ISIS dan Warisan Budaya Kurdi yang Terancam
SULAIMANIA, SATUHARAPAN.COM – “Kami telah kehilangan tanah dan kami tidak akan mendapatkannya kembali. Tapi kita harus berjuang untuk menyelamatkan apa yang tersisa dari budaya kita. Jika kita kehilangan itu, kita telah kehilangan segalanya..”
Pernyataan yang menyayat hati itu keluar dari mulut seorang penyanyi folk legendaris keturunan Iran-Kurdi bernama Mazhar Khaleghi yang sekarang mengelola Institut Warisan Budaya Kurdi di kota Irak bagian utara Sulaimania.
Sementara perang membasmi militan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) makin berkecamuk, beberapa pihak berpikir ada hal lebih penting untuk dikhawatirkan ketimbang kehilangan lahan.
Orang-orang Kurdi di seluruh Timur Tengah telah bertempur mati-matian sekian lama hingga saat ini melawan ISIS. Saat ini, ada 150.000 tentara Peshmerga Kurdi membentuk pasukan darat untuk melawan ISIS di Irak.
Namun, bagi orang seperti Khaleghi dan tokoh budaya lainnya, yang jauh lebih penting adalah berjuang menyelamatkan warisan dan budaya Kurdi. Jika warisan dan budaya Kurdi lenyap, maka bangsa ini akan rusak selamanya.
Di Sulaimania, yang baru saja memperingati hari jadi kota ke 232 pada tanggal 14 November, warga Kurdi selalu membanggakan warisan budaya mereka. Didirikan pada tahun 1784 oleh seorang pangeran Kurdi yang berambisi untuk mencerminkan nilai-nilai liberalisme dan kosmopolitanisme dan menjadi warga terdepan yang mempromosikan penggunaan bahasa Kurdi sejak akhir abad ke-19. Sebelum itu, bahasa yang mereka pelajari adalah Persia, Arab atau Ottoman Turki.
Saat ini, identitas khas kota ini dalam bahaya perang dan kesulitan ekonomi membawa dampak perubahan prioritas dan demografi.
Gelombang warga Kurdi yang melarikan diri dari desa sekitar berlangsung selama beberapa dekade dan sekarang gelombang pengungsi datang tak henti datang dari provinsi Irak yang dilanda perang. Artinya, saat ini lebih sedikit orang yang mengetahui sejarah kota Sulaimania dan untuk pelestarian situs warisan adalah hal terakhir yang akan mereka pedulikan.
Warisan kebudayaan Kurdi juga bukan isu yang seksi bagi wartawan yang selalu datang ke wilayah tersebut jika ada pertempuran sengit memuncak antara ISIS dan tentara Kurdi.
“Apakah Anda benar-benar akan menulis laporan tentang museum kami atau Anda ke sini hanya untuk segelas teh?” tanya petugas di Rumah Sofy Karim. “Banyak wartawan datang ke sini sebelumnya. Mereka melontarkan banyak pertanyaan tapi tidak ada yang datang khusus untuk meliput tempat ini.”
Rumah Sofy Karim adalah rumah saudagar tembakau kaya, dibangun pada tahun 1887 dan dijual ke Pemerintah Daerah Sulaimania pada tahun 1996 oleh putra Karim, dengan syarat bangunan itu direnovasi dan dijadikan museum untuk melestarikan budaya tradisional warga Kurdi.
Beberapa seniman Sulaimania, sejarawan dan mereka yang ingin mempertahankan arsitektur bangunan tersebut meminta kepada Pemda untuk mengalokasikan dana lebih banyak untuk proyek serupa namun tak ada yang berhasil.
Setelah perang yang dipimpin oleh AS di Irak pada tahun 2003, Institut Warisan Budaya Kurdi dan Arsip Zheen berada di ujung tombak berupaya untuk menjaga budaya Kurdi. Namun pada akhirnya mereka harus meminta bantuan dana dari swasta untuk bertahan.
Laju ekonomi yang stagnan di tempat itu telah mengakibatkan pemotongan anggaran yang drastis. Artinya, ada pemangkasan tenaga dan perawatan. Misalnya untuk perawatan kaset-kaset tua dan beberapa rekaman-rekaman penyanyi folk Kurdi yang legendaris.
Sementara itu, untuk lembaga Arsip Zheen, Rafiq dan Sadiq Saleh bersaudara telah berkomitmen untuk mengumpulkan dan melestarikan naskah Kurdi kuno yang berfungsi sebagai bukti kontribusi intelektual di Timur Tengah. Pengumpulan arsip ini termasuk kliping koran tentang Kurdi atau puisi yang ditulis oleh orang Kurdi atau buku berbahasa asing tentang Kurdi yang ditulis orang asing. (Aljazeera)
Editor : Diah Anggraeni Retnaningrum
Daftar Pemenang The Best FIFA 2024
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Malam penganugerahan The Best FIFA Football Awards 2024 telah rampung dig...