DUNIA
Penulis: Reporter Satuharapan
08:23 WIB | Kamis, 21 Juli 2016
Jerman: Pembersihan Pascakudeta di Turki Salahi Aturan Hukum
BERLIN, SATUHARAPAN.COM - Jerman mengecam lonjakan aksi penindakan yang dilakukan Turki setelah kudeta gagal, mengatakan bahwa respons keras itu “menyalahi aturan hukum”.
“Hampir setiap hari kami melihat langkah baru yang menyalahi aturan hukum dan mengabaikan prinsip proporsionalitas,” ungkap juru bicara pemerintah Steffen Seibert kepada wartawan, hari Rabu (20/7). “Sudah pasti mereka sangat takut,” tambahnya.
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan pada hari Rabu (20/7) memimpin pertemuan keamanan untuk pertama kalinya sejak kudeta gagal, setelah aksi pembersihan besar-besaran yang berakhir dengan penahanan serta pemecatan sekitar 50.000 orang dengan 99 perwira militer didakwa makar.
Ankara mengatakan bahwa kudeta tersebut didalangi oleh ulama yang tinggal di Amerika Serikat, Fethullah Gulen, dan aksi penindakan massal itu tampaknya menargetkan orang-orang yang diduga memiliki hubungan dengan bekas sekutu Erdogan tersebut.
Aksi pembersihan menimbulkan kekhawatiran bahwa Erdogan memanfaatkan peristiwa kudeta gagal itu untuk menumpas lawan-lawannya.
Di lain pihak, sekutu Barat Turki juga mendesak pihak berwenang di negara anggota NATO itu untuk menaati aturan hukum.
Umumkan Kondisi Darurat
Dalam pertemuan keamanan di istana kepresidenan di Ankara tersebut, Erdogan mengumumkan keadaan darurat selama tiga bulan mulai 16 Juli. Erdogan berjanji bahwa "semua virus dalam angkatan bersenjata akan dibersihkan".
Deklarasi tersebut dapat digunakan untuk memperpanjang penahanan hampir 10.000 orang yang sudah ditangkap. Lebih dari 600 sekolah telah ditutup dan ribuan PNS dipecat dalam aksi pembersihan oleh presiden.
"Langkah ini sama sekali tidak bertentangan dengan demokrasi, hukum dan kebebasan," kata Erdogan setelah mengumumkan keadaan darurat.
Dia memuji mereka yang tewas berjuang melawan kudeta sebagai "martir". Sekitar 246 orang tewas menentang kudeta, menurut pemerintah.
Dewan pendidikan tinggi Turki melarang para akademisi melakukan perjalanan kerja ke luar negeri dan mendesak mereka yang berada di luar negeri untuk kembali dan memaksa dekan fakultas untuk mengundurkan diri.
Pemerintah juga telah mencabut izin pers 34 wartawan dan mencabut semua izin TV dan stasiun radio yang dianggap memiliki hubungan dengan Fethullah Gulen.
Amnesty International menggambarkan tindakan Turki sebagai "tindakan keras dengan ukuran yang luar biasa". (AFP)
BERITA TERKAIT
KABAR TERBARU
Mencegah Kebotakan di Usia 30an
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Rambut rontok, terutama di usia muda, bisa menjadi hal yang membuat frust...