ISIS Mengaku Bertanggung Jawab atas Penembakan di Orlando
ORLANDO, SATUHARAPAN.COM – Kelompok teror yang menamakan diri mereka Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) mengaku bertanggung jawab atas insiden penembakan di sebuah klub malam gay di Orlando hari Minggu (12/6) pagi. Dalam insiden ini, setidaknya 50 orang tewas dan 53 orang lainnya luka-luka.
“Penembakan itu dilakukan oleh seorang pejuang ISIS,” kata media resmi ISIS, Amaq, seperti yang dikutip dari CBS News, hari Minggu (12/6).
ISIS juga pernah mengaku bertanggung jawab atas beberapa serangan sebelumnya yang sebenarnya tidak berasal dari struktur komando pemimpin atau wilayah mereka.
Pria bersenjata yang diduga berada di balik penyerangan tersebut adalah seorang warga Port St. Lucie bernama Omar Mateen. Hingga saat ini, petugas masih menyelidiki apa motif di balik serangan penyerangan tersebut. Diduga, penyerangan ini ada hubungannya dengan Islam radikal atau kejahatan rasial.
Seperti yang dikutip dari CBS News, sumber intel mengatakan Mateen menelepon 911 mengatakan sumpah setianya untuk pemimpin ISIS Abu Bakr al Baghdadi sambil menembak kerumunan orang yang ada di klub itu dari kamar mandi.
Sumber itu mengatakan Mateen pernah melakukan dua perjalanan asing, yang pertama pada tahun 2011 ke Dubai dan kedua pada tahun 2012 ke Arab Saudi.
Saat itu, dia tidak termasuk daftar orang yang harus diwaspadai. Namun, dia berada di daftar teroris ketika FBI menginterogasinya. Sumber itu mengatakan, namanya kemudian dihapus ketika FBI menutup penyelidikan mereka.
Namun, penyelidikian itu berlanjut ketika pada tahun 2013 Mateen mengatakan kepada teman-temannya bahwa dia mengenal Tsarnaev bersaudara yang bertanggung jawab atas pengeboman di Boston.
Pada tahun 2014, Mateen diinterogasi karena salah satu agen khusus FBI Ron Hopper menyebut dia ada hubungannya dengan pelaku bom bunuh diri.
Hopper mengatakan FBI menginterogasinya tiga kali, namun akhirnya FBI tidak menemukan alasan untuk melakukan investigasi lanjutan.
“Wawancara mereka ternyata tidak meyakinkan sehingga tidak ada alasan untuk melanjutkan pemeriksaan,” kata Hopper.
Mantan istri Mateen mengatakan kepada The Washington Post bahwa dia bertemu dengannya secara online sekitar delapan tahun yang lalu. Mereka lalu menikah dan pindah ke Florida. Mantan istri yang tidak ingin disebutkan namanya itu mengatakan di awal pernikahan sikap Mateen normal, tapi kemudian ia berubah kasar.
Pernikahan mereka hanya bertahan selama beberapa bulan saja. Kemudian, orang tuanya campur tangan ketika mereka melihat Mateen berlaku kasar kepada istrinya. Dia mengatakan Mateen tidak religius dan tidak ada tanda-tanda dia menganut Islam radikal.
Dia mengatakan Mateen memiliki sebuah pistol kaliber kecil dan bekerja sebagai penjaga di sebuah panti untuk anak-anak nakal.
Mantan istri Mateen mengatakan keluarganya berasal dari Afghanistan, namun mantan suaminya lahir di New York. Keluarga Mateen kemudian pindah ke Florida.
Editor : Diah Anggraeni Retnaningrum
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...