Jogjatopia: Mencari Rupa Yogyakarta di Ruang Publik
YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Memanfaatkan ruas Jalan FM Noto yang berada di depan Museum Sandi, Assisten Keistimewaan Pemda DI Yogyakarta Didik Purwadi mewakili Wakil Gubernur DI Yogyakarta KGPAA Paku Alam X didampingi Wakil Kepala Dinas Kebudayaan DIY Singgaih Raharjo secara resmi membuka Jogja Street Sculpture Project (JSSP) 2017 Selasa (10/10) sore.
Pameran bertajuk "Jogjatopia" akan berlangsung di ruang publik kawasan heritage Kotabaru Yogyakarta selama 10 Oktober 2017-10 Januari 2018 dengan beberapa program paralel diantaranya artist tour, pameran maket, workshop, seminar, lomba, selama pameran berlangsung. JSSP
"Kegiatan ini mempunyai nilai penting dalam upaya untuk meningatkan promosi dan sosialisasi tentang potensi seni patung, foto karya patung, dan karya tulis kepada masyarakat luas." kata KGPAA Paku Alam X dalam sambutannya.
Lebih lanjut Paku Alam X dalam sambutan yang dibacakan Asisten Keistimewaan Pemda DIY menjelaskan bahwa melalui pameran JSSP 2017 akan dapat mendukung dan memperkuat posisi Yogyakarta sebagai pusat seni budaya, kota pendidikan, serta kota pariwisata. Upaya tersebut sekaligus untuk mendorong kreativitas seniman patung untuk berkreasi dan juga menjadi media edukasi bagi masyarakat.
Sebanyak 50 karya dari 50 anggota Asosiasi Pematung Indonesia (API) dan empat pematung dari manca negara dipasang selama lebih kurang 3 bulan di kawasan heritage Kotabaru Yogyakarta.
Seni di Ruang Publik
Seni di raung publik (public art) bisa berupa mural, taman, karya monumental (instalasi tiga dimensi), yang bersifat temporer atau permanen. Mengacu pada sejarah seni rupa Barat, public art dikenal sejak 1960-an, khususnya di Amerika.
Public art memiliki watak partisipatif dan (produknya) interaktif (bisa disentuh, bahkan ada yang harus disentuh, menjadi bagian integral dari ruang publik). Tidak jarang masyarakat sekitar dilibatkan dalam proses, diajak bicara, diajak terlibat atau mengerjakan, minimal dijadikan dasar pertimbangan mengapa sebuah karya dianggap penting berada di suatu tempat tertentu.
Realitas serta kritik sosial-ligkungan menjadi materi karya patung yang dipamerkan pada JSSP 2017 selain karya estetis sebagai penghias ruang publik. Sebuah patung berjudul "Bibit Tumbuhan Metropolis" yang berada di ujung Jalan FM Noto dengan figur perempuan berkebaya batik dengan display pada ujung pembatas jalan yang ditumbuhi pohon Tanjung (Mimusops elengi) yang seolah sedang keluar dari rerimbunan pepohonan menjadi bibit tetumbuhan cukup menarik perhatian.
Display patung di ruang publik dapat mengundang ketertarikan pelintas, berhenti, ataupun berswa-foto, sehingga penempatannya harus tetap memperhatikan keselamatan semua pengguna jalan.
Pada pertigaan ruas jalan FM Noto dan Jalan Ungaran, sebuah kuas dalam ukuran besar dengan beragam cat yang mewarnai aspal mampu membuat pengendara yang melewati untuk sejenak meliriknya. Beberapa bahkan menyempatkan untuk berhenti sejenak, meskipun perlu berhati-hati mengingat ruas jalan tersebut cukup padat. Patung kuas berjudul "Rainbow Culture" karya Triyono berdekatan dengan sebuah patung lingkaran seperempat bulatan berjudul "Perisai #2" karya Win Dwi Laksono.
Di seputaran Stadion Kridosono menjadi tempat dengan jumlah display patung yang cukup banyak. Enam belas patung dipasang di kiri-kanan Jalan Yos Sudarso. Di pelataran parkir timur Kridosono, tiga patung ukuran besar selalu mencuri perhatian pengendara yang melewati. Tank besar yang disusun dari bahan karung goni terparkir beberapa puluh meter dari sebuah hanging stone ukuran besar. Meskipun dipamerkan hanya satu buah patung, hanging stone tersebut bisa membawa ingatan yang melihat pada situs megalitikum di Wiltshire, Inggris: Stonehenge.
Di sisi utara Kridosono terdapat empat patung karya Sugeng Pribadi, Wahyu Santosa, Nugroho Hohok, dan Harry Susanto. Nugroho Hohok membuat patung berbentuk cat semprot ukuran besar yang sedang membuat mural di dinding Stadion Kridosono.
Harry Susanto dengan patung berjudul "No Many No Live Match" yang mungkin memlesetkan kalimat no money no live match, ketiadaan uang yang cukup untuk menebus tiket pertunjukan secara langsung memunculkan kreativitas tukang becak untuk menjungkirkan becaknya. Pelindung roda belakang menjadi tempat pijakan kakinya. Realitas tukang becak menonton dengan cara demikian banyak terekam di masa lalu di berbagai tempat di Indonesia. Menikmati pertunjukan secara langsung secara gratis akibat ketiadaan uang kerap dilakukan oleh masyarakat bawah meskipun tidak jarang membahayakan dirinya.
