Isu SARA di Pilkada: Politik Murah dan Kotor ?
SATUHARAPAN.COM - Politik yang mempertentangkan SARA (suku, agama, ras dan antargolongan) banyak disebut sebagai politik murahan, kotor, bodoh, tidak laku, dan negatif. Namun ketika dinamika pemilihan kepala daerah serentak makin tinggi, isu itu justru makin sering ditampilkan.
Yang mengangkat isu ini tidak terbatas politisi dan para pendukungnya, namun juga pemimpin agama, termasuk menggunakan rumah ibadah untuk menyebarkannya. JUga warga masyarakat yang menggunakan media sosial. Hal ini tampaknya merisaukan banyak pihak dan pemerintahan dan meminta untuk ditinggalkan.
Sejak reformasi 1989, isu SARA terus digunakan dalam proses politik, dan imbauan seperti itu tampaknya tidak mengena sama sekali para pihak yang ‘’keranjingan’’ isu SARA. Jadi, apakah ini berarti pertanda praktik kehidupan politik kita makin murahan, kotor, makin bodoh, makin negatif dan politik makin tidak laku?
Fundamentalisme dan Politik Identitas
Isu SARA biasanya terkait dengan strategi mencapai supremasi atau kekuasaan budaya (etnis dan agama) sendiri dengan menolak dan melawan budaya yang lain. Wataknya yang absolut mencirikan isu ini digunakan dan dekat dengan kaum fundamentalis. Maka isu SARA digunakan sebagai narasi tentang kebenaran absolut untuik mendukung pihak sendiri dan menolak pihak lain.
Mengangkat isu SARA akan menyuburkan fundamentalisme dan melemahkan negara. Sebab, di mana saja dan tidak terbatas pada etnis atau agama tertentu, fundamentalisme membentuk sistem berpikir yang tertutup, dan menggunakan pendekatan permusuhan.
Politisasi perbedaan budaya (etnis dan agama) sebagai politik identitas, bukan saja mengancam persatuan, tetapi juga tidak berguna dalam pendidikan politik yang sehat. Politik identitas cenderung mengaduk-aduk perbedaan dan mengembangkan permusuhan. Komunikasinya juga penuh distorsi, bahkan dilakukan secara sitematis.
Politik Identitas cenderung menggiring pemilih dengan kalkulasi emosional ketimbang rasional. Perbedaan budaya adalah keniscayaan dalam masyarakat, damn politisasi atas isu itu akan menggeser isu tentang pembangunan dan kesejahteraan yang jauh lebih penting dalam proses politik.
Kepala daerah yang gagal menjadi pendorong pembangunan, bahkan banyak yang menjadi koruptor adalah konsekuensi yang wajar, ketika politik identitas sebagai faktor yang menonjol. Dan in sudah menjadi pengalaman nyata di banyak daerah.
Contoh lebih luas adalah konflik sektarian berkepanjangan di sejumlah negara. Ambil contoh Irak yang sejak 2006 berupaya pulih pasca penggulingan Sadham Husein. Politik sektarian yang subur dan berakar dalam sejarah negara itu, menjadi hambatan dalam reformasi. Korupsi juga merajalela, dan ketika Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) muncul, dengan mudah menguasai wilayah yang begitu luas di Irak, karena lemahnya persatuan di sana. Sekarang negara itu menghadapi pertanyaan besar: apakah masih ada persatuan dalam masa depan Irak?
Hambatan Mewujudkan Reformasi
Politisasi perbedaan budaya, menurut Prof. Dr Thomas Meyer dari Jerman, memang terbukti sebagai resep universal yang digunakan dalam membangkitkan pendapat publik, dan kemudian diolah menjadi suara persetujuan untuk meraih kekuasaan. Bisa dikatakan bahwa politik identitas adalah cara murah mencapai kekuasaan. Namun dia gagal memberikan kontribusi dalam mencapai tujuan menciptakan keadilan dan membangun kesejahtraan.
Sebaliknya, konsekuensi tumbuhnya politik identitas itu yang membuat biaya yang harus ditanggung sangat mahal dan tak bisa dikalkulasi. Politik ini menyuburkan dan disuburkan oleh fundamentalisme, yang bercirikan berpikir tertutupan yang mematikan budaya dialog, bahkan menolak negosiasi dan kompromi.
Politik identitas bahkan membawa konsekuensi terjadinya permusuhan dan diskriminasi. Ini yang membuat kerja sama sulit dibangun di negara yang diwarnai politik identitas. Masalah-masalah yang bisa diselesaikan, seperti pengangguran, kesehatan, pendidikan dan infrastruktur, menjadi sulit diselesaikan karena sulitnya terjadi kerja sama di kalangan politisi dan birokrasi pemerintahan.
Hal ini telah menjadi pengalaman yang nyata bagi kita di Indonesia, terutama sejak reformasi. Politik identitas, adalah salah satu yang pantas dipersalahkan, termasuk hambatan dalam melaksanakan reformasi, bahkan merupakan penyimpangan mandat reformasi. Bukankah ini kekecewaan yang muncul atas hasil reformasi?
Kerja Sama Internasional
Dalam kaitan kerja sama internasional politik identitas akan selalu menjadi halangan. Hukum positif yang melindungi hak asasi manusia, tetapi di lapangan banyak praktik diskriminatif, akan terus menjadi halangan kerja sama antar bangsa.
Pengalaman Turki di bawah Recep Tayyip Erdogan yang memimpin Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP / Adalet ve Kalkinma Partisi) yang berkuasa bisa menjadi kajian tentang hal ini. Erdogan sebagai perdana menteri dua periode dan AKP diakui berhasil membangun Turki dengan pertumbuhan ekonomi yang mengesankan.
Namun Erdogan yang sekarang menjadi Presiden belum mampu mengatasi politik identitas yang sumbur di Turki, kalau bukan justru semakin subur. Masalah kudeta oleh faksi militer, pemberontakan Kurdi, dan juga kelompok pendukung Fethullah Gulen, adalah fenomena dari politisasi perbedaan etnis dan agama di sana.
Akibanya belakangan Turki menghadapi hambatan dalam hubungan internasional. Keanggotaan di Uni Eropa yang sebenarnya hampir terwujud, terlihat tak jelas masa depannya, karena hambatan ini, terutama tekanannya pada kebebasan pers dan kelompok lawan politik. Ditambah imbas dari perang di Suriah dan Irak, hari depan Turki menjadi semakin berat.
Hambatan pada masalah kerja sama internasional akan menjadi kesulitan besar bagi sebuah negara, terutama karena kecenderungan global yang tak bisa ditolak, yaitu interdependensi pada semua negara, bahkan yang terkuat sekalipun.
Teknologi komunikasi yang makin canggih tidak memungkinkan sebuah negara menutup diri. Revolusi Musim Semi Arab yang bersimbah darah adalah ledakan dari bertemunya dua ‘’meteri eksplosif’’: politik identitas dan media sosial. Dan basisnya yang diletakkan pada perbedaan dan permusuhan menjadikan dialog untuk perdamaian sulit dibangun.
Kita di Indonesia semestinya tidak abai pada pengalaman ini, dan sudah merasakan akibat isu SARA dalam politik, dan terkait fenomena fundamentalisme. Jadi, kalau di Indonesia ada yang menyebut isu SARA dalam pilkada sebagai kotor, Meyer menyebut politisasi perbedaan budaya (etnik dan agama) memiliki efek samping yang sangat jahat.
Editor : Sabar Subekti
Mencegah Kebotakan di Usia 30an
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Rambut rontok, terutama di usia muda, bisa menjadi hal yang membuat frust...