Islam dan Kristiani Mencari Kesamaan tentang Kewarganegaraan
JENEWA, SATUHARAPAN.COM – Pada pertengahan pekan ini, Rabu (15/3) di kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Jenewa, Swiss diselenggarakan dialog yang bertema "Islam And Christianity, The Great Convergence : Working Jointly Towards Equal Citizenship Rights" atau “Islam dan Kristen, Konvergensi Besar : Bekerja Sama Guna Mendapat Hak-hak Kewarganegaraan.”
Menurut oikoumene.org, hari Kamis (16/3), acara tersebut merupakan bagian dari sidang ke-34 dari Dewan Hak Asasi Manusia.
Dalam kesempatan tersebut, Sekretaris Jenderal World Council of Churches (WCC) atau Dewan Gereja Dunia, Sekjen Olav Fykse Tveit mengatakan tujuan diselenggarakannya dialog tersebut adalah menyoroti kesamaan yang ada antara Islam dan Kristiani, dan dalam kaitannya dengan berbagai pertanyaan yang muncul tentang kewarganegaraan, terutama di negara-negara mayoritas Muslim.
“Kesetaraan kewarganegaraan bagi umat Islam dan Kristen adalah bagian dari proses perdamaian untuk kemanusiaan,” kata Tveit.
Tveit mengatakan sepuluh pemateri membahas kemungkinan sebuah kesamaan yang besar antara dua agama ini yang berkomitmen untuk perdamaian namun terkadang masih sulit terlaksana, dan masih terdapat banyak kesalahpahaman, perselisihan dan bahkan perang.
Setiap panelis memberi gambaran terkini singkat tentang situasi di negaranya masing-masing tentang kekerasan terhadap umat Muslim dan Kristen.
Banyak pidato difokuskan pada pentingnya menekankan kesamaan dua agama ini yakni satu Tuhan, pertumbuhan rohani, penghormatan terhadap perbedaan, namun para pemateri juga mencatat bahwa beberapa komunitas agama masih menghadapi diskriminasi.
Biarawan asal Dominika, Timotius Radcliffe mengatakan: "Orang asing menjadi sosok yang selalu dicurigai karena perbedaan agama, etnis dan budaya mereka.”
Para pemateri terus menerus menggali sejumlah pertanyaan tentang bagaimana memastikan hak-hak dan kewajiban warga negara yang ideal bagi Muslim dan Kristen.
“Penegasan hak-hak kelompok yang terkait dengan representasi politik seringkali menimbulkan ketidakadilan bagi semua warga negara, ditambah dengan pembagian mayoritas-minoritas dan saling berpersepsi,” kata mantan Menteri Luar Negeri Libanon, Tarek Mitri, yang juga pernah menjabat staf WCC.
Sementara itu pengamat dari Malta untuk PBB, Marie Thérèse Pictet Althann mengatakan: "Dalam rangka mendapat hak-hak kewarganegaraan yang sama, maka kelompok minoritas memiliki peran dan wajib berpartisipasi sepenuhnya dalam kegiatan dan pengambilan keputusan di setiap komunitas mereka sehingga untuk menghindari menjadi sub-kelompok yang terpinggirkan dan berpotensi membahayakan harmoni sosial.”
Editor : Eben E. Siadari
Otoritas Suriah Tunjuk Seorang Komandan HTS sebagai Menteri ...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Penguasa baru Suriah telah menunjuk Murhaf Abu Qasra, seorang tokoh terkem...