Isu SARA dan Kebijakan Publik dalam Pilkada DKI
Aneka upaya dilakukan untuk mencegah pencalonan Ahok lewat jalur independen. Mengapa orang meributkannya? Apa yang sesungguhnya diperjuangkan Ahok?
Jakarta, Satuharapan.com - “Isu SARA tidak laku dalam Pilkada DKI” ini ujaran yang sering kita dengar dan sudah terbukti kesahihannya. Namun masih ada beberapa pihak yang masih mengasong isu SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar-golongan).
Bisa jadi, itulah kemampuan mereka, bagaikan keledai yang hanya mampu membawa tumpukan-tumpukan buku, tidak bisa diminta untuk membacanya, apalagi memahaminya. Bisa jadi juga, mereka hidup dari isu kotor itu, seperti halnya kecoa yang hidup dalam wilayah yang jorok, yang akan mati kalau berada di tempat yang bersih dan steril.
Karena serangan isu SARA terbukti tidak laku, bahkan terjadi serangan balik dengan dukungan publik yang masih membesar terhadap Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), dilempar isu-isu lain yang seolah-seolah mempertanyakan isu kebijakan publik, seperti kasus pembelian RS Sumber Waras, Reklamasi, Penggusuran dan hal-ihwal lainnya yang tujuan sebenarnya menjegal Ahok, termasuk yang terakhir: disahkannya UU Pilkada yang memustahilkan syarat pencalonan perseorangan/independen dengan verifikasi faktual yang tidak masuk akal dan tidak transparan.
Intinya: hanya ingin menjegal Ahok. Setelah gagal melalui serangan SARA, ganti isu serangan dengan fitnah kebijakan publik, tetapi Ahok tidak terbukti menerima keuntungan pribadi dari program-program ini. Tidak sesen pun uang mengalir ke rekening pribadi Ahok. Usaha selanjutnya adalah menggantung pencalonan Ahok melalui UU Pilkada. Proses penjegalan Ahok melalui prosedur-prosedur demokrasi karena yang berkuasa di negeri ini masih rejim demokrasi prosedural, bukan demokrasi substantif. Sedangkan Ahok adalah perwujudan dari demokrasi substantif.
Demokrasi substantif memiliki dua paru-paru yang tidak bisa terpisahkan untuk menafasi demokrasi itu sendiri, yakni: kedaulatan rakyat dan kekuasaan rakyat secara langsung. Dalam demokrasi prosedural, kedaulatan rakyat dipasung oleh oligarki parpol, UU yang disahkan untuk manfaat elit-elit parpol, serta kedaulatan rakyat yang semu dalam bungkus keterwakilan.
Fenomema dukungan pada Ahok meneguhkan demokrasi substantif ini. Rakyat terlibat dalam dukungan langsung, rakyat menunjukkan kekuatan dan kedaulatannya. Inilah yang dianggap sebagai ancaman bagi parpol-parpol dengan tudingan yang menggelikan: deparpolisasi.
Kalau parpol tidak pernah membawa kepentingan rakyat, tapi hanya kepentingan elit-elitnya saja: apa guna parpol? Apabila parpol tidak mau ditinggalkan, haruslah melakukan reorientasi kepentingan, dari kepentingan elit-elit papol menjadi kepentingan publik. Parpol juga harus memperjuangkan nilai-nilai utama dalam demokrasi yang disebut demokrasi substantif.
Dalam demokrasi substantif juga digerakkan nilai-nilai sebagai substansi demokrasi, pluralisme, prinsip anti diskriminasi, kebebasan sipil, toleransi, kesetaraan, keadilan, kemaslahatan umum dan nilai-nilai asasi lainnya yang tidak mungkin mengemuka dalam demokrasi prosedural yang dikuasai rejim parpol yang mementingkan politik dagang sapi.
Ahok mengembalikan substansi demokrasi ini, mengembalikan kedaulatan rakyat, dan rakyatnya sebagai penguasa sesungguhnya yang harus dilayani. Negara didirikan untuk melayani rakyat dengan aturan dan kebijakan inilah makna government yang sesungguhnya, bukan dalam arti “pemerintah” yang menjadi terjemahan salah kaprah dan gagal paham atas fungsi government.
Dalam terjemahan “government” sebagai “pemerintah” sudah ada bias dan kesalahan fatal di sini. Pemerintah artinya lembaga yang memberikan perintah. Pemerintah memberi perintah pada rakyat? Bagaimana mungkin rakyat sebagai penguasa dan berdaulat diberi perintah-perintah oleh lembaga yang disebut pemerintah itu?
Melalui aplikasi “Qlue” Ahok menjungkir balikkan hirarki itu, rakyatlah yang memberikan perintah! Warga yang menemukan masalah di linkungannya bisa memberikan laporan, yang artinya, memberikan perintah pada birokrasi untuk membereskannya! Kalau birokrasi itu abai terhadap perintah ini, harus ada sanksi, inilah konsekuensi logis dari kewenangan pemegang kedaulatan sesungguhnya.
Inilah yang dikerjakan oleh Ahok, bagaimana kebijakan-kebijakannya memberikan kemaslahatan bagi publik dan birokrasi ‘pemerintahan’ dibentuk sebagai pelayan publik.
Memperjuangkan kemaslahatan publik adalah dasar yang penting dalam teori kepemimpinan dalam Islam. Ada kaidah fiqih yang sangat masyhut: tasharruful imam alal ra’iyyah manuthun bil mashlahah (kebijakan pemimpin haruslah “manut”/taat, ikut pada kemaslahatan publik). Pemimpin yang tidak taat pada kepentinga publik disebut pemimpij yang zalim.
Pelayanan terhadap publik juga dikenal dalam pepatah Arab yang berbunyi: sayyidul qawmi khadimuhum (pemimpin suatu komunitas adalah pelayan). Inilah inti dari sistem pengaturan dan kebijakan (yang disebut sebagai “government”) untuk melayani publik.
Para birokrat sebenarnya adalah “orang upahan” yang dibayar berdasatkan kinerja mereka. Dan sebaik-baik orang upahan disebut dalam sebuah ayat: inna khaira man -ista’jarta al-qawiyyul amin (sungguh, sebaik-baik orang yang hendak kamu upah adalah orang yang kuat dan orang yang bisa dipercaya). Kekuatan adalah kapabilitas, kompetensi, profesionalitas, sementara kepercayaan menunjukkan pada aspek transparasi, bersih, tidak korup, menjaga amanah.
Inilah sesungguhnya yang sedang diperjuangkan oleh Ahok saat ini.
Penulis adalah aktivis D'Ahokers, menulis buku Islam Tanpa Diskriminasi dan Islam Nusantara
Editor : Trisno S Sutanto
Daftar Pemenang The Best FIFA 2024
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Malam penganugerahan The Best FIFA Football Awards 2024 telah rampung dig...