Istana Undang Komunitas Pers Bahas Papua
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Sejumlah organisasi jurnalis memenuhi undangan Kedeputian V Kantor Staf Presiden untuk membahas strategi penanganan komunikasi publik di Papua. Pertemuan dilakukan di Gedung Bina Graha, Kompleks Istana Negara Jakarta, Jumat (30/8). Adapun organisasi wartawan yang hadir antara lain Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), dan Dewan Pers.
Ketua AJI Abdul Manan, mengusulkan pencabutan pemblokiran internet, karena kebijakan tersebut membuat jurnalis mengalami kesulitan melakukan verifikasi informasi terkait aksi-aksi dan kekerasan di Papua dan Papua Barat.
"Kita belum tahu persis manfaat pemblokiran bagi penanggulangan hoaks yang dijadikan alasan pemerintah. Tapi kami menilai kerugian yang diakibatkan pemblokiran itu lebih banyak. Karena membatasi hak masyarakat untuk mendapatkan informasi yang benar," kata Abdul Manan kepada VOA, Jumat (30/8).
Abdul Manan menambahkan, pemblokiran data seluler juga merugikan pemerintah. Sebab, kebijakan-kebijakan yang sudah dilakukan oleh pemerintah tidak dapat tersalurkan dengan baik ke masyarakat Papua. Semisal soal penindakan terhadap orang-orang yang diduga melakukan tindakan rasisme di Surabaya, Jawa Timur. Padahal tindakan rasisme itulah yang menjadi pemicu rentetan aksi di wilayah Papua dan Papua Barat.
"Pemerintah jangan sibuk mengatasi asap tapi kurang serius atasi apinya. Apinya itu kan soal rasisme oleh aparat keamanan seperti dalam kasus di Surabaya. Dengan memproses hukum secara serius pelakunya," katanya.
Sementara Sekjen IJTI Indria Purnama Hadi mengatakan, lembaganya mengusulkan agar pemerintah menunjuk orang atau lembaga yang dapat memberikan semua informasi tentang peristiwa Papua kepada jurnalis. Hal tersebut untuk mencegah timbulnya informasi yang simpang siur di masyarakat dan mencegah kericuhan di Papua meluas di tengah pemblokiran internet.
"Papua ini kalau kita ibaratkan misalkan kalau gempa bumi bencana alam, ini adalah bencana sosial sehingga harus ditangani khusus. Jadi, kita usulkan dibuat semacam gugus tugas yang menangani itu, sehingga jurnalis ketika menghubungi orang atau lembaga yang ditunjuk mendapatkan konfirmasi dari semua peristiwa di Papua,“ kata Indria.
Indria menjelaskan orang atau lembaga yang ditunjuk pemerintah nantinya harus memiliki akses ke semua pihak seperti Polri dan TNI. Sehingga juru bicara Papua ini memiliki informasi yang valid dari berbagai pihak.
Secara lembaga, IJTI belum mengusulkan orang yang pantas menjadi juru bicara tersebut. Namun, Indria menilai Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Doni Monardo, merupakan sosok yang tepat untuk menjadi juru bicara soal Papua. Alasannya Doni Monardo pernah menjabat Panglima Komando Daerah Militer Pattimura yang pernah menangani konflik di Ambon.
Sejauh ini, belum ada tanggapan dari Deputi V Kantor Staf Presiden Jaleswari Pramodhawardani terkait pertemuan dengan komunitas pers ini. Namun, menurut Abdul Manan, Dani menyimpulkan dua poin, yaitu pencabutan pemblokiran data seluler dan perlunya juru bicara Papua dalam pertemuan tersebut. Menurutnya, dua usulan ini akan segera ditindaklanjuti oleh kementerian terkait.
Hasil konfirmasi yang dilakukan VOA ke jurnalis di Manokwari Papua menyebutkan, akses data seluler dan internet di sana belum pulih. Para jurnalis menggunakan SMS atau pesan pendek untuk mengirim berita ke redaksi masing-masing.
"Wi-fi hanya satu titik saja yang bisa. Di hotel Swiss Bell (Jayapura, Red) karena mereka pakai satelit," kata jurnalis yang tidak mau disebut namanya. (Voaindonesia.com)
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...