Jadilah Tenang!
Orang seolah berlomba untuk menjadi yang pertama mengunggah berita pemboman tersebut.
SATUHARAPAN.COM – Kamis, 14 Januari 2016, Jakarta diguncang oleh ledakan bom di sebuah pos polisi. Pelaku pemboman dengan cepat dicap sebagai teroris. Media sosial segera dipenuhi dengan berbagai berita, dan untuk beberapa saat juga gambar dari korban bom, yang entah sudah diverifikasi kebenarannya atau belum. Orang seolah berlomba, bersicepat untuk menjadi yang pertama mengunggah berita pemboman tersebut. Dalam situasi seperti itu satu hal yang pasti: kegentaran melanda banyak orang.
Kegentaran, ketakutan, kecemasan atau semua lema yang semakna, itulah teror. Kata teror diturunkan dari kata terrere dalam bahasa Latin yang berarti kegentaran, ketakutan atau kecemasan. Tindakan pemboman itu menimbulkan rasa takut dan mengakibatkan orang terperangkap dalam situasi yang serbatak pasti. Berbagai pesan berantai agar orang berhati-hati seolah tak lagi bermakna. Dalam ketakutan, pesan untuk berhati-hati tak lagi berguna. Ketakutan membuat orang jadi serbacuriga dan panik.
Kita belum tahu pasti, dan mungkin juga tidak akan pernah tahu, motivasi pelaku pemboman tersebut. Namun, tujuan para pelaku pemboman jelas tercapai: menimbulkan kegentaran dalam masyarakat. Pada bagian itu cap teroris dapat dilekatkan pada para pelaku pemboman. Ya mereka teroris, sebab mereka berhasil menjadikan orang lain merasakan kegentaran yang amat sangat.
Pada masa-masa awal kekristenan, Petrus memberikan nasihat kepada umat ketika mereka menghadapi teror dari kerajaan Roma. Nasihat utama yang diberikan oleh Petrus kepada umat ketika mereka berhadapan dengan teror adalah berdoa (1Ptr. 4:7). Ya berdoa! Ini nasihat yang brilian. Pada masa kini hal itu kembali digaungkan lewat media sosial. Khusus untuk peristiwa pemboman hari ini sudah muncul ajakan untuk berdoa bagi Jakarta, #prayforjakarta.
Mengapa nasihat itu brilian? Sebab dalam kegentaran, dalam kondisi tak berdaya, dalam kebingungan dan kepanikan, dalam semua kondisi itu pertolongan yang utama datang dari Yang Ilahi. Berdoa memohon pertolongan Yang Ilahi. Pertolongan itu dapat terwujud melalui berbagai bentuk. Pada saat yang sama, berdoa tidak berarti tinggal diam. Bukan sekadar juga berdoa dan berbuat. Namun, yang jauh lebih penting adalah pemahaman dan penghayatan bahwa berdoa juga adalah bekerja, begitu juga sebaliknya. Itu berarti ketika berdoa, maka doa itu harus diwujudkan lewat berbagai tindakan. Hal yang sebaliknya, ketika orang bekerja, maka semua itu harus dilambari dengan doa. Orare est labora.
Persoalannya, dalam kegentaran masih mungkinkah orang ingat untuk berdoa? Jawabnya jelas: ya! Dalam keyakinan bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang religius, maka doa adalah keniscayaan. Oleh karena itu, dalam situasi yang paling buruk sekali pun orang masih ingat berdoa. Bahkan, justru dalam situasi yang sangat buruk orang akan semakin mendekatkan diri pada Yang Ilahi melalui dan di dalam doa. Hanya saja, bagaimana orang dapat berdoa dalam situasi yang dipenuhi kegentaran dan kepanikan?
Petrus menegaskan: jadilah tenang. Sikap tenang adalah sikap pengendalian diri yang mencegah orang dari keterburu-buruan. Dengan menjadi tenang, orang dimungkinkan untuk berpikir jernih dan dapat mengambil keputusan yang tepat. Sikap ini memang diperoleh lewat perjuangan panjang. Makin sering orang mengasah kemampuan pengendalian diri, maka makin mungkinlah ia bersikap tenang dalam situasi yang paling buruk sekali pun. Bagi Petrus, sikap tenang mendahului orang untuk dapat berdoa.
Jadi, pada saat orang mengajak untuk berdoa bagi Jakarta, maka setiap orang harus mengendalikan dirinya lebih dahulu agar dapat menjadi tenang. Setelah itu, baru orang dapat berdoa.
Dalam ketenangan, orang bukan hanya dapat berdoa, namun juga dapat melakukan hal lain yang tepat. Misalnya:
1. Mengendalikan diri dalam mengirimkan berita melalui berbagai media sosial sebelum memeriksa kebenarannya. Dalam hal seperti ini, biarlah para awak berita yang bertanggung jawab untuk membuat dan menyebarkan berita, sebab mereka memang sudah terlatih untuk membuat berita yang teruji kebenarannya.
2. Mengendalikan diri dalam mengirimkan gambar-gambar para korban. Ini dalam rangka berbela rasa dengan korban dan keluarganya. Hal yang sama juga berlaku bagi para pelaku. Menyebarkan berbagai gambar dari mereka yang luka atau bahkan mati akibat bom, hanya menunjukkan betapa kita jauh dari sikap bela rasa.
3. Mengendalikan diri dalam memberikan penghakiman pada orang lain sebelum kita tahu persis kebenaran dari peristiwa yang terjadi. Penghakiman itu termasuk ketika orang memberikan cap teroris pada orang lain. Kita harus mengingat bahwa ketika ada orang yang dicap sebagai teroris, pada saat yang sama ada yang mencap kita juga sebagai teroris. Oleh karena itu, alih-alih memberi cap orang lain, lebih baik kita memeriksa diri untuk mencari tahu hal apa yang membuat orang lain menjadi sangat marah sampai mereka tega melakukan hal tersebut.
4. Berdoa. Ya, berdoa. Saat kita menjadi tenang, maka kita dapat berdoa. Dalam ketenangan, setiap doa yang dilafaskan akan datang dari hati yang bening. Doa yang seperti itu akan jauh dari berbagai penghujatan dan penghakiman. Biarlah Yang Ilahi menjadi hakim atas setiap kita. Alih-alih memerintahkan Yang Ilahi untuk membalaskan segala yang jahat, kita akan memohon agar ada jalan untuk menyelesaikan semua hal ini dalam dan dengan damai.
Ya, Mari Berdoa!
Email: inspirasi@satuharapan.com
Editor : Yoel M Indrasmoro
Hamas: Syarat Baru Israel Menunda Kesepakatan Gencatan Senja...
JALUR GAZA, SATUHARAPAN.COM-Kelompok Hamas menuduh Israel pada hari Rabu (25/12) memberlakukan "...