Jepang dan Korsel Bahas Penanganan Perempuan Penghibur PD II
SEOUL, SATUHARAPAN.COM - Para pemimpin Korea Selatan dan Jepang memulai kembali perundingan resmi guna mempercepat upaya untuk mengatasi masalah puluhan tahun yang diderita perempuan lanjut usia Korea Selatan yang dipaksa menjadi wanita penghibur bagi prajurit Jepang selama Perang Dunia (PD) II.
Pada hari Senin (2/11), Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe dan Presiden Korea Selatan Park Geun Hye seperti diberitakan CP24, mereka sepakat melakukan upaya untuk menyelesaikan masalah melalui dialog.
“Presiden Park mencatat isu 'wanita penghibur' menjadi kendala terbesar terhadap upaya untuk meningkatkan hubungan bilateral. Dia menekankan bahwa masalah ini harus cepat diselesaikan dengan cara yang orang-orang kami bisa menerima,” kata penasihat senior Park untuk urusan luar negeri dan keamanan Nasional, Kim Kyou Hyun.
Perjanjian tersebut dianggap sebagai langkah maju tetapi tidak terobosan. Hubungan antara kedua negara telah merosot ke salah satu surut terendah sejak akhir 2012 peresmian Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe, yang mengambil, sikap nasionalis yang lebih keras dari banyak pendahulunya. Korsel percaya Abe berupaya mengaburkan pemerintahan kolonial brutal Jepang dari Semenanjung Korea 1910-1945.
Sumber terbesar dari gesekan kedua negara adalah adanya alih Jepang tidak mau mengakui adanya budak seks masa perang, yang disebut wanita penghibur.
Sejarawan mengatakan puluhan ribu perempuan dari seluruh Asia, kebanyakan asal Korsel, dikirim untuk memberikan seks untuk tentara Jepang.
Jepang telah meminta maaf berkali-kali sebelumnya, tapi banyak warga Korea Selatan melihat laporan dan upaya masa lalu di kompensasi swasta sebagai tidak cukup.
Abe berharap untuk merevisi 1993 maaf tetapi kemudian berjanji untuk tidak melakukannya menyusul protes dari Korea Selatan dan di tempat lain.
Abe mengatakan kepada wartawan bahwa ia dan Park sepakat untuk mempercepat pembicaraan tentang masalah ini.
Abe mengatakan kepada Park bahwa ia ingin bekerja dengan Park untuk memetakan masa depan yang baru antara negara-negara.
Dalam kaitannya dengan perempuan penghibur dan aspek sejarah di PD II, beberapa waktu lalu Pemerintah Jepang memberi peringatan kemungkinan akan menarik pendanaan untuk Organisasi Kebudayaan dan Sains Perserikatan Bangsa-bangsa (UNESCO) karena Jepang memprotes keputusan UNESCO yang memasukkan dokumen yang terkait dengan tragedi pembantaian di Nanjing (kini disebut Beijing) dalam catatan organisasi tersebut ke dalam catatan sejarah warisan dunia.
“Saya pikir ini merupakan masalah,” kata Kepala Sekretaris Kabinet Yoshihide Suga kepada wartawan, hari Selasa (13/10).
Kementerian Luar Negeri Tokyo mengatakan pihaknya memberi sekitar 31 juta dolar Amerika (sekitar Rp 422 miliar) kepada UNESCO pada 2014, atau 10,8 persen dari anggaran Jepang untuk PBB. (cp24.com/ AFP).
Editor : Eben E. Siadari
Jerman Berduka, Lima Tewas dan 200 Terluka dalam Serangan di...
MAGDEBURG-JERMAN, SATUHARAPAN.COM-Warga Jerman pada hari Sabtu (21/12) berduka atas para korban sera...