Istilah yang dipakai Negara atas Masyarakat Adat Bersifat Politis
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Tentang istilah masyarakat adat sebagian besar belum biasa mendengar, sementara istilah indigenous people kerap didengar. Di Indonesia, istilah indigenous people diterjemahkan macam-macam, ada yang menerjemahkan suku anak dalam, masyarakat atau suku terasing, komunitas adat tertinggal. Sebeenarnya semua istilah yang dipakai itu politis dan wartawan tidak menyadari paradigma basic itu. Demikian disampaikan Meggi Margiono dari Media Indonesia dalam seminar dengan tema “Representasi Perempuan Adat di Media Massa Indonesia” di Jakarta, Selasa (2/7).
“Mengapa negara memakai istilah suku terasing? Itu yang tidak dipahami. Di media yang establish, ada istilah boleh dan tidak boleh. Ini yang belum terpikir. Perjuangan istilah itu adalah sebuah kontestasi politik ketika melakukan engagement dengan media.” Ungkap Meggi.
“Media adalah forum tempat berkontestasi pelbagai kepentingan dalam memenangkan versi kebenaran masing-masing. Semua berkontestasi. Pemerintah atau kelompok konservatif memakai suku terasing atau suku tertinggal karena ada kepentingan kontestasi. Kalau tertinggal kenapa? Harus dimajukan. Dimajukan seperti apa? Dimajukan menurut versi-versi yang diinginkan. Mungkin dibangun investasi, diberi pendidikan modern, pendidikan ala pusat, atau pendidikan ala Barat, pendidikan budaya dominan atau budaya tertentu. Seperti dulu penjajah mengatakan kita ini bangsa kolonial karena kita bangsa tertinggal. Kita disebut bangsa Indies, bangsa Inlander, apa istilahnya? Kita tertinggal, tidak berpendidikan, dan tidak punya agama. Harus dimajukan dengan dijajah, ‘kan gitu. Itu konsep yang dibangun.”
Media menjadi alat memenangkan wacana atau konsep dominan. Media itu hanya melihat sesuatu yang menonjol saja dan yang menonjol pasti yang berkuasa karena sering muncul dan sering dikenal.
“Bahkan wawancara pejabat, penguasa, Presiden, Menteri, Gubernur, Bupati, sekarang paling sering dianggap standar. Lalu kelompok organisasi besar agama yang diwawancara NU, Muhammadiyah, dan MUI. Terus wawancara kaum intelektual itu berasal dari universitas besar dan kalau pakar pasti berasal dari universitas terkenal. Kelompok-kelompok dominan ini memenangkan dan menjaga wacana yang dipakai saat ini.” Kata Meggi Margiono.
Editor : Yan Chrisna
Awas Uang Palsu, Begini Cek Keasliannya
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Peredaran uang palsu masih marak menjadi masalah yang cukup meresahkan da...