Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara Darurat Air
BOGOR, SATUHARAPAN.COM – Saat ini ketersediaan air di Pulau Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara berada pada zona merah atau zona rawan. Pernyataan tersebut disampaikan oleh Ketua Umum Masyarakat Hidrologi Indonesia, Dr Ir Mohammad Hasan Dipl HE, pada acara Sustainable Water International Seminar, Kamis (24/1) di Auditorium Thoyib Hadiwijaya, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB), Kampus IPB Dramaga, Bogor, seperti dilansir situs ipb.ac.id.
Dr Hasan mengatakan, ketersediaan air per kapita di Pulau Jawa hanya 1200 m3/kapita/tahun atau jauh di bawah kebutuhan ketersediaan minimum air yaitu 1600 m3/kapita/tahun.
“Kondisi ini disebabkan karena aktivitas urbanisasi. Penduduk di Pulau Jawa itu padat, tapi air yang tersedia untuk penduduk sangat minim,” kata Dr Hasan.
Kondisi ketersediaan air yang sedikit tersebut menyebabkan kelangkaan air di beberapa wilayah di Pulau Jawa. Kelangkaan air biasanya dialami oleh masyarakat pada bulan Juli sampai November, yang merupakan bulan-bulan musim kemarau. Puncak kelangkaan air terjadi pada bulan September.
Tahun 2030, penduduk yang tinggal di perkotaan di Pulau Jawa akan meningkat menjadi 60 persen, sedangkan saat ini sudah mencapai 52 persen. Peningkatan penduduk itu, ia menggarisbawahi, perlu menjadi perhatian serius semua pihak, dalam kaitan untuk menjaga ketersediaan air bagi penduduk.
“Seminar pengelolaan air kali ini membahas tentang tata kelola air di masa mendatang. Pembahasan seperti ini penting sekali karena air merupakan komponen penting kehidupan kita,” kata Prof Dr Ir Iskandar Z Siregar MForSc, Direktur Program Internasional IPB ketika membuka acara seminar.
Menurutnya, isu air bersih dan sanitasi, merupakan isu penting yang harus segera diatasi. Isu tersebut menjadi salah satu poin dari tujuh belas poin dalam program pembangunan berkelanjutan di tingkat global.
Dalam upaya menjaga ketersediaan air, terdapat tantangan yang perlu menjadi perhatian bersama. Tantangan tersebut antara lain pembangunan infrastruktur, kegiatan urbanisasi, pencemaran air, perubahan iklim, alih fungsi lahan, dan kegiatan pertanian.
“Untuk mengatasi permasalahan air ini, semua pihak harus berkolaborasi. Karena air ini tidak hanya menyangkut satu aspek, tetapi banyak aspek. Sebagai perguruan tinggi, IPB siap membantu dalam mewujudkan tata kelola air yang berkelanjutan,” kata Prof Iskandar.
Beberapa strategi yang dapat dilakukan untuk mengatasi krisis air adalah pembangunan kota ramah air, optimalisasi sumber-sumber air, peningkatan pengelolaan sumber air. Sumber air yang dimaksud adalah semua sumber air yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat dalam memenuhi kebutuhan air sehari-hari seperti sungai, mata air, embung/waduk, dan danau.
Terkait pembangunan kota ramah air, terdapat beberapa upaya yang dapat dilakukan seperti pembuatan permukaan tanah yang permeable sehingga air mudah masuk ke tanah, mengalokasikan sebagian lahan sebagai rain garden, menjaga kebersihan dan kualitas air sungai, dan pembangunan wahana bermain air.
Adapun kegiatan optimalisasi sumber-sumber air adalah memanfaatkan secara optimal sumber-sumber air tersebut. Sumber air tersebut juga perlu dikelola dengan baik supaya tidak terjadi pencemaran, dan dapat mencukupi kebutuhan masyarakat.
Prasasti Batu Tertua Bertuliskan Sepuluh Perintah Tuhan Terj...
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Prasasti batu tertua yang diketahui yang bertuliskan Sepuluh Perintah Tuha...