Mencari Rupa Yogyakarta di Ruang Publik
Persis di pertigaan ruas jalan Suroto dan Jalan Yos Sudarso, patung dengan orang yang sedang mencari sesuatu dari dalam sebuah sumur menjadi salah satu karya yang cukup kuat dalam memberikan kritik sosial-lingkungan atas realitas yang terjadi di wilayah Yogyakarta. Pembangunan fisik dengan dalih mendukung upaya peningkatan ekonomi-pariwisata Yogyakarta, tidak jarang memunculkan permasalahan sosial-lingkungan semisal kemacetan, perebutan lahan parkir, perebutan sumberdaya air bersih, hingga fenomena menyingkirnya masyarakat setempat dari wilayah perkotaan akibat ketidakmampuannya bersaing dengan kekuatan kapital. Alih-alih membangun wilayah yang humanis, pada gilirannya kota justru terancam ditinggalkan penduduknya yang meminggirkan dirinya di wilayah-wilayah yang lebih jauh dari pusat perdagangan-perekonomian.
Patung berjudul "Misteri Sumur/Sumur Misteri" karya Wahyu Santosa secara lugas memberikan pesan yang cukup jelas atas berbagai permasalahan pembangunan fisik di Yogyakarta. Beberapa waktu lalu sempat terjadi konflik perebutan sumber air bersih antara pengelola hotel dengan warga yang berada di belakang hotel. Sumur adalah sumber air bersih bagi kehidupan masyarakat. Fenomena Jogja rindu panggung, Jogja Berhenti Nyaman, Jogja Ora Didol, Jogja Asat, Jogja Darurat Agraria, sesungguhnya merupakan respon atas perebutan berbagai sumberdaya dimana masyarakat harus mencari jalannya sendiri melawan kekuatan kapital-finansial.
"Misteri Sumur/Sumur Misteri" seolah mengingatkan bahwa ditengah perebutan sumberdaya, masyarakat sedang mencari sumber kehidupan yang mungkin justru menjadi misteri saat ini ketika perputaran uang yang cepat di Yogyakarta tidak serta-merta membawa kesejahteraan bagi warganya. Kemana sumber-sumber kehidupan itu mengalir?
Di ruas jalan antara Stadion Kridosono dan Kantor Telkom, pematung Syahrizal Koto dan Ambar Pranasmara mengangkat realitas dunia pertelevisian dan gawai pintar dengan sosial medinya yang telah bayak menyita waktu masyarakat, menjungkirbalikkan dan bahkan bisa membahayakan. Sebuah patung dengan monitor LCD tertutup kain merah dipasang Syahrizal Koto pada sebuah tiang di jalur hijau pembatas jalan Yos Sudarso. Karya Patung berjudul "Demi Waktunya" seolah mengingatkan masyarakat bahwa acara televisi yang dipenuhi dengan konten infotainment-hiburan telah menyita waktu sebagian masyarakat. Ketika waktu telah menjadi "milik" industri pertelevisian dan menjadi salah satu konsumsi utama masyarakat, ada banyak hal yang kadang dikalahkan oleh pola konsumsi tersebut: demi waktunya.
Patung "Sosial Media Series" karya Ambar Pranasmara dengan tiga figur manusia berdiri membawa gawai pintar (smart gadget) dengan segala aplikasinya yang didisplay terbalik menggantung pada pohon di sepanjang ruang hijau pembatas Jalan Yos Sudarso. Karya patung tersebut mengingatkan bagaimana gawai pintar dengan satu sentuhan jari telah menghubungkan manusia dari jarak yang berjauhan dalam hitungan detik dan mudah. Selain memudahkan, fitur gawai pintar sekaligus kadang justru menjugkirbalikkan realita-fakta dari kehidupan nyata. Bisa bermanfaat namun juga bisa merugikan dan tidak jarang membahayakan. Seturut dengan patung yang berdekatan karya Syahrizal Koto, "Sosial Media Series" mengingatkan bahwa telah banyak menyita waktu masyarakat dewasa ini. Bermanfaatkah? Penggunanya yang bisa menjawabnya.
Hanya ada sedikit kenyerian melihat karya "Sosial Media Series" ketika dua figur patung lainnya dari proporsi tubuhnya menggambarkan anak-remaja. Gawai pintar dengan berbagai aplikasi media sosialnya telah memberikan pengaruh nyata pada orang dewasa, dan itupun sesungguhnya pun berlaku seturut pada anak-remaja. Tanpa dua figur anak-remaja pun, karya patung "Sosial Media Series" menjadi satu karya patung di ruang publik dengan kekuatan ide maupun pesan yang disampaikan.
Hingga 10 Januari 2018, karya-karya patung akan menghiasi berbagai ruang publik kawasan heritage Kotabaru Yogyakarta: sudut halaman selatan-barat area McD Sudirman, Jl Faridan M. Noto, seputar Jl Yos Sudarso (Stadion Kridosono), Jl Suroto atau kawasan Kota Baru sisi barat dan timur.
Ditengah kepadatan sampah visual materi iklan-promosi yang memenuhi ruang jalanan di berbagai wilayah di Yogyakarta, pameran patung Jogja Street Sculpture Project (JSSP) 2017 seolah sedang mematungkan diri dan berhenti sejenak dari berlari membangun wilayahnya tanpa harus meninggalkan manusianya.
"Misteri Sumur/Sumur Misteri", ketika sumur sebagai sumber air, sumber kehidupan kehilangan airnya, mungkin masih bisa mencari di tempat lain. Ketika rupa kota justru kehilangan pencari sumber kehidupannya, kemana akan dicari gantinya? Bagaimanapun pada kota yang humanis, manusia adalah rupa kota itu sendiri.
Prasasti Batu Tertua Bertuliskan Sepuluh Perintah Tuhan Terj...
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Prasasti batu tertua yang diketahui yang bertuliskan Sepuluh Perintah Tuha...