Hussein, seorang Muslim Sunni, dan menaikkan kekuasaan mayoritas Syiah dan Kurdi di negara itu, yang tertindas di bawah otokrat. Ini memicu kekerasan sektarian selama bertahun-tahun, termasuk pengambilalihan sepertiga negara oleh ISIS antara 2014 dan 2017.
Guru sekolah menengah Abdul Ameer Hassan al-Saadi mengatakan dia memboikot pemilihan, pemilihan parlemen pertama sejak protes 2019 dan tindakan keras berikutnya. Demonstrasi ditekan secara brutal dan sekitar 600 orang tewas selama beberapa bulan.
“Saya kehilangan putra saya Hussain yang berusia 17 tahun setelah dia terbunuh oleh tabung gas air mata yang ditembakkan oleh polisi selama protes di Baghdad,” kata al-Saadi, yang rumahnya dekat dengan tempat pemungutan suara di distrik Baghdad yang mayoritas penduduknya Syiah. Karrada.
"Saya tidak akan memilih pembunuh dan politisi korup karena luka di dalam diri saya dan ibunya yang kami derita setelah kehilangan anak laki-laki kami masih berdarah."
Kepala pengamat pemilu Irak dari Uni Eropa, Viola von Cramon, mengatakan jumlah pemilih yang relatif rendah sangat berarti. "Ini jelas, tentu saja sinyal politik dan kita hanya bisa berharap bahwa itu akan didengar oleh para politisi dan elite politik Irak," katanya kepada wartawan.
Editor : Sabar Subekti
Awas Uang Palsu, Begini Cek Keasliannya
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Peredaran uang palsu masih marak menjadi masalah yang cukup meresahkan da...