Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah
Pengepungan asrama mahasiswa di Yogya tak bisa dianggap sepele.
SATUHARAPAN.COM – Dalam bukunya Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro, Peter Carey mencatat istilah yang digunakan Sukarno dalam pidato 17 Agustus terakhirnya (1966), ”Jas Merah” (jangan sekali-kali meninggalkan sejarah). Sejarawan Inggris, yang melakukan penelitian selama 30 tahun ini, menggambarkan kehidupan Pangeran Diponegoro sejak kecil dalam asuhan nenek buyutnya di Tegalrejo sampai masa pengasingan dan meninggalnya di Makasar.
Membaca sejarah adalah mempelajari asal dan sebab yang terjadi pada diri kita. Dalam bukunya, Peter Carey menggarisbawahi posisi Tionghoa yang diatur sedemikian rupa oleh penjajah sebagai bandar cukai. ”Orang Tionghoa sendiri pada dasarnya bukanlah penindas. Sebelum pemerintah Belanda pasca 1816 menaikkan tuntutan fiskalnya ke tingkat yang tidak bisa ditoleransi lagi, beberapa orang Tionghoa seperti Lib Sing, penyewa tanah kerajaan di Wirosobo, Jawa Timur, dilaporkan sebagai majikan yang lembut dan murah hati… Apa yang berubah dalam periode pasca 1816 bukanlah karakter orang Tionghoa, tetapi karakter rezim fiskal yang mereka layani. Dan untuk soal ini pemerintah kolonial Belanda pasca 1816 harus bertanggung jawab penuh” (hlm. 234-236).
Carey juga mencatat serbuan Keraton Yogya oleh Inggris pada 19-20 Juni 1812: ”Tentara Inggris dan Sepoy, juga orang-orang Notokusumo menyebar mengepung keraton, beberapa dari mereka membawa tangga-tangga bambu yang disiapkan oleh Kapitan Cina, Tan Jing Sing, tokoh masyarakat Tionghoa di Yogya yang mendukung serbuan Inggris, dan inilah yang kelak menimbulkan sentimen anti Tionghoa yang kuat di Yogya” (hlm. 167).
Hal inilah yang menjawab beberapa pertanyaan dalam diri saya ketika seorang teman mengatakan begitu berbedanya suasana kesukuan Tionghoa di Jawa dan daerah asalnya, yaitu Manado. Peninggalan masa lalu yang berupa sejarah adalah hal yang membentuk situasi saat ini.
Carey sendiri mengatakan bahwa dia sempat terpukul ketika membaca buku karangan James Dunn berjudul Timor: A People Betrayed. Dia merasa apa yang terjadi di Timor tidak jauh berbeda dengan yang dialami masyarakat Jawa di awal abad ke-19 di bawah kepemimpinan Daendels, Raffles, dan Pemerintah Belanda pasca 1816.
Membaca sejarah membuat kita bercermin akan masa lalu, supaya belajar menghadapi masa depan. Munculnya Sang Ratu Adil adalah karena ketidakadilan yang terjadi. Tidak dapat dipungkiri saat ini kita sedang menghadapi kesenjangan rasa adil yang dirasakan saudara kita di Papua, pengepungan asrama mahasiswa Papua yang terjadi di Yogya beberapa waktu lalu tidak bisa dianggap sepele.
Dapatkah kita bercermin dari sejarah? Bukankah pepatah mengatakan bahwa keledai bodoh tidak akan jatuh pada lubang yang sama untuk kedua kalinya? Untuk itu tepatlah yang dikatakan Sang Proklamator, ”Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah!”
Email: inspirasi@satuharapan.com
Editor : Yoel M Indrasmoro
Daftar Pemenang The Best FIFA 2024
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Malam penganugerahan The Best FIFA Football Awards 2024 telah rampung dig...