Jangan Korbankan Tolikara
SATUHARAPAN.COM – Pada 29 Juli 2015, pemuka agama di Tolikara membuat kesepakatan damai terkait “Tragedi Satu Syawal” yang menyebabkan puluhan kios dan mushala terbakar, seorang meninggal dunia, dan belasan lainya luka-luka. Kejadian itu adalah pertama di Papua terkait dengan kasus yang sejak awal dianggap sebagai konflik antarumat beragama.
Dalam kesepakatan yang ditanda-tangani oleh pemuka agama Tolikara, yaitu Ustad Ali Mukhtar, Ustad Ali Usman, Pdt. Nayus Wonda, Pdt. Marthen Jingga, dan Pdt. Imanuel B. Genongga menyatakan bahwa konflik yang terjadi di Tolikara bukan konflik agama tapi miskomunikasi.
Para pemuka agama sepakat penyelesaian kasus Tolikara diselesaikan secara adat dan bukan secara hukum. Mushala yang terbakar harus dibangun kembali. Mereka juga bersepakat ke depan untuk saling menghargai dan menghormati antarumat beragama yang ada di Tolikara, termasuk tetap menjadi kebebasan umat beragama.Kesepakatan itu juga turut disaksikan Ketua Nahdlatul Ulama Papua Dr. H. Tonny V.M Wanggai, Presiden Gereja Kristen Injili Indonesia (GIDI) Pdt. Dorman Wandikbo, dan Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Pdt. Lipiyus Biniluk.
Liarnya Informasi
Tragedi di Karubaga, Tolikara, telah menjadi isu liar di ruang publik. Isu menyebar menjadi sentimen yang memengaruhi emosi publik nasional. Pembangunan opini yang jauh dari fakta menjadi bom waktu hampir merugikan kebinekaan kita sebagai bangsa.
Kasus itu harus dilihat secara tepat, bukan hanya “fakta keras” pembakaran dan penembakan itu sendiri, tapi juga latarbelakang religio-antropologis lokal dan juga geopolitik Papua secara luas. Kasus harus dibaca secara kronologis dan menarik relevansi dengan indikator-indikator dekat.
Jika menganggap kasus ini hanya terpusat pada surat edaran Gereja Injili di Indonesia (GIDI) juga tidak tepat. Ada problem kultural yang telah terjadi sebelumnya yang harus diperbaiki ke depan terutama di daerah yang didominasi kelompok keagamaan tertentu. Surat edaran itu mendapatkan “stimulasi” dari peraturan daerah yang diskriminatif yang kini diminta untuk dicabut oleh kementerian dalam negeri. Bukan hanya di Papua, Aceh juga sama saja mengalami masalah dari perasaan “serba mayoritas” (majority complex). Di samping itu, sikap itu mendapatkan insulin pengetahuan dari pemberlakuan SKB dua menteri yang terkait rumah ibadah.
Konteks Lokal
Kabupaten Tolikara termasuk wilayah pegunungan Papua tengah yang sarat konflik kekerasan bernuansa separatisme. Tolikara merupakan pemekaran dari Kabupaten Jayawijaya, berbatasan dengan Puncak Jaya, Waropen, dan Sarmi. Masih ada sentimen “orang gunung” dan “orang pesisir” dalam pengelolaan politik lokal di sana. Sebagai galibnya fenomena kabupaten gunung, akses pendidikan, transportasi, dan informasi ke daerah ini masih buruk.
Kejadian sebenarnya adalah umat GIDI Tolikara terganggu oleh pelaksanaan Shalat Id karena bersamaan dengan pelaksanaan seminar nasional dan Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR). Penggunaan pengeras suara hanya “bensin kasus”. Akibatnya muncul ketegangan karena komunikasi yang buruk. Beberapa saat kemudian, terjadi tembakan yang menewaskan seorang jemaat GIDI , Endi Wanimbo, dan melukai belasan lainnya sehingga terjadinya kekacauan.
Dalam diskusi kelompok terfokus (focus group discussion) Persekutuan Intelejensia Kristen Indonesia 4 Agustus lalu dibeberkan fakta bahwa arah tembakan berasal dari aparat keamanan. Kepanikan spontan itu melahirkan respons destruktif berupa pembakaran kios-kios yang berbangunan semi permanen sehingga merambat dan membakar mushala. Jadi mushala tidak termasuk yang direncanakan dibakar.
Kasus ini seperti menjadi anomali budaya toleransi yang memang mengakar di masyarakat Papua. Dalam filosofi Papua ada istilah “satu tungku tiga batu” yang menunjukkan keterjalinan dan saling menopang antara adat, agama, dan pemerintahan di bumi Papua. Secara lebih dalam konsep itu bisa menjelaskan juga keharmonisan tiga agama besar (Kristen, Katolik, dan Islam) untuk bekerjasama di pelbagai bidang di Papua.
