Jokowi Sang Matador
Jakarta, Satuharapan.com - Banyak rekan, klien maupun mahasiswa yang selalu bertanya kepada saya perihal gaya kepemimpinan seperti apakah presiden Joko Widodo itu. Mereka merasa ada yang unik dan terasa beda dengan gaya kepemimpinannya. Pada awal pemerintahan di akhir tahun 2014, banyak yang menduga dia adalah boneka partai yang kurang gagah. Bahkan tidak sedikit yang meragukan keberaniannya mengambil keputusan penting meskipun menang dalam pemilihan presiden yang bersifat langsung.
Selain itu, presiden yang akrab dipanggil Jokowi ini juga banyak memiliki penggemar dan didukung kuat oleh masyarakat dari berbagai kalangan. Setelah hampir dua tahun memerintah, saat ini Jokowi Jojowi terlihat jauh lebih berwibawa, percaya diri, dan terkesan lihai berpolitik layaknya Soeharto, presiden kedua Republik Indonesia yang dikenal piawai dalam politik.
Untuk menjawab pertanyaan mereka, sambil bercanda, biasanya saya sering menjawab bahwa Jokowi menggunakan 'Jurus pendekar mabok’. Namun secara objektif dan ilmiah dari sudut pandang sebagai seorang profesional, kita bisa menganalisis gaya kepemimpinan pak Jokowi sebagai berikut :
Debasement
Dalam dunia keuangan, debasement merupakan praktek menurunkan nilai atau kualitas uang. Sedangkan dalam teori kepemimpinan, praktik ini juga serupa dengan dunia keuangan. Ini adalah sebuah tindakan merendahkan atau bahkan menghinakan dirinya sendiri dengan tujuan untuk melucuti kekuatan lawan dan mempengaruhi perilaku serta memanipulasi cara berpikir mereka sekaligus mengadu dombanya. Mengapa ini bisa terjadi? Karena lawan-lawan politiknya dibuat lengah, menganggap enteng dan tidak waspada.
Ibarat seorang matador profesional yang sudah terlatih dan paham psikologi banteng. Ketika memasuki arena akan dielu-elukan dan disambut meriah oleh penonton. Walau seperti itu, sang matador tidaklah terlena, justru ia menikmati itu semua dan langsung mengambil posisi siaga dan fokus. Bermodalkan sepotong jubah merah dan sebuah pedang dimulailah pertarungan berbahaya ini.
Sang matador tidak akan pernah berlari menyerang banteng terlebih dahulu. Justru dia dengan tenang menunggu dihampiri. Bahkan sang matador akan terlihat lemah dan nampak kecil dihadapan sang banteng. Kain merah terus dikibaskan untuk memancing amarah banteng untuk segera menyerangnya. Begitu banteng menyeruduk sang matador yang terlihat seolah di belakang kain merah berkali-kali, maka tanpa disadari oleh sang banteng bahwa ia tidak hanya menjadi semakin lelah tetapi juga kehilangan banyak darah, karena menerima tusukan pedang yang dihunuskan oleh sang matador pada saat sang banteng dialihkan perhatiannya untuk menyeruduk kain merah.
Sang Matador
Permainan tak berhenti sampai disitu saja. Namun justru semakin memanas dan berbahaya. Beberapa banteng lainnya yang terlihat jinak sebelumnya justru sekarang mulai ikut menyerang dengan mendekati sang matador secara pelahan-lahan dari berbagai arah. Sekali lagi.. Olé, Olé, Olé...sang matador beraksi.
Kali ini menggunakan taktik divide and rule, banteng yang kalah sebelumnya justru digunakan untuk membantu. Layaknya vaksin, mereka menjadi virus yang sudah dijinakkan untuk melawan virus ganas yang sejenis. Mereka akhirnya harus saling bertarung untuk mendapatkan posisi agar terhindar menjadi oposisi dan tidak kena virus banteng gila yang menghantam apapun yang terlihat.
Setelah keadaan sudah mulai dapat dikendalikan, dimulailah aksi berikutnya yang tidak kalah seru, yaitu taktik embrace or demolish. Para banteng yang terluka akhirnya dipaksa untuk menyerah tanpa syarat atau akan mengahadapi luka yang lebih dalam karena rahasia dan kelemahan mereka sudah dipegang.
Jokowi dalam hal ini seperti matador yang melakukan military approach dan intelligent approach dalam pemerintahannya. Hal ini sangat berbeda dengan pendahulunya yang lebih mengandalkan basis massa pengikutnya dan law-enforcement approach. Saat menjadi walikota Solo. tidak seperti walikota pada umumnya, yang cukup akrab dengan para penegak hukum, Jokowi sang matador sudah sejak lama berkawan dengan rekan-rekan militer dan banyak menjalin hubungan dengan pihak-pihak intelijen dari berbagai instansi.
