John Lie: Untuk Tuhan, Negaraku, dan Kebaikan Kemanusiaan
SATUHARAPAN.COM-“Untuk Tuhan, negaraku, dan kebaikan kemanusiaan.”
Itu diungkapkan John Lie tentang memotivasinya mengorganisasi aksi penyelundupan di Asia Tenggara menggunakan kapal yang dia sendiri kaptennya dan mendapat julukan “the Outlaw (atau Penjahat)”.
Kisah penyelundupannya bersama awak kapal lain yang heroik itu yang membuat dia kemudian mendapatkan gelar Pahlawan Nasional. Berikut catatan tentang kisah itu.
Dia membawa gula, teh, karet dari Indonesia untuk dijual di Thailand, Malaysia, Singapura, dan Filipina. Hasil penjualan dibelikan senjata, ban mobil dan perlengkapan radio, dan lainnya untuk mendukung perjuangan Indonesia yang masih muda. Itu dilakukan dalam kurun tahun 1947-1949.
Maka ketika dia diangkat sebagai pahlawan nasional, sosok terasa yang makin unik, justru di tengah seringnya etnis Tionghoa diperlakukan secara diskriminatif. Dia dan “aksi penyelundupannya” dimunculkan, membuatnya makin unik, karena makin jelas begitu dia mencintai Indonesia. Itu sebabnya, ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menetapkannya sebagai pahlawan nasional pada 9 November 2009, ada suasana yang mengharukan, karena sosok ini lama “nyaris dilupakan.”
Nama lengkapnya John Lie Tjeng Tjoan, dan pangkat terakhir di militer adalah Laksamana Muda. Dia lahir di Manado, Sulawesi Utara, 9 Maret 1911, dan meninggal pada 27 Agustus 1988 pada umur 77 tahun. John Lie menikah dengan pendeta Margaretha Dharma Angkuw, dan namanya kemudian dikenal sebagai Jahja Daniel Dharma.
Aksi penyelundupannya begitu lincah dan membuat patroli selalu Belanda gagal menangkap kapal John Lie. Belanda marah, karena radio Inggris, BBC, sering menyiarkan kisah keberhasilan John Lie dengan kapalnya sepanjang 110 kaki dan berukuran 60 ton. Kapal itu bahkan bermanuver di pulau-pulau kecil di Sumatera dan kadang-kadar diutupi dengan ranting untuk mengelabuhi pesawat patroli Belanda.
Misi Pribadinya
Kisah penyelundupannya yang dilakukan John Lie juga makin terlihat unik, apalagi kalau kita refleksikan dengan banyak kasus penyelundupan di Indonesia sekarang ini yang tujuan sangat kontras dengan motivasi John Lie, untuk kepentingan sendiri dan menghancurkan bangsa. Ini termasuk penyelundupan barang-barang dan komoditas yang merusak ekonomi Indonesia, apalagi penyelundupan narkotika dan senjata untuk kelompok teroris.
John Lie ketika diwawancarai wartawan majalah “Life” Roy Royan mengatakan dia menjalankan kapal itu “untuk Tuhan, negaraku dan kebaikan kemanusiaan.” Itu ditulis Rowan pada artikel berjudul: Guns-Bibles-Are Smugled to Indonesia” pada majalah itu, edisi 26 September 1949. Rowan menemui John Lie di pelabuhan Phuket, Thailand (atau disebut juga Siam ketika itu), ketika kapal tuanya (39 tahun buatan Inggris) dan beregristrasi PPB 58 LB, baru saja bersandar.
Dan digambarkan bahwa di kapal yang mampu melaju dengan kecepatan 17 knot dan digunakan untuk aksi penyelundupan itu, John Lie menyimpan dua Alkitab, berbahasa Inggris dan berbahasa Belanda. Menggambarkan bahwa apa yang dilakukannya, sekalipun dari pihak Belanda dilihat tindakan kriminal dan melawan hukum, dia lakukan itu atas dasar iman sebagai orang Kristen.
Dan itu sama sekali tidak bertentangan dengan imannya, seperti diungkapkan majalah itu. Bahkan John Lie menyebutkan itu adalah misi pribadinya. Dan dalam aksinya itu, nilai barang yang diselundupkan oleh John Lie dan 18 awak kapalnya mencapai tiga miliar dolar AS setiap bulan, pada akhir tahun 1947, menurut majalah itu dengan nilai tukar masa itu.
Indonesia Sebagai Taman Eden
John Lie memang mencintai laut sejak mudanya, dan itu yang membawanya meninggalkan Manado dan bekerja di Batavia. Dia kemudian bekerja pada kapal Belanda selama 15 tahun dalam pelayaran Durban – Sanghai. Pernah juga bekerja untuk kapal sekutu dalam Perang Dunia II, namun kemudian memilih kembali ke Indonesia pada tahun 1946, ke negerinya yang baru saja merdeka.
Apa yang membuat titik balik John Lie itu? Selama bekerja di kapal Belanda, dia melihat ada yang salah dari Belanda. Selama aksi penyelundupannya, John Lie sering berdoa agar Indonesia bertransformasi dari “hutan liar menjadi taman Eden.” tetapi kepada Rowan dia berkelakar bahwa “tidak ada orang Belanda di taman Eden itu.”
Dan ketika dia meninggalkan pekerjaan di kapal Belanda dan kemudian pergi ke Yerusalem (tanah suci), menurut pengakuannya, “Tuhan berkata agar saya pulang dan membantu Indonesia menjadi taman Eden.” Dan itu yang membuat John Lie mengorganisasi penyelundupan di Asia Tenggara untuk kepentingan Indonesia, yang masih muda dan sangat rentan, terutama menghadapi Belanda yang masih terus ingin menguasai Indonesia.
John Lie memang tidak sendirian melakukan aksinya itu, dia dibantu oleh Raden Oetoyo yang beroperasi di Singapura, Isak Mahdi di Bangkok, Mohamad Maksoes di Malaysia dan tentu polisi di Thailand.
John Lie dengan awak kapalnya serta kolaboratornya yang beroperasi di negara lain berlatar belakang etnis dan keyakinan yang beragam, namun dalam aksinya mereka berfokus pada kepentingan nasional Indonesia, bahkan dengan mengambil risiko besar. Dan tentu saja mereka tidak pernah bermimpi Indonesia merdeka akan bertindak diskriminatif dan sektarian bagi warganya.
John Lie mengatakan bahwa apa yang dilakukan memang mengerikan dan berbahaya, tetapi dia meyakini itu kehendak Tuhan. “Sampai orang-orang Belanda pulang, kapal ini akan terus berlayar,” katanya.
Belanda memang sudah (lama) pulang, dan kapal penyelundup “the Outlaw” tak harus berlayar melawan hukum untuk Indonesia yang sudah merdeka. Namun kita generasi sekarang masih berhutang pada John Lie, karena Indonesia memang bukan lagi “belantara liar”, tetapi tampaknya masih belum bertransformasi menjadi “taman Eden” seperti yang dia impikan.
Editor : Sabar Subekti
Kremlin: AS Izinkan Ukraina Gunakan Senjata Serang Rusia Mem...
MOSKOW, SATUHARAPAN.COM-Kremlin mengatakan pada hari Senin ( 18/11) bahwa pemerintahan Presiden Amer...