Joe Biden, Microsoft hingga Google Bahas Keamanan AI
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Presiden Amerika Serikat (AS), Joe Biden bertemu dengan Chief Executive Officer (CEO) perusahaan kecerdasan buatan terkemuka termasuk Microsoft MSFT.O dan Google GOOGL.O Alphabet pada Kamis (4/5), menjelaskan produk mereka harus dipastikan aman sebelum digunakan.
Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan generatif telah menjadi perbincangan hangat tahun ini, dengan aplikasi seperti ChatGPT yang menarik perhatian publik.
Hal itu kemudian memicu desakan di antara perusahaan untuk meluncurkan produk serupa yang mereka yakini akan mengubah sifat pekerjaan manusia.
Jutaan pengguna telah mulai menguji alat semacam itu, yang menurut para pendukungnya dapat membuat diagnosis medis, menulis skenario, membuat rangkuman hukum, men-debug perangkat lunak, dan masih banyak lagi.
Di lain sisi, kemampuan AI yang melampaui kemampuan manusia itu menyebabkan meningkatnya kekhawatiran tentang bagaimana teknologi tersebut dapat menyebabkan pelanggaran privasi, keputusan ketenagakerjaan yang menyimpang, penipuan serta informasi yang salah.
Biden, yang telah menggunakan ChatGPT dan bereksperimen dengannya, mengatakan kepada para pejabat AI itu bahwa mereka harus memitigasi risiko AI saat ini terhadap individu, masyarakat, dan keamanan nasional, seperti dikutip Reuters, Jumat (5/5).
Pertemuan tersebut mencakup "diskusi yang jujur ââdan konstruktif" tentang perlunya perusahaan lebih transparan dengan pembuat kebijakan tentang sistem AI mereka, pentingnya mengevaluasi keamanan produk tersebut, dan kebutuhan untuk melindungi mereka dari serangan jahat.
Pertemuan selama dua jam itu melibatkan Sundar Pichai dari Google, Satya Nadella dari Microsoft Corp, Sam Altman dari OpenAI dan Dario Amodei dari Anthropic, bersama dengan Wakil Presiden AS Kamala Harris dan pejabat administrasi termasuk Kepala Staf Biden Jeff Zients, Penasihat Keamanan Nasional AS, Jake Sullivan, Direktur Dewan Ekonomi Nasional AS, Lael Brainard dan Sekretaris Perdagangan AS, Gina Raimondo.
Harris mengatakan bahwa teknologi AI memiliki potensi meningkatkan kehidupan, namun dapat menimbulkan masalah keamanan, privasi, dan hak-hak sipil. Dia mengatakan kepada para bos teknologi itu bahwa mereka memiliki tanggung jawab hukum untuk memastikan keamanan produk kecerdasan buatan mereka dan bahwa pemerintah terbuka untuk memajukan peraturan dan undang-undang baru tentang AI.
Administrasi AS juga mengumumkan investasi 140 juta dolar AS (Rp2 triliun) dari National Science Foundation untuk meluncurkan tujuh lembaga penelitian AI baru dan mengatakan bahwa Kantor Manajemen dan Anggaran Gedung Putih akan merilis panduan kebijakan tentang penggunaan AI oleh pemerintah federal.
Pengembang AI terkemuka, termasuk Anthropic, Google, Hugging Face, NVIDIA Corp NVDA.O, OpenAI, dan Stability AI, akan berpartisipasi dalam evaluasi publik terhadap sistem kecerdasan buatan mereka.
Pada bulan Februari, Biden menandatangani perintah eksekutif yang mengarahkan agen federal untuk menghilangkan bias dalam penggunaan AI mereka. Pemerintahan Biden juga telah merilis “AI Bill of Rights” dan kerangka kerja manajemen risiko.
Pekan lalu, Komisi Perdagangan Federal dan Divisi Hak Sipil Departemen Kehakiman AS juga mengatakan mereka akan menggunakan otoritas hukum untuk memerangi bahaya terkait AI.
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...