Jangan Dikebiri Perppu Kebiri
SATUHARAPAN.COM – Pemerintah akhirnya mengeluarkan Perppu No.1 Tahun 2016 di mana di dalamnya dimasukkan hukuman mati dan hukuman kebiri bari pelaku kekerasan seksual pada anak. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini merupakan perubahan atas UU Perlindungan Anak (UU No.23/2002) yang telah mengalami dua kali perubahan.
Sebelum Perppu ini keluar, masalah hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan seksual pada anak ramai dibicarakan. Sebagian menyatakan setuju, dan sebagian lagi menolak. Pihak yang menolak antara lain karena hukuman mati kembali dimasukkan ke dalam UU, dan tentang kebiri mempertanyakan efektivitasnya mencegah kejahatan itu.
Perppu itu dengan perubahan pada pasal 81 dan 82 menegaskan dengan memperberat sanksi bagi pelaku kejahatan seksual, yakni hukuman mati, penjara seumur hidup, maksimal 20 tahun penjara dan minimal 10 tahun penjara.
Perubahan menambah sanksi tambahan berupa kebiri kimiawi (sebagai upaya rehabilitasi), pengumuman identitas ke publik, serta pemasangan alat deteksi elektronik (chip) untuk memantau keberadaan pelaku.
Kejahatan Luar Bisa, Kasus Luar Biasa
Kasus-kasus kejahatan seksual, terutama terhadap anak, banyak yang merupakan kejahatan luar biasa, mengingat kekejamannya, dan skala akibatnya bagi korban dan keluarga.
Pada kasus yang terjadi belakangan, misalnya, korbannya seorang perempuan pegawai pabrik di Tangerang berusia 18 tahun. Pada Jumat (13/5), korban ditemukan di dalam kamar kos dalam keadaan telanjang bulat dengan gagang cangkul tertancap di kemaluannya.
Di Bengkulu, korban kejahatan ini adalah seorang siswi SMP yang meninggal setelah diperkosa beramai-ramai oleh 14 orang, tujuh dari mereka adalah anak-anak di bawah umur. Itu hanya contoh kasus yang terjadi belakangan dan ramai dibicarakan. Fenomena kejahatan ini sendiri diyakini bagaikan gunung es, di mana yang tak terungkap bisa lebih banyak.
Di sisi lain, kita juga disadarkan bahwa dari sisi jumlah kejahatan ini di Indonesia termasuk ‘’luar biasa.’’ Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukkan, pada 2010-2014 terdapat 21,8 juta kasus pelanggaran hak anak, dan 58 persennya adalah kasus kekerasan seksual.
Hal ini mungkin terkait dengan tingginya kekerasan pada perempuan seperi diungkapkan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan). Pada tahun 2015 terdapat 321.752 kasus kekerasan terhadap perempuan. Itu berarti sekitar 881 kasus setiap hari. Angka tersebut didapatkan dari pengadilan agama, yaitu 305.535 kasus dan lembaga mitra sejumlah 16.217 kasus.
Mengebiri Upaya Pencegahan
Keluarnya Perppu yang memperberat hukuman, dan memberi tambahan hukuman kebiri, barangkali akan membuat pelaku menjadi jera. Kita baru akan tahu efektivitasnya setelah hukum ini diterapkan, dan mungkin beberapa tahun ke depan. Itu jika ada pencatatan yang tertib, pengumpulan dan pengolahan data yang baik, dan terutama jika memang diterapkan dengan semestinya.
Mungkin Perppu ini juga berfungsi pencegahan dengan membuat calon pelaku berpikir ulang untuk melakukan kejahatan jenis ini, mengingat hukumannya. Itu tampaknya mengandaikan bahwa pelaku berpikir seperti cara para pembuat Perppu dan masyarakat pada umumnya yang ‘’sehat’’, yang tak terpikir untuk bertindak sebejad itu. Sementara para pelaku kejahatan luar biasa ini tidak berpikir secara sehat.
Jika yang dipikirkan adalah pencegahan, justru yang diperlukan adalah upaya-upaya ‘’menyehatkan’’ warga masyarakat (calon penjahat seksual), sehingga ‘’niat berjahat’’ tak hinggap dalam pikiran dan diwujudkan dalam tindakan mereka.
Hal ini justru lebih penting dan serius dilakukan. Sebab UU itu sendiri tentang perlindungan anak, dan bukan fokus pada penindakan pelaku kejahatan seksual pada anak. Artinya, yang diperlukan adalah menemukan akar masalah dan membangun atmosfer di masyarakat agar kejahatan itu tidak muncul.
Perppu ini tanpa upaya nyata pencegahan secara komprehensif hanya akan menjadi tindakan reaktif, apalagi dianggap sebagai ‘’obat mujarab’’ untuk mengatasi kejahatan ini. Jika ini yang terjadi, keberadaan Perppu justru bisa ‘’mengebiri’’ upaya pencegahan yang jauh lebih fundamental dan sangat diperlukan.
K-Popers Tolak Kenaikan PPN 12 Persen
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Ratusan penggemar K-Pop atau yang akrab disebut K-Popers ikut turun dalam...