Jaringan Gusdurian: Praktik Intoleransi dalam Masyarakat Menguat
JAKARTA , SATUHARAPAN.COM – Sebagai negara yang memiliki keberagaman suku, etnis, dan agama, toleransi menjadi salah satu isu utama yang sedianya diperhatikan oleh masyarakat dan pemerintah. Apalagi banyak pihak sudah menyoroti munculnya kelompok-kelompok intoleran berbasis etnis atau agama, yang berani bertindak diskriminatif dan bahkan melakukan kekerasan.
Dalam seminar bertajuk 'Toleransi dan Hak Asasi Manusia' yang berlangsung pada Senin (17/12) di kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Jakarta, Ketua Jaringan Gusdurian Alyssa Wahid mengatakan, saat ini penegakan HAM di Indonesia menghadapi tantangan masyarakat versus masyarakat, bukan negara versus masyarakat seperti yang terjadi di beberapa negara di Asia.
Namun, pada saat yang sama, lanjut Alyssa, terjadi persaingan antarkelompok dalam masyarakat untuk mempengaruhi kebijakan publik, yang kemudian menimbulkan diskriminasi, tidak peka terhadap kebutuhan kelompok-kelompok minoritas, atau bahkan melawan hak-hak konstitusional warga negara.
"Karena kita masih punya proses transformasi yang belum selesai dari socio centric society, di mana identitas kelompok itu sangat berpengaruh. Nggak ada orang menolak rumah ibadah orang lain atas dasar hak asasi warga negara. Orang selalu mengatasnamakan kelompoknya untuk menolak kelompok minoritas atau kelompok yang tidak diinginkan," kata Alyssa.
Jaringan Gusdurian Rajin Sebarluaskan Nilai-nilai Toleransi
Sekarang ini agama, demokrasi, dan hak asasi lanjutnya menjadi persoalan di seluruh dunia tetapi arahnya berbeda-beda.
Untuk menanamkan sekaligus menyebarluaskan nilai-nilai toleransi di kalangan akar rumput, menurut Alyssa, Jaringan Gusdurian terjun ke masyarakat dengan beragam program. Saat ini Jaringan Gusdurian aktif di 110 kota.
Dia mencontohkan Jaringan Gusdurian di Pasuruan yang memutar film-film toleransi di desa-desa. Di Malang, Jaringan Gusdurian turun ke desa-desa untuk mempromosikan gerakan toleransi. Dia berharap gerakan akar rumput ini mampu menghambat dan memberangus paham-paham eksklusif yang kini berkembang di Indonesia.
Asia Democracy Network Identifikasi Beragam Tindakan Intoleran
Sekretaris Jenderal Asia Democracy Network Ichal Supriadi mengatakan, dalam konteks regional, intoleransi terjadi di banyak negara di Asia, seperti diskriminasi terhadap kelompok minoritas dan kaum LGBT. Dan tindakan intoleran itu dilakukan kelompok mayoritas dari berbagai etnis atau agama di sebuah wilayah.
Ichal menambahkan tindakan intoleransi itu biasanya dalam bentuk larangan atau tekanan terhadap bentuk-bentuk yang material, seperti makanan, cara berpakaian. Juga larangan dalam bentuk kebiasaan, agama, atau budaya, yang berlanjut hingga menjadi diskriminasi dan intoleransi. Di tahap yang lebih parah adalah tindakan kekerasan seperti: menggusur, mengusir, menyerang dan menyiksa.
"Jadi tidak bisa kita bilang di sini kelompok radikal Muslim yang menekan. Atau di Papua sana, kelompok radikal non-Muslim. Faktanya di Thailand, ternyata korbannya adalah orang Muslim atau di Myanmar, korbannya Rohingya Muslim,” kata Ichal.
Ichal mengatakan, ada banyak yang faktor yang menyebabkan terjadi diskriminasi dan intoleransi, mulai dari faktor sejarah, politik, ekonomi, dan sebagainya.