Jokowi akrab dengan satuan teritorial TNI seperti Komando Daerah Militer (Kodam), Komando Resort Militer (Korem) serta Komando Distrik Militer (Kodim). Para asisten teritorial dan asisten intelijen di Kodam serta kepala seksi teritorial dan kepala seksi intelijen di Korem dan Kodim cukup akrab dengan Jokowi. Belum lagi, dia juga akrab dengan aparat BIN daerah. Hal ini sangat tidak lazim terutama bagi seorang walikota. Apalagi latar belakangnya adalah seorang pengusaha ekspor impor mebel.
Banyak pihak yang tidak melihat hal ini dan justru inilah titik krusial ketika sang matador menjadi Gubernur DKI. Pendekatan kepada pihak TNI semakin intens, karena semua pihak lebih banyak berfokus kepada para penegak hukum demi mengamankan kasus-kasus yang mereka hadapi dan potensi konflik dengan KPK dan lawan politik.
Ketika hubungan dengan TNI semakin harmonis, langkah selanjutnya adalah merangsek masuk ke jaringan intelijen negara dan segera menempatkan TNI kembali ke dalam dunia intelijen. Sang matador masih belum percaya dan sulit mengendalikan pihak penegak hukum terutama Polri karena banyak yang masih berusaha menguasai mereka lewat mafia peradilan. Jelas sudah pendekatan law enforcement selama ini tidaklah efektif dan hanya dipakai untuk membungkam rakyat dan menjerat para oposisi dengan pasal-pasal karet penghinaan, perbuatan tidak menyenangkan dan pasal-pasal mengenai korupsi.
Saat ini posisi sang matador sudah jauh lebih kuat dan superior walau belum dapat dikatakan dominan. Para banteng sekarang sadar bahwa mereka sudah kecolongan dan sekarang posisi penting dan krusial para penegak hukum terutama Polri sudah jelas-jelas “dirampok” di depan mata mereka sendiri dengan terpilihnya Komjen Tito Karnavian (sekarang Jenderal) sebagai Kapolri dari angkatan muda. Hal ini menandai pembersihan secara sistematis lembaga Komisi Yudisial, Mahkamah Konstitusi, dan Mahkamah Agung agar terbebaskan dari para mafia peradilan dan budaya korupsi.
Hal ini tentunya akan semakin memperkuat posisi dan wibawa pemerintahan. Di sisi lain, sumber dana pembangunan terutama dari sektor pajak terus ditingkatkan dan diintensifkan sembari mengejar dana-dana yang ada di luar negeri dan melakukan tax amnesty.
Sang matador sadar bahwa pihak dalam negeri sangat menginginkan mahkota dan pihak asing hendak merampok kekayaan negara sebanyak-banyaknya. Itu sebabnya diplomasi ke pihak asing dilakukan dengan dua cara, pertama dengan menunjukkan keseriusan dan mempertontonkan kekuatan pemerintah untuk siap melakukan tindakan militer. Kedua, di sisi lain dengan mengajak dan membujuk pihak asing untuk berinvestasi sebanyak dan seproduktif mungkin di Indonesia dengan memberikan banyak kemudahan dan fasilitas.
Sekarang tepuk tangan penonton sudah jauh lebih meriah dan bergemuruh. Namun sang matador menyadari bahwa pertandingan baru saja dimulai dan ia baru memenangkan beberapa pertempuran pembuka. Harapan dari para penonton adalah sang matador dapat bertahan dan memenangkan pertarungannya tanpa harus berdarah-darah. Untuk sementara ini, Jokowi sudah mulai membuktikan bahwa dia bukan hanya seorang pemimpin mediocre tetapi merupakan seorang alpha leader, sang penguasa, pemimpin yang sesungguhnya.
Semoga dalam pemerintahannya, tiga pendekatan yakni military approach, intellingent approach dan law-enforcement approach dapat dijalankan dengan maksimal, efektif dan sinergis sehingga Indonesia Raya dapat bangkit kembali dan menjadi salah satu negara yang sangat diperhitungkan di panggung internasional.
Penulis adalah Pakar Kepemimpinan dan Komunikasi, Dosen Universitas Multimedia Nusantara (UMN)
Editor : Trisno S Sutanto
Daftar Pemenang The Best FIFA 2024
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Malam penganugerahan The Best FIFA Football Awards 2024 telah rampung dig...