Jokowi Hadiri HPN 2016 di Lombok, Medsos Pertanyakan Keabsahannya
LOMBOK, SATUHARAPAN.COM - Presiden Joko Widodo (Jokowi) tiba di Kawasan Ekonomi Khusus Mandalika, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB), Selasa, untuk menghadiri puncak peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 2016. Pada saat yang sama, di media sosial ramai dipertanyakan keabsahan HPN yang jatuh pada 9 Februari.
Presiden Jokowi didampingi Ibu Negara Iriana Joko Widodo, Sekretaris Kabinet Pramono Anung serta Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi, Kapolri Jenderal Pol Badrodin Haiti.
Beberapa menteri Kabinet Kerja yang sudah hadir hingga pukul 09.30 Wita antara lain Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan.
Menteri Koordinator bidang Kemaritiman Rizal Ramli, Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara, dan Jaksa Agung M. Prasetyo.
Menurut laporan pandangan mata Antara, kedatangan Jokowi di NTB disambut Gubernur NTB Muhammad Zainul Majdi di Bandara Internasional Lombok.
Presiden datang menggunakan Pesawat Kepresidenan Indonesia 1.
Di lokasi HPN, Joko Widodo disambut belasan penari yang menampilkan Tari Pesona Lombok Sumbawa.
Penanggung Jawab Hari Pers Margiono mengatakan peserta HPN dari wartawan, Dewan Pers, organisasi wartawan dan para pemilik media.
Ia mengatakan sejumlah Dubes termasuk Dubes Korea Utara dan Korea Selatan juga hadir.
Menurut dia, sejumlah wartawan media-media di ASEAN juga hadir pada acara HPN.
Sebelumnya Mendagri Tjahjo Kumolo mengatakan peran pers sangat strategis karena melalui informasi yang disampaikan kepada masyarakat, kinerja pemerintah dapat diketahui publik.
Menurut dia, di negara demokrasi seperti Indonesia, pers merupakan mitra kritis dan objektif bagi pemerintah untuk menampung suara masyarakat.
Kontroversi HPN
Sementara itu, di medsos ramai diperbincangkan tentang keabsahan HPN yang jatuh pada 9 Februari. Penetapan tanggal itu sebagai HPN dianggap salah kaprah. Di antaranya karena penetapan HPN 9 Februari terjadi oleh Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun 1985 yang yang ditandatangani oleh Presiden Soeharto pada 23 Januari 1985. HPN ditetapkan pada tanggal itu karena Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) lahir pada 9 Februari 1946.
Penetapan itu dianggap tidak tepat, karena pers Indonesia telah lahir sejak era kolonial Belanda. Sebagai contoh, pada kurun 1774 hingga 1746 terbit koran "Bataviasche Nouvelles" di Jakarta. Sementara itu, organisasi wartawan pertama pun bukan PWI. Di tahun 1914, Mas Marco Kartodikromo telah lebih dahulu mendirikan Inlandsche Journalisten Bond (IJB). Juga ada organisasi wartawan lainnya seperti Sarekat Journalist Asia (1925), Perkumpulan Kaoem Journalist (1831), dan Persatoean Djoernalis Indonesia (1940).
"Dengan demikian sangat tidak tepat menyebutkan hari lahir organisasi wartawan dijadikan tonggak sejarah Hari Pers Nasional. Sejarah pers Indonesia tidak dimulai dari lahirnya PWI pada 1946," tulis seorang penggiat Kompasiana dengan nama akun Renggo Warsito.
Pemilik akun webe, yang mengaku bekerja pada Radar Cirebon TV, juga mempersoalkan hal senada. Menurut dia, insan pers Indonesia bukan hanya yang tergabung dalam PWI.
"Tepatkah, hari ini ini (9 Februari) mewakili seluruh insan pers di Indonesia? Bagaimana dengan sejumlah awak media dan aktivis media dalam perjalanan sejarahnya, berkumpul menyatukan tekad menandatangani sebuah deklarasi yang dikenal dengan 'Deklarasi Sirnagalih' di Wisma Tempo Sirnagalih? Bahkan, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) didirikan hingga saat ini berkembang, justru didominasi sejumlah aktivis media yang bukan dari media yang dibreidel?," tanya dia.
Ia pun mengutip pernyataan wartawan senior, Goenawan Mohamad pada tahun 2014 yang menyebut perayaan HPN 9 Februari sebagai salah kaprah.
"Di tahun 2014 ini, PWI merayakan hari lahirnya dan orang salah mengartikan bahwa itu "Hari Pers Nasional." Presiden SBY ikut dalam salah arti itu -- seperti presiden-presiden sebelumnya..." demikian Goenawan Mohamad.
Mantan Kepala Penelitian Pengembangan (Litbang) Kompas, Daniel Dhakidae, lebih tegas menyebut kesalahkaprahan itu. Menurut dia, pemerintah keliru menetapkan HPN jatuh pada 9 Februari.
Daniel mengatakan penetapan hari pers tidak merujuk kepada hari lahir sebuah organisasi wartawan. Seharusnya, penetapan hari pers nasional merujuk terhadap lahirnya pers nasional itu sendiri, yang ketika itu masih dalam bentuk surat kabar.
“Jadi pertimbangannya bukan melihat sebuah lahirnya organisasi yang dijadikan hari pers, kelahiran pers ya kelahiran pers, yaitu surat kabar bukan organisasi,” kata Daniel, sebagaimana dikutip oleh Okezone.
Daniel mengatakan kelahiran Medan Prijaji pada medio Januari 1907 paling mampu untuk diklaim sebagai kelahiran pers nasional. Menurut dia, hari pers ini seharusnya merujuk pada kemunculan surat kabar pertama yang terbit mingguan milik pribumi sendiri ketika itu.
Sementara itu menurut sejarahri.com, surat kabar pertama di Indonesia terbit pada tahun 1901. Penerbitnya adalah Datuk Sutan Marajo bersama adiknya yang bernama Baharudin Sutan Rajo nan Gadang. Mereka menerbitkan dan memimpin sendiri sebuah surat kabar yang diberi nama “Warta Berita”.
Menurut sejarahri.com, surat kabar ini menjadi surat kabar pertama di Indonesia yang berbahasa Indonesia (bahasa Melayu dengan huruf Latin) dan diterbitkan serta dipimpin oleh pribumi asli.
Sayangnya, umur koran ini tak begitu panjang, yakni kurang dari 10 tahun. Datuk Sutan Marajo ‘pun pernah dihukum denda 100 Gulden atau kurungan 15 hari karena tulisannya pada tanggal 23 Februari 1892 mengenai nasib rakyat kecil.
Stray Kids Posisi Pertama Billboard dengan Enam Lagu
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Grup idola asal Korea Selatan Stray Kids berhasil menjadi artis pertama d...