Jakarta Dikepung Emisi Batubara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Jakarta akan menjadi ibu kota negara yang dikelilingi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara baru terbanyak di dunia, dalam radius 100 km dibandingkan dengan ibu kota lainnya, menurut Greenpeace dalam sebuah peluncuran laporan terbaru berjudul "Pembunuhan Senyap". Keberadaan PLTU batubara di sekitar Jakarta tersebut, diperkirakan dapat menyebabkan 10.600 kematian dini dan 2.800 kelahiran dengan berat lahir yang rendah per tahunnya, di mana hampir setengah dari dampak ini berada di Jabodetabek.
Kualitas udara Jakarta saat ini dapat diindikasikan buruk, terutama disebabkan oleh emisi transportasi, industri, dan perumahan.
“Namun faktanya, bukan hanya lalu lintas yang merusak kesehatan penduduk Jakarta dan juga anak-anak mereka, tetapi juga beberapa PLTU batubara berkapasitas besar di Pulau Jawa, khususnya di sekitar Jakarta, dan dua pembangkit listrik tenaga gas dan uap (PLTGU) di dalam kota Jakarta,” kata Didit Wicaksono, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia di Jakarta, Selasa (24/10) dilansir situs greenpeace.org.
“Polusi yang dihasilkan dari pembangkit listrik ini membuat udara di Jakarta diindikasikan menjadi lebih berbahaya, khususnya bagi kesehatan masyarakat,” katanya.
Saat ini, Kota Jakarta sudah berada dalam bayang-bayang delapan PLTU (22 unit), dan empat lagi (tujuh unit) akan beroperasi antara 2019 dan 2024, dan satu PLTU yang telah beroperasi akan diekspansi pada tahun 2019.
Jika wacana yang berbahaya ini tetap berjalan, wilayah Jabodetabek akan dikelilingi oleh PLTU yang nantinya dapat mencekik kota ini beserta 30 juta penduduknya. Sementara Tiongkok menutup PLTU di Beijing untuk mengurangi tingkat polusi udara yang berbahaya, Indonesia malah melakukan hal sebaliknya terhadap ibu kotanya. Jakarta akan menjadi ibukota negara yang dikelilingi PLTU baru terbanyak di dunia dalam radius 100 km dibandingkan dengan ibukota lainnya. Emisi dari PLTU yang akan dibangun ini akan meningkatkan paparan dari polutan NO2, partikulat, dan SO2 , yang setara dengan emisi dari 10 juta mobil yang ada ditambahkan di jalanan Kota Jakarta secara bersamaan.
Greenpeace, menggunakan sistem permodelan atmosfer canggih yang dikembangkan oleh Badan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat (US Environmental Protection Agency), untuk memproyeksikan dampak kualitas udara dan dampak kesehatan akibat PLTU yang berlokasi di sekitar Jakarta.
Emisi dari PLTU dihitung pada level operasi penuh berdasarkan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal), dengan menggunakan asumsi kapasitas operasi 80 persen. Selanjutnya, data emisi dari PLTU tersebut digunakan sebagai dasar untuk melakukan pemodelan dampak kualitas udara PLTU dengan menggunakan sistem permodelan CALMET-CALPUFF untuk menggambarkan rentang persebaran emisi PLTU.
Hasilnya mengindikasikan, bahwa emisi gabungan dari PLTU yang telah beroperasi dan yang baru nantinya, akan memiliki dampak yang besar pada peningkatan kadar polusi di kota-kota yang berlokasi di sebelah utara dan barat pembangkit listrik. Diperkirakan kadar SO2, level PM2,5 dan NO2 tertinggi dari PLTU yang masih beroperasi berada di Cilegon, Tangerang, Bogor, dan Jakarta. PLTU yang direncanakan akan dibangun ini berpotensi meningkatkan tingkat polutan tidak hanya di daerah tersebut, tapi juga di Bekasi, Depok, Tambun, dan Karawang. Semua wilayah ini akan menjadi wilayah dengan tingkat paparan polusi udara yang tinggi.
Kadar PM2,5 yang tinggi dan partikel polutan paling berbahaya, dapat menyebabkan kualitas udara menjadi tidak sehat.
Diketahui bahwa PM2,5 dapat terhirup dan masuk ke pembuluh darah manusia, sehingga menyebabkan berbagai penyakit pernapasan serius seperti infeksi saluran pernapasan akut, stroke, penyakit kardiovaskular dan penyakit jantung lainnya. Golongan anak-anak, ibu hamil, dan usia lanjut adalah mereka yang paling rentan terpapar polusi udara.
Tingkat SO2 dan NOX yang saat ini diizinkan oleh pemerintah (750 mg/Nm3) adalah tujuh kali lebih tinggi daripada di sebagian besar negara-negara lain, sementara standar total partikulat atau PM (100 mg/Nm3) adalah tiga kali lebih tinggi dari negara-negara lain.
“Demi kesehatan masyarakat, Pemerintah Indonesia sudah waktunya memperkuat standar emisi untuk pembangkit listrik termal serta memantau pelaksanaannya, dan tidak lagi membangun PLTU batubara yang jelas-jelas menjadi ancaman kesehatan nyata di pulau padat penduduk ini,” kata Didit.
Editor : Sotyati
AS Laporkan Kasus Flu Burung Parah Pertama pada Manusia
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Seorang pria di Louisiana, Amerika Serikat, menderita penyakit parah perta...