Survei Komnas HAM dan Kompas: Pemda Pelaku Diskriminasi Etnis dan Ras Terburuk
Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara mengatakan, toleransi bersama, penyelesaian konflik agraria, penyelesaian pelanggaran HAM berat, dan penguatan kelembagaan merupakan empat isu prioritas bagi Komnas HAM.
Ulung mengatakan, berdasarkan hasil survei bersama antara Komnas HAM dan Kompas pada 25 September-3 Oktober 2018 atas 1.207 responden di 34 provinsi tentang penilaian masyarakat terhadap upaya penghapusan diskriminasi ras dan etnis, diketahui bahwa perbedaan ras dan etnis adalah hal yang memudahkan dan menguntungkan dalam konteks negatif, yakni melakukan segregasi sosial menjadi lebih mudah.
Berdasarkan data Komnas HAM, selama 2015 terdapat 24 pengaduan tentang pelarangan kegiatan ibadah atau keagamaan. Setahun kemudian jumlahnya turun. Namun jumlah pengaduan, menurut Ulung Hapsara, tidak menggambarkan keadaan sebenarnya banyak korban tidak mengadu ke Komnas HAM atau lebih percaya kepada lembaga lain.
Pada 2015 terdapat 37 pengaduan mengenai pelarangan ibadah dan perusakan tempat ibadah. Setahun kemudian, ada 44 kasus. Jumlah institusi paling banyak diadukan adalah pemerintah daerah (52 aduan), organisasi (13), kelompok masyarakat (12).
Ulung mengatakan, ada tiga faktor kenapa pemerintah daerah menjadi pelaku diskriminasi etnis dan ras terbesar.
"Pertama, lemahnya pengetahuan dan kesadaran aparatur pemerintah daerah terhadap norma HAM dan konstitusi. Sekarang ini, ketika ngomong pilkada, hampir tidak ada yang berani berkampanye soal jaminan atas kebebasan beribadah dan berkeyakinan. Hampir tidak ada satu kandidat pun. Faktor kedua, pemerintah daerah mendapat tekanan dari kelompok masyarakat sehingga akhirnya bertindak diskriminatif terhadap kelompok minoritas atau kelompok yang tidak diinginkan. Faktor ketiga yakni masih banyak aturan di tingkat pusat yang tidak sejalan dengan norma HAM,” kata Ulung.
Ulung Hapsara mengatakan, dalam undang-undang pemerintahan daerah disebutkan agama merupakan urusan pemerintah pusat. tetapi banyak sekali produk hukum daerah berbasis agama.
Dia mengakui saat ini Indonesia tengah menghadapi "panen intoleransi', yang bibitnya sudah berkembang sejak lama. Keadaan ini diperparah dengan munculnya era digital atau media sosial. Padahal negara sedianya memastikan hak-hak kelompok minoritas dan menjamin inklusi politik serta sosial bagi mereka. Oleh karena itu Komnas HAM mendorong negara segera melakukan evaluasi terhadap segala kebijakan pemerintah pusat dan daerah yang diskriminatif, yang bertentangan dengan prinsip-prinsip HAM. Serta memperkuat peran pemerintah pusat dalam mengatur pemberlakuan aturan daerah yang tidak sesuai konstitusi dan norma HAM.
Menanggapi fenomena diskriminasi dan intoleransi di Indonesia, Ulung Hapsara mengatakan, Komnas HAM mendorong upaya peningkatan peran masyarakat dalam mempertegas kewajiban negara, untuk mencegah penyebaran intolerasi dan penanganan intoleransi sesuai Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.
Komnas HAM menyatakan, kebebasan beragama merupakan hak asasi manusia yang bersifat mutlak yang tidak boleh ditangguhkan pemenuhannya dalam situasi dan kondisi apa pun, termasuk dalam keadaan bahaya seperti perang. (Voaindonesia.com)
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...