Jogja, Kota Budaya yang Mulai Bergeser Jadi Industri Pariwisata
YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM -- Yogyakarta atau Jogja telah dikenal sebagai Kota Budaya, sekaligus Kota Pendidikan. Trademark ini melekat kuat sehingga mampu menjadi magnet bagi banyak orang untuk menyalurkan gairah berkebudayaan maupun niat untuk menimba ilmu pengetahuan melalui pendidikan di Yogyakarta.
Seiring dengan perjalanan waktu, trademark yang melekat tersebut, kini pelan tapi pasti, mulai mengalami pergeseran. Salah satu faktor yang memicu kelunturan trademark tersebut adalah pembangunan yang kurang terskema dengan baik dan bijak. Nilai-nilai kebudayaan dan faktor pendukung pendidikan serasa diabaikan demi alasan pembangunan.
“Pembangunan yang mengepung Jogja terjadi sangat masif. Hal ini membuat Jogja kehilangan citra dan auranya. Inilah yang kemudian membuat pergeseran di Jogja, dari Kota Budaya dan Pendidikan seakan-akan menjadi kota industri pariwisata,” demikian disampaikan oleh Tia Pamungkas, Dosen Sosiologi dari Universitas Gajah Mada (UGM) pada Jum’at (11/12).
Wanita yang dikenal pula sebagai sosiolog ini hadir sebagai pembicara dalam diskusi bertajuk ”Menolak Lupa Janji Perdamaian”. Selain Tia Pamungkas, diskusi yang diselenggarakan oleh Keluarga Mahasiswa Sosiologi (KMS) di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjosoemantri (PKKH) ini juga menghadirkan Prof. Dr. Faruk SU., Guru Besar Fakultas Imu Budaya (FIB), UGM.
Menurut Tia Pamungkas, sebenarnya banyak keunggulan yang dimiliki oleh Yogyakarta untuk bisa dikembangkan tanpa harus menolak pembangunan. Namun, anggapan sebagian orang, secara tidak sadar, selalu menjadikan negara maju sebagai pembanding dengan Yogyakarta. Alhasil, pembangunan yang diterapkan di Yogyakarta sebenarnya tidak sesuai dengan esensi Kota Budaya dan Pendidikan.
“Kita sering membandingkan Jogja dengan negara-negara mapan, tapi kita sering lupa tentang apa yang sebenarnya masih kita punya,” kata Tia Pamungkas.
Di sisi lain, Prof. Faruk lebih menilai tentang distorsi dari istilah “Yogyakarta Berhati Nyaman” dengan kenyataan masifnya pembangunan yang membuat keadaan menjadi tidak nyaman. Menurut Prof Faruk, sisi nyaman sebenarnya terletak pada hati, bukan fisik.
“Jogja berhati nyaman, kok ada pembangunan fisik besar-besaran? Nah ini ada masalah,” ungkap Prof. Faruk.
Prof. Faruk melanjutkan bahwa sebenarnya orang Jawa atau orang Jogja pada umumnya tidak mempermasalahkan adanya pembangunan. Namun, satu catatan yang harus ditaati adalah pembangunan tersebut tetap harus mengedepankan kenyamanan yang letaknya ada di hati.
“Nyaman itu persoalan nilai, bukan fisik. Oleh karena itu, pertanyaannya apakah ada institusi-institusi yang memelihara hati tersebut supaya tetap nyaman?,” kata Prof. Faruk.
Diskusi ”Menolak Lupa Janji Perdamaian” merupakan salah satu dari rangkaian acara Karya Tanpa Batas (KTB) jilid 3. Selain diskusi, acara ini juga menampilkan beberapa karya mahasiswa, seperti dari mahasiswa Institut Seni Indonesia (ISI) berupa lukisan maupun sketsa, berisi keresahan tentang Yogyakarta.
Editor : Eben E. Siadari
Dampak Childfree Pada Wanita
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Praktisi Kesehatan Masyarakat dr. Ngabila Salama membeberkan sejumlah dam...