Pengalaman saya mengikuti konferensi nasional Jaringan Antariman Indonesia (JAII) di Sentani, pada 2014 memberi pengetahuan bahwa kerukunan dan toleransi bukan hanya dipercakapkan, tapi memang “darah dan daging” masyarakat Papua. Di Kota Sentani sendiri terdapat dua mesjid besar yang jaraknya berdekatan. Penggunaan pengeras suara sebelum dan sesudah shalat tidak pernah menjadi masalah. Di Kota Jayapura berdiri mesjid agung yang cukup megah dan mencolok keberadaannya, Mesjid Baiturrahim.
Di Papua, disamping lembaga kerukunan “plat merah” (Forum Kerukunan Umat Beragama/FKUB) juga terdapat Forum Konsultasi Para Pemimpin Agama (FKPPA) yang representasi kepesertaannya lebih luas, demokratis, dan lokal. Pertemuan para pemuka agama biasa digilir di rumah ibadah berbeda-beda. Meskipun rumah ibadah berfungsi sosial, keberadaannya sangat sakral dan dihormati. Dari obrolan saya dengan Pater Neles Tebay, kordinator Jaringan Damai Papua, tidak pernah ada kasus perusakan rumah ibadah di Papua.
Pertemuan para pemimpin agama biasa dimulai dengan salam dari lima agama yang eksis. Salah satu yang sangat berkesan ketika kami berdiskusi di sebuah gereja di Jayapura, sang pendeta tuan rumah meminta kalangan umat lslam saja memimpin doa di gerejanya. Tapi kelompok Islam menyerahkan kesempatan itu kepada peserta beragama Budha yang cuma satu-satunya. Sikap afektif seperti itu tidak akan muncul serta-merta tanpa kesadaran mendalam tentang nilai toleransi.
Isu-isu Jauh
Jika kini kasus itu melahirkan kesimpulan induktif-ahistoris di ruang publik terutama di media sosial, maka patut dibaca motif-motifnya, terutama yang sangat politis dan memanaskan situasi. Kasus menganggu Shalat Id adalah pelanggaran besar atas kebebasan beragama. Namun, mendistorsi kasus ini seolah-olah konflik umat Kristiani dan umat Islam yang saling berhadap-hadapan adalah kesimpulan sesat.
Kasus ini telah melahirkan keprihatinan, baik di kalangan umat Islam dan Nasrani. PGI mengeluarkan kecaman atas tindakan pembubaran Shalat Id itu. Pihak Polri sudah menyatakan menghukum aktor-aktor yang terlibat kerusuhan. Ditunggu konsistensi sikap Polri untuk juga menghukum aparatnya jika terlibat pelanggaran prosedur tetap di lapangan.
Terkait dengan upaya penegakan hukum atas kasus ini harus dilihat secara jernih. Pemberikan sanksi dan hukuman kepada aparat keamanan yang bertindak melampaui kewenangan penanganan kasus sipil harus dilakukan untuk memberikan “terapi kejut” agar tidak menjadi kebiasan. Namun rencana menghukum pimpinan agama dalam kasus ini bisa menjadi blunder. Kronologi dan jalinan kasus bisa melihat siapa yang seharusnya dihukum, dan selebihnya harus dicari penyelesaian yang paling baik untuk menemukan momentum perdamaian.
Harus dipahami, bahwa masyarakat Tolikara yang berada di pedalaman tengah Papua ini sebagian besar adalah Suku Dani. Dalam tradisi Suku Dani jika ada anak manusia yang mati secara tidak alamiah, seperti ditembak dan dibunuh, maka pihak musuh juga harus setimpal mati, baru terjadi perdamaian. Jika mekanisme “perang Suku Dani” diberlakukan, maka akan ada lingkaran api yang parah dan bisa dimanfaatkan pihak-pihak luar.
Jalan paling bijak, biarkan masyarakat Papua menyelesaikan noda konflik ini secara baik. Jangan tambah dengan bumbu penyedap ala teknokratis menteri-menteri Jokowi yang cenderung cari muka dan bisa mengganggu harmoni sosial masyarakat Tolikara dan Papua secara luas. Jangan korbankan Tolikara untuk ambil keuntungan politik elite-elite Jakarta!
Penulis adalah antropolog Aceh. Fasilitator pada Konferensi Nasional VI Jaringan Antariman Indonesia (JAII) 2014 di Sentani, Papua.
Prasasti Batu Tertua Bertuliskan Sepuluh Perintah Tuhan Terj...
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Prasasti batu tertua yang diketahui yang bertuliskan Sepuluh Perintah Tuha...